Minggu, 10 November 2019

Resensi X DPIB2 TAP 19/20

Resensi 1

Nama :kadek sudama
No       :
Kls      :XDpib2

Judul buku:   MELATIH BOLA VOLI REMAJA
Penerbit    :Citra Aji parama
Di cetak oleh: Citra Aji Parama
Tahun buku:2008
Jumlah buku:187

Bab 1
     MEMASUKI DUNIA PELATIHAN

            Malatih juga mencakup menerima tanggung jawab besar ketika orangtua menyerahkan anak-anak mereka ke dalam pengasuhan. Sebagai seorang pelatih bola voli, anda akan di minta untuk melakukan hal-hal berikut:
            *Menyediakan lingkungan fisik yang aman.
            *Berkomunikasi secara positif
            *.Mengajarkan keterampilan dasar bola voli
            *Mengajarkan peraturan dalam bola voli
            *Mengarahkan siswa dalam pertandingan
            *Membantu siswa menjadi bugar dan menghargai kebugarannya sepanjqng kayatnya
            *Membantu remaja mengembangkan karakter.
               
            Harus menciptakan lingkungan yang sehat agar setiap siswa memiliki kesempatan untuk mempelajari cara bermain tanpa rasa takut sambil tetap bersenang-senang dan menikmati keseluruhan pengalaman bermain bola voli

Kekuranang buku::penjelasan atau alur cerita buku ini kurang jelas dan kurang lengkap.

Resensi 2
Nama : Kadek Dedi Artawan
No : 10
Kls : X DPIB 2


Judul buku : Sejarah Arsitektur
Penerbit : KANISIUS
Tahun terbit : Cetakan kedua pada tahun 1986
Penulis : MA. ENDANG BOEDIONO
Jumlah Halaman  yang di baca: 55
Kota terbit : Jl. Cempaka 9,Deresan, Yogyakarta 55011

ARSITEKTUR BYZANTIUM
"SENI BANGUNAN BYZANTIUM"
Seni bergaya Byzantium yang bermula pada abad VI ini,  tumbuh dari berbagai dasar dan akar kebudayaan.
1. Gaya klasik seni romawi hidonis yang tidak berbau keagamaan
2. Budaya pembuatan makam bawah tanah gaya gereja kristen romawi dari abad II - III
3. Banyaknya pembangunan gereja kristen kuno di yunani.

Gaya bangunan terpusat
Dasar gaya bangunan gereja kristen kuno yang terpusat tidak perlu diragukan lagi dari mana asalnya,yaitu dari gaya romawi.
Sejak abad VII, bentuk bangunan terpusat mengilhami suatu gaya arsitektur baru seperti yang terlihat pada kapel makam Ratu galla placidia di ravenna, yang dibangun pada tahun 420.

BANGUNAN GEREJA KUNO
Gereja hagia sophia di konstantinopel,532-537
Karya arsitektur  terbesar dari masa Byzantium ialah gereja hagia shopia di konstantinopel. Gereja itu dibangun selama 5 tahun pada masa pemerintahan justinianus I (483-565).

Kelebihan dan kekurangan dari buku ini adalah kalau kekurangan gambarnya masih sedikit sehingga membuat buku ini sedikit di baca kalo di isi lebih banyak gambar mungkin bisa mengundang banyak peminat baca
Kalau kelebihannya adalah buku ini sangat bagus dan gambar dari desain bangunannya menarik untuk di lihat dan sayangnya cuma tidak ada warnanya jadi tidak terlalu berkesan...

Resensi 3
Nama: I Gede Eka Angga Wijana
Nomor:06
Kelas:X DPIB ²



                 The wisdom of Harry Potter


Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
                 Jakarta, 2009

    Harry adalah anak yatim piatu. Kematian orang tuanya di tangan penyihir kejam  Lord Voldemort membuatnya harus tinggal dengan keluarga Dursley. Harry adalah orang paling terkenal di dunia sihir (walaupun dia awalnya tidak mengetahui hal ini) karena hanya dialah yang selamat dari serangan "Kau Tahu Siapa" ketika masih bayi, dan mengakibatkan musuhnya itu menjadi setengah hidup tanpa bentuk fisik saat mantranya berbalik.
    Harry berteman dengan Ron Weasley yang berasal dari keluarga penyihir kuno yang miskin, yang kesetiaannya terhadap Harry serta ketahanan dirinya terhadap kepopuleran dan kekayaan Harry terkadang goyah tetapi tidak pernah putus.
    Musuh Harry adalah si super kaya dan fanatik Draco Malfoy yang berasal dari garis keturunan penyihir hitam. Profesor Severus Snape dengan rambut berminyaknya, karakter lainnya yang mengundang banyak pertanyaan, selalu mencari-cari kesalahan Harry.
    Namun, Harry juga mempunyai orang-orang yang melindunginya. Pengawas binatang liar Rubeus Hagrid membawanya masuk dan keluar dari masalah.
    Hogwarts adalah sebuah kastil mengagumkan. Penuh dengan ruangan dan menara besar, kamar rahasia,tangga bergerak, serta lukisan yang tokohnya bisa berjalan-jalan tidak hanya dalam lukisannya sendiri tetapi juga ke lukisan lainnya.


Resensi 4
Nama: Kt Sastra Ika YoganTara.
No: 18.   
Kelas: XDPIB2.
Judul Buku: LELAKI DI PINGGANG BUKIT.
Penerbit: TIGA SERANGKAT.
Penulis: PIEK ARDIJANTO SOEPRIJADI.
Tahun terbit: 1984 .
Jumlah buku: 80.

*BISIK IBUK KETIK MAUT AKN MENJEMPUT*
  kaudengarkah itu berulang ulang ketukan pintu kaulihatkah itu tamu berdiri di ambang pintu senyum padaku dengan wajah mulus telunjuknyamenunding dunia kudus dia mengajakku pergi bersama angin mendesir
Ke dunia jauh di balik kabut mengelincur tanpa akhir.

 nampakkah olehmu tamu yang berdiri di sampingmu itu seperti kapa datang begitu bergegas siap membumbingku kini lepas dari belenggu hidup ini lengannya lembut tangannya lunak aku tak mampu menolak.

 tanpa suara dia membawaku serta kau takkan berdaya mengelakkan perpisahan ini dan tiada jaring untuk menangkapku lagi kau jadi asing bagiku aku jadi asing bagimu meski kau anakku yang kulahirkan dulu.

Kekurangan buku: penjelacan atau alur di cerita buku ini kurang jelas atau kurang lengkap.


Resensi 5
Nama: komang satriawan
No: 26
Kls: X DPIB 2
Judul buku badan hukum
*istilah.
Penerbit :alumni.
Di cetak oleh: P T. Alumni
Kode penerbit: 87  BH 342.
Tahun: 1987.
Junlah buku:276

*istilah
    Soal istilah dalam ilmu hukum (bahasa hukum) memang penting,terutama yang berkenan dengan istilah(kata) bahasa indonesia untuk terjemahan istilah(kata) bahasa asing.
Sering pula mahasiswa gugur dalam menempuh ujian-ujiannya sebagai akibat salah paham dalam menggunakan istilah dengan materi pengertiannya karena tidak sesuai dengan jawaban yang di kehendaki oleh sang pengajar.
Tapi sebaliknya jika sang pengajar itu mem pergunakan terjemahan: perjanjian overeenkomst, tak menbenarkan jawaban tersebut,karena cara berakhirnya overeenkomst dengan cara-cara berakhirnya verbindtenis.
Sehubungan dengan persoalan terjemahan istilah asing ke dalam bahasa indonesia itu

*Kekurangan buku :
Buku ini memang terlalu jelas namum kurang menarik perhatian bagi para pembaca karena buku ini Jugga menceritakan tentang hukum.


Resensi 6
Nama: JIDAN
No      :8
Kelas : X DPIB²

Judul buku   :komunikasi yang efektif
Penerbit        :pusat pengembangan               
penataran guru ipa
Penulis          :irman yusron, S. Sos.
Tahun penerbit :2003
Halaman buku :21


            KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
                     
*Pengertian komunukasi efektif
       Komunikasi efektif (komunikasi yang efektif) adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dimana respons atau efek yang terjadi pada komunikasi (baik efek kognisi, efek afeksi, atau efek konasi) sesusai dengan tujuan komunikator.

*Komunikasi kelompok
         Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang kepada sekumpulan orang secara tepat muka di mana dalam proses komunikasi komunikator bisa berdialog langsung dengan komunikan secara individual.

*komunikasi antarpersonal
         Komunikasi antarpersonal adalah komunimasi yang berlangsung dua arah dan timbal balik dalam bentuk percakapan antara dua orang atau tiga orang, baik secara tatap muka maupun melalui  media

*sumber (sourse/communikator)
          Sumber adalah orang yang menyampaikan pesan berupa gagasan, pikiran, persaan, atau informasi kepada orang lain.

*NAMA* _KADEK SUDARMA PUTRAYASA_
*NO* _14_
*KLS* XDPIB2
*JUDUL BUKU: PERBEDAAN ANTARA     RADIO DAN RADAR*
*PENERBIT:PT ROSDA JAYA PUTRA Jakarta*
*Penulis :soeparmo*
*tahun terbit 1985*
*jumlah halaman buku 35*

     *peebedaan antara radoi dan radar*.
 Disekolah junaedi pada usaha suatu hari di adakan ceramah tentang  hal radar serta pengunaannya. Maksudnya agar memberi para siswanya wawasan yg lebih luas tentang pesawat- pesawat elektronik,khususnya mengenai radar,karna peswat yang sangat berguna itu belum banyak diketahui, apalagi dipahami oleh para siswa.
  "Anak-anak,saya diminta oleh bapak kepala sekolah untuk meberikan ceramah sebagai perkenalan mengenai pasawat yang dinamakan radar. Radio gunanya untuk menemukan bunyi yang disiarkan dari pemancarnya dengan perantaran gelombang radio,sedang kan radar digunakan untuk menemukan benda dengan perantaraan gelombang radio yang di pantulkan oleh benda teraebut.jadi radar itu tergantung pada dua prinsip dasar, pesawat nya sendiri direkankan pada permulaan abad ini, prinsip dasar itu pertama,isyarat atau gelombang radio dapat dipantulkan.
  Pada tahun 1901,marconi memancarkan isyarat radio melintas samudra alantik.komukasi atau hubungan jarak jauh melewati lengkungan permukaan bumi dianggap mungkin,karna adanya lapisan pemantul di bagian atas atmosfer. Pada pemulaan kurun waktu radio, ditemukan bahwa antene dapat dibuat dengan sifat-sifat sangat terarah dengan kata lain antene itu peelu di putar langsung ke arah suatu pemancar agar dapat menangkap isyaratnya.

*Kekurangan buku ini*:kurang menarik saat di baca.

Resensi 7
Nama : I GD TIO APRILYANA SAPUTRA
Kelas : X DPIB 2
No.     : 07

Judul buku.           : Dasar" Bermain Sepak Bola.
Penerbit.               : Danny Mielke.   
Tempat terbit.      : Eastern Oregon University.
Penulis.                 : Danny Mielke.
Jumlah halaman. : 129


          DASAR" BERMAIN SEPAK BOLA

*Dribbling (menggiring bola)
     Dribling adalah keterampilan dasar dalam sepak bola karena semua pemain harus mampu menguasai bola saat sedang bergerak berdiri atau bersiap melakuka operan atau tembakan. Adapun bagian bagian dribling yaitu:
- dribling menggunakan kaki bagian dalam
- dribling menggunakan kaki bagian luar
- dribling menggunakan kura kura kaki

*Juggling (menimang bola)
      Juggling adalah cara yang sangat bagus untuk menggembangkan reaksi yang cepat, kontrol bola, dan meningkatkan konsentrasi.
Bagian bagian men juggling bola yaitu:
- juggling menggunakan punggung kaki
- juggling menggunakan kedua paha
- juggling menggunakan dada
- juggling menggunakan kepala
Juggling biasanya dianggap sebagai keterampilan kontrol individu, sehingga merupakan keterampilan yang lebih sering digunakan selama sesi latihan atau aktivitas latihan fisik.

*Passing (mengoper)
       Passing adalah seni memindahkan momentum bola dari satu pemain ke pemain lainnya. Bagian bagian passing yaitu:
- passing menggunakan kaki bagian dalam
- passing menggunakan punggung kaki
- menggunakan dropas
- menggunakan gerakan lari overlap
 Passing juga menggunakan keterampilan mental dan cerdas untuk membuat tiki taka.

*Shooting (menendang bola)
        Shooting adalah tendangan yang dilakukan di segala arah yang bertujuan untuk memcetak goal dan menetukan sasaran ke arah gawang. Adapun cara melakukan shooting
- melakukan shooting dari menggiring
- melakukan shooting dari operan
- melakukan shooting dari lemparan ke dalam
Shooting sangat penting ketika pemain dan bola berada di daerah penalti.

# Kelemahan buku tersebut adalah penjelasannya kurang jelas dan banyak gambar yang tidak sempurna

# Kelebihan buku tersebut adalah kita mengetahui bagaimana cara bermain sepak bola yang benar dan dapat melakukan nya dengan baik

Resensi 8
*Nama*: _Rifqi Kurnia Tri Adi Putra_
*No*: _31_
*Kls*: _xDPIB2_

*Judul buku*: _Latihan dasar andal sepak bola remaja_
*penerbit* _SMK_ ( Saka Mitra Kopetensi )
*Edisi Cetakan* _Tahun 2007_
*Jumlah buku*: _146_
( catatan ) *setiap pemain bola pasti memiliki apa yang di sebut* _SWEET SPOT_ *atau* "Titik faforit" *di punggung kaki mereka, yaitu titik yang memungkinkan mreka melakukan tendangan secara akurat dan konsisten arahnya. Namun kalau pemain menendang dengan bola terlalu ke kanan ujung kakinya, bola pun akan melenceng ke kanan, demikian pula kalau di tendang dengan bagian kiri ujung kaki, maka bola juga akan melenceng ke kiri*
( Konsep Dasar Yang Harus Dikuasai )
• ketika menendang bola ke gawang, lakukan dengan cepat tanpa ragu-ragu.
• Jangan menendang bola ke arah penjaga gawang.
• pusatkan seluruh gravitasi tubuh anda untuk menendang bola, dan fokuskan seluruh kekuatan itu pada kaki anda.
• perhatikan terus arah larinya bola anda dan bergeraklah mengikutinya, untuk mengantisipasi kemungkinan anda mendapatkan bola lagi.


Resensi 9
Nama : Komang Ryan Sujana
No : 25
Kls : x dpib 2

Penulis : hari Purwanto
Penerbit : c.v Andi offset (Yogyakarta)
Tahun terbit : 2009
Jenis buku : non-fiksi
Jumlah halaman : 1- 65

Saat buku ini di tulis, sibelius 5 adalah versi terbaru dari software sibelius. Banyak musisi dunia dan lokal menggunakan sibelius untuk menghasilkan karya musik mereka, di antaranya:
1. Pat metheny
2. David Arnold
3. Geoff gascoyne
4. Michael Kamen
5. Esa Pekka
Di bandingkan dengan versi sebelumnya. Sibelius 4, versi ini memiliki beberapa fitur baru, yaitu: idea hub, panorama, instant cues.
Berikut ini adalah beberapa tools yg paling umum digunakan dalam membuat sebuah musik score.
1. Articulation
2. Bar
3. Warna
4. Alur
5. Triplet
Cover bukunya sangat menarik untuk di baca.
Tulisannya lumayan besar dan jelas saat di baca

Walau kami sedikit membaca, kami berbahagia masih bertemu dengan buku-buku bermanfaat.


Minggu, 03 November 2019

Ulasan Teater

Dirah yang Kritis dan Artistik

Pembelaan Dirah yang dipentaskan di Santhi Lovina, Desa Kaliasem kemarin (3/11) oleh Cok Sawitri, menampilkan betapa kritis Dirah terhadap pemerintah yang berkuasa. Dirah dijadikan kambing hitam atas kematian penduduk. Dirah yang dituduh meracuni warga dengan meracuni sungai, mengadakan pembelaan diri.

Ajaran Tantra yang dipelajarinya menjadikan Dirah sebagai sosok ibu dan guru yang penuh kasih sayang. Manalah mungkin Dirah membunuh warga? Itulah yang ditekankan Dirah untuk mengagungkan gurunya, Dewi Durga karena ilmu ibu dari Durga telah menjadikan Dirah sebagai guru yang dihormati oleh pengikutnya. Di hadapan orang banyak, Dirah menyampaikan bahwa dirinya tidak pernah menebar racun ke sungai. Untuk meyakinkan banyak orang dia bersumpah. Jika ia menggunakan ajaran Tantra Yana sebagai hal yang membuat keburukan, maka ia bersumpah anak keturunannya akan mengalami sakit. Jika Tantra Yana telah dilkukan dengan baik, maka anak keturunanya akan selalu selamat karena dilindungi oleh Durga.

Yang tampak menarik dalam pertunjukan itu, adalah latarnya yang menakjubkan. Alam yang digerakkan para dewa, tampak memberi anugrah kepada Cok Sawitri. Angin tiba-tiba datang sesuai suasana hati Dirah. Pepohonan bergerak seperti memahami curahan hati Dirah. Lampu dengan intensitas yang sangat lembut membuat perhatian penonton hanya terpaku pada satu perhatian, yakni Dirah. Artistik yang luar biasa! Saya tidak bisa berkata apalagi. Saya membayangkan berada di nirwna saat menyksikan pertunjukan itu.
Jika Cok Sawitri pentas lagi, saya akan berusaha menonton. Saya sangat bahagia menonton pertunjukan itu!


Cerpenku 1-18


Kawin
Oleh Luh Arik Sariadi

Mimpi siapa yang diwujudkan sekarang?
Siapa yang memenangkan dialog hari ini?

Bersaudara enam orang membuat Made selalu bertanya di dalam hatinya. Sebagai anak kedua, mestinya mendapatkan giliran kedua, tetapi tidak dalam hal keluarganya. Made memiliki keluarga yang demokratis. Setiap ada masalah, selalu dirundingkan. Perundingan tidak mesti dilakukan pada waktu khusus dan tempat khusus. Diskusi mengalir begitu saja tanpa batas. Kalaupun sedang makan, kalau ada masalah pasti akan segera dibicarakan sambil makan.
Apalagi kalau masalah yang mendesak, sesibuk apapun keluarga Made, perbincangan selalu ada.  Walaupun Made sedang mandi, kalau dia mendengar pembicaraan adik-adiknya, pasti Made urun pendapat. Saudara-saudaranya pun tidak keberatan mendengarkan semua pandangan yang ada. Mereka berbicara tidak ada giliran tertua atau termuda. Yang paling penting adalah setiap ada waktu berbicara, hati mereka seperti terikat satu dengan yang lainnya. Sepertinya Tuhan telah mengatur supaya giliran berbicara dimanfaatkan setiap anggota keluarga.
Gagasan yang inspiratif sangat di hargai dalam diskusi mereka. Apalagi bila disertai dengan alasan-alasan juga cara-cara praktis untuk mewujudkannya. Made sering mendapat kepercayaan untuk menentukan nasib keluarga karena Made pandai berargumentasi. Kata-katanya sangat membius dan mampu mempengaruhi orang lain.
Di dalam keluarga, Made sangat populer. Keputusan-keputusan yang dipilihnya selalu mendapat dukungan dari saudara-saudaranya. Bahkan ayahnya juga seringkali memuji Made dengan berlebihan di depan anak-anaknya yang lain. Made benar-benar menjadi pusat perhatian.
Di dalam otak Made, berjuta-juta gagasan sudah mendesak untuk memajukan keluarga. Dari enam bersaudara, Made dipilih menjadi sentral pembicaraan. Made seperti seorang ketua yang bisa memutuskan penyelesaian suatu masalah. Made juga sangat dihormati karena ia sudah memiliki gaji tetap untuk menopang ekonomi keluarga.
Selama ini, Made juga sangat loyal terhadap keluarga. Adiknya empat orang laki-laki. Komang Suta, Ketut Marka, Putu Suteja, dan Nengah Karsa. Keempatnya disekolahkan oleh Made. Komang Suta sudah menjadi pegawai bank swasta. Ketut Marka bekerja sebagai pegawai kontrak di dinas pemadam kebakaran. Putu Suteja bekerja sebagai pegawai di dinas pekerjaan umum. Nengah Karsa sedang kuliah di jurusan hukum di perguruan tinggi swasta.  Kakaknya, Wayan Tresna hanya sesekali saja memberi uang saku kepada adik-adiknya karena Wayan Tresna hanya seorang tukang ojek.
Biaya potong gigi juga dikeluarkan oleh Made. Perhitungannya sangat tepat mengenai biaya yang akan dibutuhkan dalam potong gigi. Dana yang dipinjamnya dari bank untuk upacara potong gigi sangat besar dan ia mempertaruhkan surat pengangkatannya sebagai pegawai negeri sipil. Dalam upacara itu, tiga ekor babi yang besar dipotong untuk menyambut para tamu. Untuk tamu yang muslim, dipesankan beraneka masakan yang terbuat dari daging kambing. Dengan upacara potong gigii yang mewah, keluarga  Made menjadi naik derajat.
Sebelum menjadi PNS, rumah Made sangat kotor. Temboknya hanya terbuat dari tanah yang direndam beberapa hari. Sejak Made mendapat gaji tetap, rumahnya diperbaiki, diganti dengan tembok bata yang terbakar matang. Pintu dan jendela rumahnya menggunakan ukiran Bali. Sudah ada kamar mandi bertembok keramik di bagian belakang rumah. Bagian-bagian rumah tertata dengan rapi. Ada bale-bale khusus yang dibuat untuk kegiatan yang berbeda-beda. Segala kelengkapan rumah dipilih oleh Made karena semua uang untuk itu bersumber dari Made.
Waktu Wayan Tresna menikah, Made juga yang membiayai pernikahannya. Foto-foto praweding untuk kartu undangan kakaknya dibuat di beberapa tempat dan latar belakang. Ada latar masa kolonial yang dibuat dibekas-bekas peninggalan penjajahan Belanda. Ada juga latar masa pendudukan Jepang dengan kostum kimono. Beberapa foto diambil saat kakaknya mengenakan pakaian adat Bali madya dan payas agung. Bagi Made, semua hal harus mendasar. Semua peristiwa yang terjadi diusahakan terencana untuk masa depan yang lebih baik. Setiap pilihan tidak boleh disesali karena telah dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum dilakukan. Menurut Made, semua upacara yang digelar adalah pengabdian. Karena itulah, berapapun biaya yang digunakan harus dikeluarkan dengan tulus dan tercatat, sehingga suatu saat nanti akan menjadi sejarah.
“Pernikahan hanya dilakukan sekali, Bli,” kata Made menasihati kakaknya.
“Tapi Bli hanya seorang kacung, tukang ojek, dengan pekerjaan yang tidak tetap.”
“Tidak masalah, Bli. Kita harus menghargai perjuangan bangsa. Kita harus mengenang masa-masa perjuangan para pahlawan.”
“Bli malu, De” jawab kakaknya dengan pelan.
“Mengapa harus malu? Zaman sekarang sudah tidak zaman memelihara rasa malu. Kita harus mensyukuri pemberian Tuhan dengan menggunakannya sebaik-baiknya.”
“Tapi ini terlalu mewah dan tidak layak untuk Bli.”
“Bukan masalah mewah atau murah.”
“Ini baju-baju yang kamu sewa apa tidak membuang-buang uang? Ini pastilah mahal.”
“Bukan masalah harga, Bli. Ini masalah pencatatan kebudayaan. Untuk mempertahankan budaya, mengeluarkan uang tidak masalah. Dengan foto-foto praweding, kita akan mencatat sebuah peristiwa kebudayaan. Sama halnya waktu Bli meluangkan waktu untuk latihan nabuh. Berapa waktu terbuang kalau dihitung dengan uang? Lalu, kalau kita lihat hasilnya dengan uang, tentu tidak seberapa. Berapa orang yang tulus ikhlas mengabdikan diri kepada kebudayaan?”
“Tapi?”
“Sudahlah, Bli! Foto-foto pernikahan Bli nanti akan dilihat oleh anak-anak Bli nanti. Juga oleh keponakan-keponakan Bli. Mereka akan melihat betapa indahnya dunia ini dengan berbagai jenis kostum. Lalu, nanti mereka akan bertanya pakaian apa, dari mana, dan  berbagai pertanyaan akan muncul setelah melihat foto-foto Bli. Kalau semua foto tidak ada, bagaimana kita memperkenalkan kebudayaan kita yang hampir punah.”
“Kamu jangan terlalu berlebihan. Apa tidak terlalu gawat?” tanya Wayan Tresna dengan menggaruk kepala belakangnya.
“Ya, memang gawat dan memprihatinkan!”
Made membuat alasan yang bisa diterima oleh akal sehat, bertujuan mulia, dan bisa diwujudkannya. Semua anggota keluarga menerima gagasan itu. Walaupun hanya lulusan SMP, Wayan Tresna merasa benar semua pendapat adiknya. Dirasakan memang benar bahwa peserta tabuh di desanya semakin hari semakin sedikit. Yang datang juga tidak mengunakan pakaian adat. Mereka yang datang hanya pakai celana panjang. ataupun kalau memakai kamen, sesampainya di tempat latihan nabuh, pastilah banyak yang merasa susah menggunakan kain. Maka itu, dilaksanakanlah semua gagasan Made dengan penuh kebanggaan. Dalam pernikahan itu Wayan Trasna menggunakan pakain dari beberapa kabupaten yang ada di Bali.
Walau hanya seorang perempuan, Made mampu menatur keluarga dengan sangat baik. Made mampu membimbing adik-adiknya menjadi orang-orang sukses. Masyarakat di sekitar rumahnya juga mengakui posisi Made di dalam keluarga besarnya.
Karena ketenarannya, banyak lelaki di desa itu pernah mendekati Made untuk dijadikan pacar. Dari segi fisik, Made bukanlah gadis tercantik di desa itu, tetapi karena semua anggota keluarga sering menceritakan Made kepada para tetangga, maka terkenallah nama Made ke setiap laki-laki lajang. Namun, dengan kemampuannya bicara, tidak ada laki-laki yang terluka kalau ditolak.
Dipikir oleh ayahnya bahwa Made tidak sempat memikirkan dirinya sendiri. Selama ini, Made sibuk di sekolah. Sore hari baru datang. Sesampai di rumah, Made mandi lalu istirahat. Tidak ada laki-laki yang datang tiap malam minggu. Tidak ada juga yang minta izin untuk mengajak Made nonton Band ke gedung kesenian. Di waktu santai, Made hanya mengajak keponakannya ke taman kota atau ke pantai Happy. Di rumah, kalau belum ngantuk, Made akan membaca beberapa buku dan koran yang dibawa dari sekolah.
\Ayahnya hampir lupa kalau Made seorang perempuan. Semua anggota keluarga sudah lupa kalau usia Made sudah 35 tahun. Memang sudah sepatutnya perempuan meninggalkan rumah, tetapi ayah dan adik-adiknya terkejut juga saat Made minta kawin.
“Saya sudah saatnya mencari pasangan. Bape, saya mau kawin.”
Mendengar kata-kata Made, ibunya antara senang dan khawatir. Sebagai seorang perempuan, ibunya sangat memahami hati anaknya. Apalagi mereka sama-sama perempuan. Ibunya sangat bahagia kalau nanti Made memiliki anak yang sepintar da selincah Made. Ibunya memang sudah sangat merindukan cucu dari anak perempuan satu-satunya. Ibunya sudah lama membeli tas untuk nengok cucu. Kebaya merah sudah dipersiapkan sejak lama oleh ibunya. Sokasi yang bertuliskan Made Resini juga sudah dibungkus dengan kresek digudang.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ibunya juga memendam rasa takut sebab hanya Made yang berani mengkritik ayahnya. Hanya Made yang bisa menenangkan putra-putranya yang lain. Bagaimana mungkin keluarga mereka bisa berjalan tanpa Made. Siapa yang meluruskan para lelaki jika Made pergi? Kesedihan itu membuat ibunya gagu, tak sanggup berkata. Kegelisahan itu juga yang membuat ibunya gemetar. Maka, ibunya tidak berani berpendapat sebelum ayahnya bicara.
“Matheeuw namanya, Bape.”
“Siapa lelaki itu?” tanya ayahnya dengan gemetar.
“Lelaki berkebangsaan Inggris. Orangnya sangat baik.”
“Apa tidak ada lelaki yang baik di Buleleng?” Ayahnya berbicara sangat pelan karena bimbang. Bagaimana harus dihadapi anak perempuan kesayangannya?
“Bukan begitu, Bape.”
“Apa Bali sudah kehabisan laki-laki yang baik sesuai dengan seleramu?” tanya Wayan Tresna dengan wajah memerah. Saudara tertua Made sebenarnya tidak berani bicara, tetapi karena kepergian Made benar-benar tidak diinginkannya. Karena itu, tanpa menatap Made, ia bicara mewakili lelaki Bali.
“Bukan begitu, Bli.”
“Lalu apa, De?” Ayahnya bertanya dengan penuh kecemasan.
“Beri penjelasan, Mbok! Apa Mok rela disebut gundik kalau menikah dengan bule?” tanya Ketut Marka.
“Ya, Mbok. Belakangan ini, perempuan yang menikah dengan Bule sering dikira hanya mencari uang bule. Lihat juga para tetangga. Nanti dikira Mbok hanya menginginkan uang mereka.” tambah Putu Suteja.
“Apa Mbok sudah kehabisan uang untuk mengurusi kami sampai-sampai memilih bule sebagai suami?”
“Tidak. Bukan begitu.”
Alasan apa yang bisa diberikan Made kali ini? Harta benda tidak pernah menjadi perhitungan baginya. Walaupun dia hanya PNS, kepandaiannya memanfaatkan internet membuat dia menjadi orang kaya. Alasannya menikah sudah ada. Made menikah karena memang ingin menikah. Tetapi mengapa memilih bule, sama sekali belum ada alasannya. Ia tidak punya alasan yang mungkin disampaikan kepada keluarga tercintanya.
Alasan klasik karena cinta sudah tidak bisa diterima di keluarga ini karena tanpa cinta pun ayah dan ibu Made bisa menikah dan melahirkan anak-anak yang sehat. Alasan agama juga sudah tertutup karena perempuan Bali memang harus pergi dan mengikuti suaminya. Alasan ketampanan Matheeuw juga bukan alasan yang tepat karena di Bali masih banyak ada lelaki yang tampan. Kalau alasan baik hati sudah dipatahkan sejak awal, apalagi yang bisa dijadikan alasan?
“Matheeuw tinggal dari Inggris, kelak akan kembali ke Inggris. Bagaimana ibu nanti menjenguk cucu-cucu yang sepintar kamu? Janganlah jauh-jauh menikah, De.” kata ibunya dengan bibir gemetar.
“Kamu sendiri yang bilang kalau kita harus melestarikan budaya, tetapi mengapa sekarang kamu meninggalkan kebudayaan kita?” balas Wayan Tresna.
“Saya hanya ingin kawin, Bli.”
Teori apa yang bisa digunakannya untuk menangkis semua keraguan keluarganya. Seorang perempuan walau pergi dari rumah, kebudayaan itu tidak akan mudah untuk hilang. Memang ada banyak perempuan yang lupa dengan kebudayaan Bali setelah menikah dengan bule, tetapi Made orangnya pintar. Tidak mungkin dia melupakan kebudayaannya demi seorang lelaki.
Made terus berpikir. Dia mencari jawaban yang tepat untuk semua pertanyaan yang diajukan saudara-saudaranya, juga orangtuanya. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Ia menggali berbagai alasan yang kreatif, inspiratif, dan inovatif karena dia tahu benar bahwa keluarganya membutuhkan gagasan-gagasan yang baru. Keluarganya bukan sembarang keluarga! Maka, saat itu pandangan mata Made lepas jauh. Sementara, saudara-saudaranya berdecak dalam hati, bertanya-tanya, dan bimbang harus menyetujui atau tidak. Sebab, mereka telah terbiasa diatur oleh Made. Apalah jadinya keluarga itu tanpa Made. Di dalam hati ayahnya pun terbersit doa supaya Made tidak punya argumentasi yang inovatif. Ibunya diam-diam juga komat-kamit, entah apa yang diucapkan dalam doanya. Apakah berdoa untuk kemerdekaan putrinya? Tapi, kemerdekaan dari apa? Selama ini, Made menjadi penguasa di rumah. Di dalam hati ibunya, Made adalah sosok pemimpin yang hebat. Namun, dia juga sempat berpikir mungkin saja putra-putranya telah menyadari bahwa Made telah lama memimpin di rumah, lalu menyetujui saja pernikahan Made dengan Matheeuw.

Cerpen ini pernah dimuat di Bali Post, tetapi lupa edisi kapan….ketika menikah, saya pindah rumah dan kelipingnya entah dimana.











Bukan Sekadar Penulis
Oleh Luh Arik Sariadi

Aku terancam dipecat. Aku bekerja sebagai staf di sebuah perusahaan penerbitan. Hampir setiap hari, aku duduk di kursi yang sama.  Aku bertugas mencatat setiap penulis yang hendak menerbitkan buku. Tidak banyak penulis mempercayakan tulisannya kepada perusahaanku. Namun, aku tidak merasa terusik karena takut perusahaanku suatu saat mungkin bangkrut. Aku yakin perusahaanku akan baik-baik saja karena yang bekerja sebagai pimpinan perusahaan adalah pamanku sendiri yang ditaktor.
***
Paman terus menerus menangis di ruangan yang sangat berdebu. Aku sangat sedih tiap kali menemuinya. Paman selalu memelas agar aku kasihan kepadanya. Paman pernah memberi sebuah cincin emas yang sangat indah kepadaku supaya aku melakukan keinginannya-hasrat atau nafsu menguasai sesuatu. Paman juga memintaku menjual jam tangan yang sangat mahal supaya aku bisa meminta  bantuan kepada orang lain untuk melakukan misinya. Apapun yang aku minta pasti dikabulkan walaupun aku belum berhasil melaksanakan tugas.
“Tugasmu kali ini mencari perempuan hebat, Luh Astiti!” kata paman dengan lembut.
Perempuan itu memiliki tahi lalat di pipi bagian kiri. Tubuhnya setinggi angkutan pedesaan, tapi tetap kelihatan menarik karena tubuhnya seksi. Katanya, kulit Luh Astiti sawo matang, tapi mengkilap. Kalau perempuan itu memakai pakaian tertutup, seperti jubah, orang-orang mungkin mengira ia adalah anak keturunan Eropa karena bola matanya tampak kebiruan. Perempuan itu sering memakai softlens berwarna biru.  
Luh Astiti adalah seorang atlet. Ia pernah menjadi juara di Pekan Olahraga Nasional dalam mewakili daerah. Perempuan ini juga pandai menulis esai. Kalau mewakili sekolah dalam lomba menulis karya tulis, dia sering menjadi juara. Kalau tidak juara satu, juara 2, atau paling rendah juara 3. Di sekolah, dia mau menari tari Pusparesti tiap kali perpisahan kakak kelas, atau ulang tahun sekolah. Matanya yang bulat, tepat terletak di wajahnya yang bulat. Gerak tarinya yang mataksu membuat dia selalu terpilih sebagai penari terbaik di sekolah. Dengan tubuh yang tinggi, dia juga berbakat menjadi model dalam kejuaraan modeling di kabupaten. Kalau saja dia diizinkan pulang malam oleh orangtuanya, dia pasti akan mengikuti lomba modeling di tingkat provinsi.
Sepengetahuan paman, Luh Astiti hanya berpacaran dengan seorang laki-laki saja sejak SMA kelas XI. Hubungannya ditentang oleh orangtuanya karena Luh Astiti menyukai lelaki yang jauh lebih muda darinya. Perempuan itu memotong pendek rambutnya. Kepada teman-temannya di facebook, ia mengaku ‘belok’. Bapaknya memang lebih suka kalau Luh Astiti keluar rumah dengan penampilan seperti itu. Maka dimulailah hidup baru Luh Astiti!
 Hidup baru itu semacam kemerdekaan baginya. Semula dengan penampilan feminim, ia sulit mendapat izin untuk keluar rumah. Namun, dengan hidup baru, orangtuanya tidak merasa takut walaupun keluar malam. Luh Astiti sering juga mengajak teman-teman perempuannya menginap di rumah. Memang sering orangtuanya justru mengundang teman-teman Luh Astiti ke rumah untuk masak-masak. Mereka memanggang ikan laut. Sesekali membeli kelinci untuk dijadikan gulai. Hampir setiap malam minggu ada pesta di rumah Luh Astiti. Kata paman, Luh Astiti pernah bercerita bahwa tidak begitu senang dengan kemerdekaan yang didapatkannya.
“Luh, Luh! Kesenangan apa ini? Apakah hatimu benar-benar bahagia?” kata Luh Astiti saat bercermin.
“Luh Astiti sangat mencintai Suka” kata paman sambil menelan ludah kesedihannya.
“Apa yang bisa saya lakukan, Paman?”
“Cari dia!”
“Suka?”
“Bukan. Cari Luh Astiti,” kata paman saat menggenggam kedua pergelangan tanganku.
Aku gemetar. Di mana kucari perempuan itu? Apakah Luh Astiti kabur dari rumah? Aku berpikir pastilah Luh Astiti kabur dari rumah lalu kawin lari dengan Suka. Remaja zaman sekarang sering berpikiran sempit. Kalau orangtua tidak peduli dengan kesukaannya, mereka bisa berulah. Apa mungkin Luh Astiti sama seperti remaja lainnya yang dibutakan oleh cinta? Atau jangan-jangan Luh Astiti telah ‘belok’ mengoprasi alat kelaminnya menjadi laki-laki dan tidak balik-balik?
 “Kira-kira di mana dia, Paman?” tanyaku sambil meneduhkan hati paman yang meringis.
“Coba cari dulu di rumah teman-temannya!” kata paman sambil menyerahkan handphone kecil. “Ini handphone Luh Astiti,” tambahnya pelan dengan muka penuh luka.
Luh Astiti pergi tanpa membawa handphone. Bagaimana mungkin dia bisa dikatakan kawin lari, berjanji di suatu tempat dengan Suka? Kuperiksa handphone-nya. Tidak kutemukan sms yang baru masuk atau penerima pesan satu pun. Mungkin setelah berjanji di suatu tempat, Luh Astiti segera menghapus penerima pesan? Ah, tidak mungkin, tetapi ya bisa saja. Apa yang tidak mungkin di dunia ini? Aku yakin kesepakatan itu telah ada sebelum handphone ditinggalkan.
“Tidak mungkin!” kata paman. Luh Astiti bukanlah orang yang meninggalkan orangtua hanya karena cinta kepada laki-laki. Paman tidak percaya dengan yang kukatakan. Bagi Luh Astiti, cinta itu hanya kata-kata. Dia tidak pernah menangis karena cinta. Dia tidak pernah tertawa liar karena cinta. Walau pacarnya sangat muda, ia tidak pernah terhanyut dalam bujuk rayu Suka. Apalagi Suka baru tamat SMA, Suka tidak punya cukup uang untuk melarikan Luh Astiti.
Aku melongos, menatap sebuah celah di kamar itu. Dari celah tampak berbinar-binar cahaya yang mendesak ingin tahu percakapan kami. Aku begitu yakin kalau Luh Astiti kawin lari dengan pacarnya. Bibirku mengerjit. Satu mata kananku memikirkan hal-hal yang tidak baik tentang Luh Astiti. Barangkali dia kesumat oleh cinta. Bukankah cinta bisa mengalahkan segalanya? Hati yang kaku bisa jadi lunak. Hati yang lembek bisa beku gara-gara cinta. Perempuan yang lembut bisa menjadi pembunuh, penyiksa, dan menyakiti laki-laki. Cinta pula bisa mengubah kebencian menjadi ketulusan dalam melakukan apapun. Cinta itu bisa merasuk, menjelma sebagai hutan, bisa juga menjelma menjadi laut. Sembari membersihkan sisa makanan di sela gigi, aku meyakinkan paman bahwa Suka telah memenangkan cinta Luh Astiti.
“Tidak Mungkin! Dengan apa dihidupi Luh Astiti yang cantik itu?” tanya paman kepadaku yang ragu atas pertanyaan.
Luh Astiti menggunakan parfum yang sangat mahal. Tiap bulan ia membeli parfum seharga empat ratus ribuan dan dipesan secara khusus dengan menjadi member suatu perusahaan. Setiap ada katalog baru, dia akan memesan dua, tiga sampai lima pakaian yang disukainya. Luh Astiti menyukai ayam betutu dengan pelecing kangkung. Satu porsi harganya lima belas ribu. Dengan es kelapa muda dan rempeyek, sekali datang di warung makan kecil, ia sudah menghabiskan dua puluh ribu. Kalau dia mentraktir teman-temannya, dipilihlah restoran di dekat pantai sehingga harganya bisa mencapai lima kali lipat.
Terpikir olehku kalau Luh Astiti menjadi pelacur. Gaya hidupnya sangat tinggi. Menu makanannya terpilih. Pakaian mengikuti trand. Perawatan wajahnya sangat mahal. Kosmetiknya menggunakan bahan-bahan alami. Walau wajahnya sangat datar, jarang tertawa dan jarang menangis, tetapi ia masih meluangkan waktu untuk bermain game di pusat-pusat perbelanjaan bersama keponakan atau teman-temannya. Luh Astiti membelikan es krim, makanan ringan, dan kadang-kadang pakaian untuk keponakan-keponakannya. Karena itulah, tidak mungkin Luh Astiti kabur bersama anak pengangguran.
Bagaimana nanti dia menghadapi kehidupannya kalau tidak mencari pekerjaan sebagai pelacur? Sebab, sebagai penulis sudah tidak mungkin, kecuali dia menggunakan nama samaran. Tapi, mungkin agak sulit diterima oleh penerbit, kecuali dia mengganti gaya penceritaan yang sudah melekat dalam tulisan-tulisannya. Juga tidak mungkin dia menjadi olahragawan lagi, sebab semua orang akan mengenalinya. Selain itu, tidak mudah di daerah ini menjadi seorang atlet yang mendapat kesempatan untuk unjuk gigi. Menjadi seorang atlet di daerah ini tidak mungkin hanya mengandalkan kemahiran sebagai olahragawan, tetapi juga perlu koneksi agar bisa mendapatkan kesempatan bermain. Ah, begitu pelik aku memikirkan hal-hal buruk tentang nasib Luh Astiti. Rasanya sudah putus asa mencarinya!
“Paman, di mana saya cari dia? Saya sudah pasang iklan orang hilang. Saya juga sudah menyebar banyak orang untuk menemukannya. Mobil milik paman juga sudah saya jual untuk memberi ongkos kepada informan yang kira-kira tahu Luh Astiti. Sudahlah Paman! Mungkin dia sudah jadi pelacur!”
“Tidak Mungkin!” gertak paman kepadaku, lalu menarik nafas panjang menahan amarahnya. Kata paman, Luh Astiti bukanlah perempuan yang haus seks. Dia juga bukan orang yang bodoh sehingga dia harus menjual tubuhnya untuk bertahan hidup. Penghasilannya selama ini mungkin tidak banyak, tetapi masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang mewah.
“Tapi itu kan dulu, Paman! Sekarang siapa tahu?”
“Tutup mulutmu!”
“Paman boleh saja marah kepada saya, tetapi dunia zaman sekarang selalu memberi kemungkinan, bahkan untuk hal-hal yang buruk sekalipun” jawabku ketus.
“Ya, benar. Tetapi tidak benar untuk Luh Astiti!”
Paman sangat marah kalau aku berpikir hal yang tidak-tidak tentang Luh Astiti. Menurut paman, Luh Astiti sangatlah bermoral. Religius. Taat beragama. Penampilannya memang membuat orang risih. Celana jeans yang pendek, kaos ketat, dan baju kotak-kotak yang terbuka. Tidak terlihat sama sekali kalau dia orang yang santun. Tidak kelihatan dia sebagai seorang perempuan yang baik-baik. Apalagi kalau libur panjang, ia sering membuat tato temporer di kaki dan punggungnya. Namun, paman begitu yakin kalau Luh Astiti adalah orang yang baik. Orang yang jujur. Dia bisa menempatkan diri pada tempatnya. Kalau ke kantor, ia selalu berpakaian rapi. Kalau di luar, itu adalah wilayah pribadi untuk mengekspresikan diri.
“Aku sangat yakin. Luh Astiti adalah orang yang benar-benar kubutuhkan saat ini. Tolong kamu cari!” paman memelas kepadaku dengan kepala tunduk.
“Paman, apa hanya dia satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Paman?”
“Belum tentu juga.”
“Lalu buat apa susah-susah mencarinya?”
Paman diam. Matanya entah berkaca-kaca karena apa? Kemeja putih yang dikenakannya juga sudah basah. Di benaknya entah ada apa mengalir? Aku hanya mengira-ngira setiap kali menemui paman. Aku selalu berharap paman mau jujur denganku. Mengapa hanya Luh Astiti yang dicarinya? Siapa perempuan itu? Bagaimana rupanya sekarang? Mungkin sudah operasi plastik. Apa mungkin dia anaknya yang tidak diakui dan sekarang sudah diakui oleh paman? Ah, pikiranku menjadi liar menduga-duga.
Selama ini paman tidak pernah menyimpan rahasia. Aku sudah sejak kecil bersama paman. Yang kutahu anaknya hanya satu, Mbok Dewi. Mbok Dewi sudah meninggal waktu berusia 8 tahun. Fotonya terpasang di kantor. Tapi kata paman, Luh Astiti seusia dengan mbok Dewi. Rupa mereka berdua saat berusia 30 tahun tidak mungkin sama, kecuali tebakanku benar bahwa Luh Astiti anak kandung paman. Barangkali dari istri-istrinya yang tidak sah. Atau bisa saja Luh Astiti itu wanita simpanan paman yang tidak kuketahui.
“Sudahlah jangan terlalu banyak bertanya. Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Atau aku tidak bisa lagi memakaimu.”
“Paman?”
“Kerjakan. Tolonglah. Jangan bertanya. Di sini tidak aman untuk mengatakan mengapa Luh Astiti sangat kuperlukan.”
“Lalu apa yang bisa kulakukan agar saya bisa menemukan dia paman?”
“Cari dia!”
“Ya, saya mengerti, Paman. Tapi bagaimana caranya mencari? Segala upaya telah saya lakukan. Wajahnya saja saya tidak tahu.”
“Paman pernah mendengar kabarnya, sepuluh tahun lalu. Ia menjadi anggota sebuah perkumpulan Lalu, karena jiwanya belum kuat untuk menerima ilmu tenaga dalam yang dipelajarinya, maka dia gila. Tetapi lima tahun kemudian, aku mendengar namanya. Katanya dia menjadi dukun.”
“Apa? Dukun?” tanyaku kaget.
“Ya.”
“Masalah Paman tentu bukan dukun penyelesaiannya. Lalu  buat apa masih mencarinya?”
Menurut paman, Luh Astiti bukanlah dukun sembarangan. Konon dengan kekuatan pikirannya, dia mampu membaca sampai sepuluh tahun masa lampau, atau sepuluh tahun mendatang. Sebagai seorang dukun, ia tidak menerima pasien. Hanya beberapa orang saja ditolong dan sembuh. Itulah sebabnya banyak warga di sekitar rumahnya enggan berobat ke sana. Apalagi masih banyak juga yang menyangsikan kalau anak semuda dia sudah bisa menembus cakrawala alam semesta.
Asal muasal keterkenalannya adalah waktu Luh Astiti kuliah di perguruan tinggi swasta. Sebagai mahasiswa hukum, dia adalah perempuan termuda yang berani tampil berbicara berdasarkan realitas. Bisa dibilang dia ahli hukum. Di ruang kuliah, dia selalu berdebat dengan mahasiswa yang sudah agak tua dan biasanya hanya mencari gelar saja untuk kenaikan gaji. Dia juga pandai bicara di forum-forum terbuka. Pendapatnya selalu menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan. Sejarah dipelajari dengan baik. Tidak ada nama-nama yang dilupakan. Karena itulah, setelah menyelesaikan Sarjana Hukum, dia langsung bekerja di notaris. Sembari bekerja di notaris, ia tetap menulis, mengkritisi setiap kebijakan pemerintah. 
Tulisan-tulisannya di media masa nasional seperti menebak-nebak, atau lebih tepatnya seperti seorang peramal, atau mungkin bisa dikatakan dukun. Tebakannya tentang pemimpin daerah sudah disampaikannya sebelum ada calon yang mendaftarkan diri. Dia itu, mampu menebak presiden yang akan memimpin bangsa. Dia menuliskan nama-nama yang akan terjerat hukum karena korupsi. Dia itu perempuan yang luar biasa.
Paman terus menerus memuji Luh Astiti. Aku berusaha kagum, tetapi belum ada dasar untuk mengagumi perempuan itu, kecuali cerita yang masih aku ragukan. Semua cerita paman tentang Luh Astiti seperti fiksi. Cerita paman terpenggal-penggal dan membuat aku curiga bahwa paman hanyalah pembohong. Yang semakin kuat dalam pikiranku justu bukan Luh Astiti, melainkan sifat paman. Aku ragu dengan sifat paman yang sebenarnya.
Aku curiga jangan-jangan paman memang bersalah. Aku berpikir paman bisa dibayar untuk menerbitkan tulisan-tulisan para pejabat, sebagaimana dia bisa membayarku untuk mencari orang yang sama sekali tidak kukenal. Aku benar-benar takut mengikuti perintah paman. Perusahaan memang bisa berjalan tanpa paman, tetapi kalau sidang telah memutuskan bahwa paman bersalah karena telah meluluskan tulisan-tulisan yang mengejek pemerintahan tertentu, bagaimana? Aku benar-benar takut. Kalau aku tidak bisa menemukan Luh Astiti, mungkin saja paman dituduh bersekongkol untuk menjatuhkan pemerintahan. Ah, itu hanya pikiranku saja.
Paman tidak pernah menempatkan Luh Astiti dengan jelas pada kasus yang dihadapinya. Paman hanya memujinya, dan sebaliknya aku hanya mendapat ancaman akan dipecat dari penerbitan paman kalau tidak bisa menemukan Luh Astiti.
“Luh Astiti mengetahui kasus ini! Dia memiliki video dan foto-foto yang bagus untuk dimuat di buku untuk aktivis ham. Tulisan yang terakhir dikirimnya sangat bagus. Sebagai penulis muda, dia harus diselamatkan! Tulisannya harus dibukukan. Dia tidak boleh dinodai oleh gosip apapun! Dia harus benar-benar bersih dari segala pandangan! Sebab, tulisan yang dibuatnya ini benar-benar fakta dan mampu menghancurkan atau menghidupkan negara kita. Kuncinya pada dia. Ini soal para pejabat! Dia bukan sekadar penulis. Dia harus diselamatkan!” kata paman mengancamku.
“Paman…Apa yang mengancam negara ini?”
“Berhenti membantah atau kau dipecat!”
Aku tidak bisa mendebat lagi. Walau dia pamanku, aku hanya karyawan, dia pimpinan tertinggi. Perusahaan ini miliknya, aku hanya karyawan biasa. Begitulah, karyawan tidak bisa mengetahui rahasia perusahaan, begitu pula negara ini, harus ada yang dirahasiakan. Banyak orang yang hebat di negara ini selalu menghilang entah ke mana. Orang-orang hebat selalu pergi, tidak terpilih, atau ketika terpilih justru tidak punya pilihan, dan pembangunan negeri ini selalu terhenti. Itu rahasia negeri ini.


Denpasar,  9 Desember 2015
Denpasar damai ketika pilkada serentak.



 














Tiba di Ibu Kota

Beberapa menit lagi senja
tiba di ibu kota
 kita akan bermimpi lagi

Sehabis mengajar di sekolah swasta ternama, aku tiba-tiba ingin duduk sendiri di kamar. Aku menyadari ada banyak mimpi berserakan di kamarku. Sisa-sisa cahaya matahari masih gelisah dan tampaknya sangat resah. barangkali senja adalah perpisahan bagi sinar-sinar matahari dan kamarku. Cahaya di atas ubun-ubunku yang menyelinap melalui celah jendela yang telah kututup, sama sekali tidak rela meninggalkan mimpi-mimpi yang berumah di ruang kamarku. Kilaunya masih beradu argument dengan fotolu, dengan sebuah lukisan dari cat minyak, dengan gitarku yang berdebu, dengan serulingku yang terbungkus rapi, dengan stik drum, dan dengan sebuah cermin di depanku.
Cahaya-cahaya itu berserakan meronta-ronta seperti letupan kembang api di angkasa saat kutabrak dengan tubuh kurus. tidak begitu menarik, tetapi cukup memikat saat kulihat tubuhku telah melakukan kudeta untuk ruang dan waktu di kamarku.
“Aku tahu apa yang kau mau,” bisikku kepada surya senja. Sebetulnya aku masih ingin mengenal senja, tetapi karena terlalu banyak jumlahnya dan menyengat tubuhku yang lebih bersih dari tahun-tahun sebelumnya, dengan terpaksa aku harus mengusirnya. Aku paham bahwa dengan mengusir sebagian berkas cahaya, aku bias menikmati malam beberapa menit lagi. Saat itu adalah waktu yang paling baik untuk menduga-duga, mimpiku yang mana akan terkabulkan esok harinya.
Dengan menebak, aku tidak bisa memindahkan perhatian cahaya menuju kamarnya sendiri. Senja berumah di kedalaman hati. Untuk mencapai hati, ia harus tenggelam melewati laut biru di depan rumahku. Dia tidak perlu lagi menjaga mimpi-mimpiku ketika aku bekerja. walau semestinya aku harus berterima kasih. Kepada senja, aku tidak mungkin mengajaknya untuk tetap di kamarku.
Suka cita yang semestinya aku tunjukkan kepada senja, sama sekali tidak kutunjukkan. Kalau aku mau berterima kasih kepada sisa siang itu, aku bisa menarik bibirku ke samping dengan kedua bagian yang tertutup sambil menyipitkan kedua mata. Aku bisa menahan kantuk dengan menarik telingaku supaya aku kelihatan lucu dan menunjukkan betapa senja sangat kurindukan. Ah, bagaimanapun, senja telah menyembunyikan mimpi-mimpiku pada sandikala.
Menurut mitos yang pernah kudengar, Sang Kala akan melahap siapa saja yang terbuai oleh beberapa menit menjelang gelap. Menit-menit itu berlangsung sangat cepat dan mengambil apapun yang kita sayangi, termasuk kau yang sangat aku cintai. Sang Kala adalah makhluk yang tidak kompromi terhadap siapun, termasuk terhadapku. Walaupun aku seorang guru favorit di sekolahku, Sang Kala tidak peduli. Dengan sihir yang dimilikinya, dia bisa merabunkan mataku. Aku bisa saja duduk dengan tenang, dengan alasan masih lelah sehabis melahap letusan-letusan magma yang muncrat dari pikiran-pikiran siswaku, tetapi aku harus tetap waspada dengan kehadiran Sang Kala yang katanya tiba-tiba muncul saat kita melamun bersama senja.
Sang Kala pernah membuat senja tidak berdaya. Senja bergelimpangan saat aku tidak mampu menjaga sebuah mimpi. Senja mungkin merasa bersalah karena tidak mampu menahan Sang Kala yang mengambil mimpiku untuk menjadi pemimpin di kerajaan impianku.
”Paduka Ratu Putri, maafkan hamba karena lalai.”
”Ya?” tanyaku dengan tenang.
”Waktu itu, hamba sedang bermain dengan foto Paduka. Aku melihat lesung pipi Paduka. Paduka tersenyum walau rambut Paduka tampak kusut.” kata senja bercerita melaporkan keberhasilan Sang Kala Merampas mimpiku.
”Lalu?”
”Walau Paduka tampak kotor, dengan kaos hadiah bergambar obat nyamuk bakar, hamba melihat mata Paduka yang sangat bening. Foto itu seperti tidak ada beban. Paduka waktu itu, pastilah sangat bahagia.”
”Ya, kau benar.” Aku dulu suka memakai baju pemberian orang. Aku sering diberi baju kaos yang berisi iklan. Aku berlari-lari di teras rumah kalau sedang senang karena ayahku membawa kaos sepulang kerja. Kaos itu diberikan majikannya yang sedang kampanye calon Wakil Bupati. Aku menyanyi sampai malam, bahkan sampai tidak mandi karena sangat menyukai kaos berwarna biru itu.
”Maaf, jari Paduka yang menutup mulut itu sangat lucu.”
Aku berpikir. Jariku dikatakan lucu. Aku merasa biasa saja. Namun, aku bukan orang yang membiarkan orang lain menilaiku tanpa standar atau alasan yang jelas. ”Mengapa?” tanyaku kepada seberkas cahaya yang menunjuk ke arah foto.
”Lucu jari Paduka karena pendek dan tambun.”
”Itu saja?” Aku belum percaya bentuk jariku membuat cahaya terhibur.
”Paduka meletakkan jari itu tepat di depan mulut yang tertutup. Apa maksud Paduka?”
”Wow, itu hanya gerakan spontan.” Aku menjelaskan dengan sederhana, sesederhana hatiku waktu itu.
Aku bukan orang yang selalu mempertimbangkan hal-hal, kecuali penilaian orang terhadap diriku. Bisa dibilang untuk berfoto, aku tidak pernah banyak pertimbangan. Aku suka berpose, itu saja. Mengenai fotoku yang menutup bibir dengan telunjuk, sama sekali tidak kupertimbangkan dengan matang. Sebetulnya ada banyak foto. Temanku mengambilnya waktu perpisahan. Kira-kira usiaku waktu itu 23 tahun. Baju biru yang kukenakan juga tidak ada pertimbangan macam-macam. Aku suka karena warnanya dan itu pemberian orang. Aku takut dinilai tidak menghargai pemberian orang lain. Itulah sebab utama, aku terbiasa menyenangi baju hadiah. Aku memakainya dengan sangat bangga. Dengan bangga aku difoto berulang-ulang dengan pose yang berbeda. Kuambil satu foto tanpa banyak pertimbangan waktu teman-temanku menunjukkan hasil jepretannya.
Sambil mengenang lagi kata-kata senja waktu itu, aku ambil plastik di tasku. Aku tadi membeli kertas rokok, tembakau dan korek api. Harganya seribu lima ratus rupiah. Aku mencoba menggulung tembakau. Ah! Ternyata aku telah lupa cara mirit. Aku membasahi ujung kertas dengan menyentuhkannya pada ujung lidah. Maksudku, kertas itu akan berhasil membungkus tembakau yang harumnya telah melesap ke paru-paruku. Rupanya aku telah kehilangan kemampuan menggulung rokok. Semenjak tinggal di ibu kota, aku lebih suka membeli rokok yang telah dikemas dengan label cukai pajak. Aku kesulitan!
Aku sudah lama tidak pulang pada senja begini. Aku selalu menghabiskan waktu untuk mampir ke rumah teman-teman sekadar untuk menunjukkan kemahiran menghembuskan asap rokok. Aku habiskan sebagian gajiku untuk membeli rokok. Aku telah berani merokok di hadapan banyak orang, walau biasanya aku hanya merokok di kamarku.
”Paduka seorang teladan, mestinya berhenti saja merokok.” Senja menasihatiku. Senja selalu menyiram malam sebagai sesuatu yang indah, sekaligus menghancurkan hatinya karena malam mengusirnya dari kamar ini. Senja harus berpisah dengan mimpi-mimpiku karena sudah waktunya aku berteman gelap di kamar.
Kadang-kadang, kalau aku ingat nasihat senja, aku bisa tidak merokok sampai beberapa minggu. ”Ya, tetapi bukan karena nasihatmu aku tidak merokok!” kataku membentaknya.
Senja teramat sering melarangku merokok, sering pula aku membentaknya. Kalau aku tidak merokok sampai seminggu, itu karena aku memang kehabisan uang untuk hidup di kota ini. Hari ini, ketika aku kembali ke kamarku, aku harus belajar lagi cara menggulung tembakau, seperti waktu masih di desa bersama penduduk yang kedinginan di bawah rerimbunan pohon cengkeh. Hari ini, betul-betul terpaksa aku kembali ke kamarku untuk menghitung banyak mimpi yang telah dicuri Sang Kala.
Kali pertama pencurian itu terjadi, aku sedang menghisap rokok mild yang kurus. Yang sangat menonjol adalah jariku yang bagi senja sangat lucu. Aku melepaskan asap rokok ke langit, membumbung tinggi, menebarkannya berupa gelang-gelang, lalu terburai ke seluruh ruang.
”Puput Raning Darmika Sasih Lokha,” kata Senja mengeja namaku.
Aku tersentak. Aku menunggu agak lama, sampai senja mau melanjutkan ucapannya setelah menyebut namaku dengan sangat jelas. Aku ingin mengetahui puji-pujian yang akan disampaikannya kepadaku. Aku ingin dia berkomentar tentang fotoku dengan pose menutup mulut. Dengan hati yang mulai curiga, aku tidak sabar menunggunya bicara lagi.
”Bicaralah!”
”Begini, Paduka tanpa pertimbanan menutup mulut saat tubuh Paduka dipindahkan ke foto, apa Paduka orang yang selalu diam, ah, apa selalu membungkam orang? Ya, maksud saya, ketika ada yang hilang di kerajaan Paduka?”
”Maksudmu?” kejarku. Aku menduga-duga. Apa yang hilang dari kamarku? Mengapa hilang? Aku mengejar maksud ucapan senja dengan kedua mataku yang merayap ke setiap tempat. Aku juga memegang kepalaku agar tidak meledak. Dadaku mulai sesak, makanya kupegang juga. Pelan-pelan pertanyaan yang belum dijawab itu menelusuri perutku hingga sangat sakit jadinya. Aku gemetar. Tidak ada satu benda pun yang hilang dari kamarku. Tidak juga ada yang lenyap setelah kugeledah seluruh milikku.
Pulpen dan buku masih lengkap di dalam tasku. Aku mencatat semua mimpi di buku harian itu. Aku bergegas memeriksa saku baju dan celana yang bergantung di balik pintu. Aku heran dan sangat takut kehilangan. Belum tentu aku kehilangan karena semua yang aku miliki masih tetap berada di kamarku, walau tempatnya agak berantakan. Untuk menenangkan diri, aku ambil anggur koleson yang kusembunyikan di kolong almari tempat menyimpan pakaian dalam. Aku akan minum tiap kali kesepian karena teman-temanku di kota ini teramat sering sibuk. Aku resah karena tidak berhasil menemukan mereka untuk sekadar bercerita, dan sudah biasa aku menghisap aroma anggur yang kuat.
”Jangan panik, Paduka.” kata senja menenangkanku.
”Apa yang hilang?”
”Hari ini Sang Kala datang lebih cepat. Mungkin Paduka datang agak telat. Saya sudah berusaha menjaga mimpi-mimpi Paduka agar bisa diingat-ingat waktu malam, tetapi Sang Kala telah mengambilnya.”
”Mimpiku telah diambil? Dicuri?”
Senja mengangguk.
“Mimpi apa?” bentakku dengan maksud bertanya. Kalau saja senja punya nyali, tahu gertakan dan rayuan, tentu dia sudah pergi sejak dulu, meninggalkan aku. Syukurlah ia tidak punya nyali. Dia hanya punya kesetiaan. Dia sangat tulus menunggu sampai gelap benar-benar datang. Tanpa senja, aku pastilah tidak pernah bisa menerima malam. Pastilah mataku menderita sehabis siang, aku harus tidur. Ketika senja, aku bisa berpikir sejenak untuk membedakan mimpi dan realita.
”Teramat banyak impianku. Kalau aku tidur, aku bisa terbangun sampai sepuluh kali saat mimpi itu datang. Aku kepanasan, walau AC sudah hidup. Sang Kala mengambil mimpiku yang mana?”
”Sebelum gelap itu datang, rebutlah kembali mimpi itu dari Sang Kala!”
”Mimpi apa?”
”Menurut hamba, Paduka, mimpi apapun itu, teramat sering Paduka kecurian. Paduka tidak menyadarinya karena Paduka teramat sibuk merokok dan minum. Teramat sering.”
”Cukup!”
”Paduka, hari ini Sang Kala telah mencuri mimpi Paduka yang paling dasar. Mimpi paduka untuk memiliki hati yang besar untuk menerima hamba atau malam.”
”Jangan seenaknya!”
”Benar. Paduka sering melewatkan senja dan bergegas menikmati malam, sementara malam tidak pernah Paduka gunakan untuk bermimpi lagi. Paduka lupa menulis dan menghasilkan cerita untuk sunyi.”
Senja di ibu kota menyisakan mimpi bagi malam. Saat kau terlelap, kau tidak akan punya mimpi lagi. ”Ayo, bangunlah Paduka! Atau paling tidak terjagalah agar bisa bermimpi lagi!”
Aku terlalu asyik dengan indahnya kota ini. Sebagai guru swasta di kota sebesar ini, gajinya lebih besar dari pegawai negeri sipil. Itu membuatku tidak perlu bermimpi lagi. Dan sebagai hukumannya, aku dipecat dari sekolah, sebab sekolah memerlukan guru-guru yang selalu bermimpi. Senja benar-benar telah tiba, aku harus kembali ke desa, semoga aku bisa bermimpi lagi.

Oleh Luh Arik Sariadi
Tukadmungga-Sukasada, April 2010
























Mendekap di Kegelapan

Luh Sukerti duduk membungkus lembar-lembar uang kertas. Sambil meneteskan air matanya, ia memilah untuk siapa saja uang kertas itu akan diberikan. Tembok yang hanya bisa menahan laju angin sedang membekukan uang-uang kertas itu. Udara malam sebenarnya telah membekukan air mata Luh Sukerti, tetapi panas di dadanya telah membakar syaraf-syaraf di matanya, hingga memeleh dan membuat deras air matanya. Oksigen yang biasanya masuk dengan teratur di desa Jinang, tiba-tiba datang tersendat-sendat menuju ke seluruh tubuh Luh Sukerti.
Desa Jinang, desa berudara sejuk sepanjang hari, sungguh tidak mampu menyejukkan hati Luh Sukerti yang sedang menghitung uang. Uang berserakan di atas gipan. Dua anak Luh Sukerti bahkan dalam tidur nyenyaknya ikut gelisah dan membuat uang itu sulit ditarik oleh Luh Sukerti. Galung dan Tenang seakan tidak rela kalau uang itu dibungkus-bungkus dan dikirimkan entah ke mana. Luh Sukerti tidak pernah bercerita tentang luka hati kepada anak-anaknya, tetapi entah mereka tahu kesedihan ibunya, uang-uang itu terjepit di kaki, pinggul, punggung, dan beberapa lembar terbang jauh ke seberang ranjang.
Dengan kekuatan hati, Luh Sukerti memungut uang itu kembali. Ia masukkan lagi uang-uang itu. Ia ingat begitu sering ia melakukan pekerjaan membungkus uang ke dalam kresek.
***
Luh Sukerti bekerja sangat rajin. Memiliki majikan seorang keturunan Tionghoa, membuatnya selalu rajin dan disiplin. Ia selalu bangun lebih awal dari majikannnya. N’Cik Ong selalu meminta segelas besar kopi. Tacik An selalu minum teh yang direbus sejak jam 4 pagi, sampai tersisa setengah dari teko besi, kira-kira isinya seliter. Luh Sukerti sangat bangga bekerja di rumah majikannya. Kedua majikannya sangat sayang kepadanya. Tidak seperti kata orang bahwa keturunan Tionghoa yang tinggal di kota kecil Sanga, selalu dikatakan pelit. Luh Sukerti merasa sangat bahagia melayani dua majikan yang sangat sibuk, tetapi tetap perhatian kepadanya.
Pagi merangkul pasar di kota Sanga. Pasar sayur mayur bergegas sibuk. Puluhan keranjang turun dari mobil berisi terong ungu dan dipikul ke pedagang-pedagang. Tauge yang dibungkus daun pisang pada keranjang-keranjang dibagi-bagi untuk pedagang pengecer yang sejak sejam sudah menunggu kedatangannya. Sawi hijau yang terbungkus karung plastik meneteskan air ke kepala buruh pasar saat diusung sampai dua tumpuk besar. Pedagang daging ayam sudah tampak berjejer sejak tengah malam. Kedua tangan para pedagang sangat lihai memotong daging. Di sebelah pedagang daging ayam, pedagang dengan cekatan membungkus tempe dan tahu dengan paket seribu atau dua ribu. Mereka sudah ditunggu pedagang pengecer atau pedagang masakan. Perempuan-perempuan tua dengan handuk di kepalanya, sedang membungkus terong hijau yang mulai digemari untuk sambel tuung. Biasanya, sambel tuung dipadukan dengan jukut undis dan base gerang.
“Luh, N’Cik tidak suka makan sambel tuung walaupun I Luh mengatakan ini enak.”
“Ya, N’Cik, maaf. Saya pikir N’Cik akan suka. Ini adalah makanan saya di rumah. Sangat lezat. Kalau begitu, N’Cik bisa makan sup jamur saja hari ini. Besok saya akan buatkan N’Cik babi kecap.”
“Ah, Luh kamu memang mengerti kesukaan Tacik. “ jawab majikan laki-laki Luh Sukerti.
“Ehem…. N’Cik itu memang susah makan. Ini tidak suka, itu tidak suka. Sudah berapa orang disuruh masak, mereka selalu cemberut karena selalu N’Cik tidak suka. Akhirnya mereka memutuskan berhenti.”
“Ya, Tacik, maaf. Saya yang salah karena membuat makanan tidak tanya-tanya.”
“ Ya, sudahlah….jangan bahas soal mereka yang tidak mampu bekerja di sini. Luh Sukerti kan beda sama mereka. Dia diejek tidak apa-apa, itu masukan demi keterampilan masaknya. Makin hari dia harus makin pintar memasak. Nanti dia masak untuk suaminya kan harus enak.”
Luh Sukerti memikirkan lelaki seperti apa suaminya nanti. Di dalam benaknya, lelaki yang dicintainya adalah lelaki yang tampan dengan tubuh lebih tinggi dari dirinya. Warna kulitnya bisa sama, bisa lebih putih, dan bisa juga lebih hitam, tidak masalah baginya. Dia rela mengabdikan dirinya kepada laki-laki yang nanti menjadi suaminya. Namun, lelaki seperti apa suaminya? Dia hanya bisa berharap dan berdoa, yang memutuskan adalah Tuhan.
Hari ini, Luh Sukerti memasuki pasar lebih pagi dari hari sebelumnya. Ia akan membeli daging babi untuk membuat babi kecap yang sangat disukai N’Ciknya. Dengan mata yang masih kusut, berayun tangannya dengan lincah. Tubuhnya yang kurus menyusup tanpa halangan yang berarti mencari bahan-bahan masakan untuk makan sehari kedua majikannya. Kakinya melangkah lebih lebar agar segera sampai di dagang daging babi. Dia akan membeli daging babi dengan kulit babi yang masih muda. Walaupun majikannya memiliki kulkas yang besar, Luh Sukerti lebih suka ke pasar setiap hari karena pasar tidak terlalu jauh sehingga daging yang didapatkannya akan lebih segar. Apalagi, majikannya hanya dua orang, tentunya tidak boleh mengecewakan keduanya.
Kedua majikannya memiliki empat anak yang sudah membuka usaha sendiri. Anak laki-laki yang pertama,  membuka toko bahan-bahan bagunan di kota Den. Anak kedua yang perempuan sudah menikah ke luar negeri dengan orang Tiongkok asli dan membuka usaha pengalengan ikan di Singapura. Anak ketiganya, yang paling cantik dan paling sering pulang ke kota Sanga bersama suaminya. Anak ketiganya, walau tinggal di kota Sura, selalu datang tiap tiga bulan. Anak keempat majikan Luh Sukerti sedang kuliah kedokteran di Australia. Hampir setiap hari anaknya itu menelepon majikannya hanya sekadar bertanya sudah sarapan atau sudah makan? Makan apa hari ini?
Luh Sukerti sebagai pembantu di rumah itu terkadang malu kepada anak majikan yang tinggal di Australia karena selalu membuat menu makan babi kecap untuk majikannya. Kadang-kadang, Luh Sukerti ditegur agar membuatkan makanan yang lebih sehat, kaya serat, dan tidak memakai bumbu penyedap untuk kedua orangtuanya, tetapi apaboleh buat? Luh Sukerti hanya seorang pembantu yang taat terhadap perintah majikannya.
“Mbok Suker, tolonglah Papah dibuatkan sup lengkap dengan wortel, jagung, dan sebaiknya tidak isi kol karena tidak baik bagi Papah yang sudah tua. “
“Ya, Qeek Cin. mbok selalu menyarankan seperti itu, tetapi N’Cik maunya babi kecap saja. Kalau tidak ada, N’Cik tidak akan makan.”
“Ah, itu susahnya Papah. Padahal, sudah sering diperingatkan dokter. Sekarang anaknya kuliah kedokteran, tidak dipercaya juga. aneh kan?”
“Ya, Qeek Cin, benar…tapi mbok sudah tambahkan acar yang dibuat dengan wortel atau timun. N’Cik pasti akan baik-baik saja. Babi kecapnya juga hanya sedikit dibuat, mbok sering dengan sengaja bangun siang biar habis daging babinya…hehehe.” Luh Sukerti tertawa di hadapan kedua majikannya saat menelepon anak termuda yang benar-benar perhatian kepada kedua orangtuanya.
Luh Sukerti sangat bahagia jika ada anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Dipikirnya, bahwa dirinya belum bisa berbakti kepada kedua orangtuanya. Luh Sukerti belum bisa pulang membawa uang untuk kedua orangtuanya yang ada di desa Tukah, 9 kilometer dari kota. Kalau numpang ojek, biayanya hanya sepuluh ribu, tetapi uang sepuluh ribu sangat berharga bagi Luh Sukerti yang hanya mendapatkan gaji tiga ratus ribu perbulan di rumah ini. Maka, satu-satunya cara yang harus ditempuhnya adalah mendapatkan lelaki yang mencintai keluarga dan bisa mengantarnya pulang membawa uang untuk kedua orangtuanya.
Seorang anak harus bisa mengirimkan uang untuk orantuanya yang sudah tidak bekerja. Itulah yang selalu dinasihatkan kepada Luh Sukerti oleh Tacik tempatnya bekerja. Kedua majikannya selalu mengirimkan uang kertas untuk para leluhur yang telah meninggal dunia pada bulan Chengbeng, bulan kebaktian kepada para leluhur yang berumah abadi di kubur atau Nyolo. Luh Sukerti selalu ikut ke kuburan kalau kedua majikannya berziarah ke kuburan.
Uang-uangan kertas diletakkan di atas kubur yang sudah dibersihkan dari tanaman liar –perdu dan ilalang. Air bercampur bunga akan disiramkan ke seluruh kuburan secara bergantian oleh semua orang yang datang, termasuk Luh Sukerti.
Dua hari sebelum kebaktian ke kuburan, Luh Sukerti akan masak berbagai masakan cina seperti bihun goreng, bakmie, capcay, sayur hijau tauki, mie goreng, mishua, babi kecap, bakwan goreng, krupuk babi, dan kolobak. Semua masakan itu akan dibawa ke kuburan dengan mobil lalu disajikan untuk para leluhur yang sudah meninggal dunia. Setelah menaburkan air bunga, kedua majikannya menata masakan-masakan itu dengan ketulusan bakti kepada para leluhur. Keyakinan bakti terhadap orangtua sangat kuat melekat di dalam hatinya sejak ia bekerja sebagai pembantu, walau gajinya sangat kecil. Sebab, dilihatnya kedua majikannya sangat loyal dan benar-benar menjadi teladan bagi hidupnya. Suatu hari nanti, ia akan memiliki suami yang memahami tugas bakti kepada orangtua.
Hari ini, Luh Sukerti telah selesai memasak. Babi kecap dan acar untuk N’Cik. Sayur hijau dengan jamur dan ampas tahu menjadi sup untuk Tacik.
“Luh, oe sudah makan. Sekarang kamu boleh makan. Jangan lupa bangunkan Komang Sudira. Sudah jam 7 ini, suruh dia makan!”
“Ya, Tacik.” jawab Luh Sukerti.
“Luh, buatkan juga kopi. Kamu jangan disuruh terus, tapi ingat selalu. Apa kebiasaan laki-laki, kamu harus paham. Komang Sudira juga ngopi kan?”
“Benar, N’Cik”
Nah, itu….layani juga dia, kan kalian mau menikah. Sudah selayaknya kamu melayani dengan baik. eh….bukan melayani yang tersembunyi-sembunyi ya….”
“Ah, N’Cik bisa saja. Atas restu N’Cik dan N’Cik kami akan segera menikah. Entah apa yang harus kami lakukan untuk membalas jasa.”
“Tidak usah dibalas, yang penting tetap rajin bekerja di sini, bantu kami. Di sini juga sepi. Anak-anak tidak ada….anggap saja ini rumah kalian daripada kontrak rumah mahal-mahal.” jawab Tacik yang merupakan keturunan Cina dan Jawa Solo. Ucapannya lembut. Rambutnya yang keriting tidak mencerminkan sifatnya. Kata orang, orang yang punya rambut keriting adalah orang yang pelit, kenyataannya majikan perempuannya tidak pelit. Dia sangat baik.
“Nanti kalau kalian tidak mau tinggal di sini sama kami, kalian bisa tinggal di rumah timur. Itu rumah juga kosong…yang penting buatkan oe babi kecap yang enak.”
“Ah, N’Cik itu perkara gampang.” jawab Luh Sukerti dengan santai dan senyum.
“Kalau sempat, pulanglah. Bawakan bapak ibumu babi kecap dan nasi. Nanti kan ada kirim barang ke desa Tukah. Suruh Komang bawa, sekalian berbakti sama calon mertua…”
Luh Sukerti menganggap kedua majikannya itu sebagai orangtuanya sendiri. Banyak ajaran yang diberikan untuk persiapan kehidupan Luh Sukerti dengan Komang Sudira. Komang Sudira lumayan tampan dan benar-benar lelaki idamannya. Walaupun kadangkala menjengkelkan karena pakaiannya urak-urakan dan sering diprotes oleh kedua majikannya, Luh Sukerti benar-benar jatuh cinta kepada lelaki itu.
Komang Sudira adalah lelaki rajin yang memiliki dua ibu. Karena tidak ingin melihat kedua ibunya sering bertengkar dalam serumah, Komang Sudira memutuskan tinggal di rumah besar majikannya sekalian menjaga toko elektronik di dekat pasar. Komang Sudira sangat gigih walau dibayar murah oleh majikannya. Pikiran Luh Sukerti dengan kekasihnya sama, yakni bekerja untuk membahagiakan orangtua. Komang Sudira sering mengantar Luh Sukerti pulang dengan izin majikannya.
Mereka pulang tidak sampai sejam, kalaupun lebih dari sejam, majikannya tidak pernah ribut, kecuali ada pembeli yang minta barang dikirim secepatnya, maka keduanya segera kembali ke toko. Bagi Luh Sukerti dan Komang Sudira, kedua majikannya benar-benar sosok orangtua yang diidam-idamkan. Kedua majikannya tidak pernah bertengkar sampai melempar piring atau memukul pintu.  Majikannya juga selalu sayang dengan anak-anaknya walaupun kadangkala kerinduan menyergap kedua majikannya, barangkali doa bagi anak-anaknya justru akan membuat anak-anak mereka sukses di rantau.
Ini sungguh berbeda dengan Luh Sukerti dan Komang Sudira.
“Nanti kalau kita jadi orangtua, anak-anak kita tidak akan seperti kita yang selalu dimarahi kalau tidak pulang. Kita dibilang lupa sama orangtua, padahal kita di sini hidup serba terbatas. Semestinya mereka bersyukur kita sudah pulang, tetapi mereka malah mencela dan mengatakan kita anak tidak berbakti. Mau bagaimana lagi kita bekerja?” kata Komang Sudira saat malam mingguan di atas loteng majikannya.
“Ya, benar. ..tetapi kita tidak bisa ubah keadaan. Laki-laki di Bali ditakdirkan tidak boleh jauh dari orangtuanya. Dia punya tanggung jawab sebagai penerus generasi yang akan mengokohkan adat istiadat”
“Wah….kata-kata dari mana itu? Pintar juga tahu takdir, generasi, adatistiadat, seperti pernah sekolah saja?” jawab Komang Sudira sambil mengejek.
“Tahu dari Tacik dan N’Cik.” jawab Luh Sukerti dengan bangga menyanjung majikannya.
Keduanya sangat bangga dengan majikannya yang selalu mengajarkan aturan kehidupan. Mana yang bisa diubah, mana yang tidak bisa diubah. Harus jelas. Bagi keduanya, usia belasan tahun bukanlah usia yang pantas untuk menikah, tetapi keduanya cukup berani memutuskan untuk menikah setelah lewat usia tujuh belas tahun.  Majikannya meminta agar keduanya tidak menjalani seks bebas. Kalau memang sudah cinta, lebih baik menikah. Suka duka akan lebih nikmat dan mendewasakan seseorang. Hanya saja majikannya selalu berpesan agar keduanya tidak segera memiliki anak. Pernikahan bisa saja dilakukan saat usia cukup, tetapi punya anak harus dipikirkan dan direncanakan.
Karena itulah, keduanya mengubah pikiran yang semula berpikir bahwa anak harus membalas budi jasa orangtua dulu baru boleh menikah, selanjutnya mereka memahami bahwa budi jasa orangtua tidak akan pernah bisa dibalas sebab itu adalah ikatan yang selalu bergerak. Anak diasuh oleh orangtuanya, kelak anaknya yang akan mengasuh orantuanya. Walaupun nanti Luh Sukerti menikah, tetap harus ingat dengan kedua orangtua. Itulah ajaran yang disepakati. Maka, setelah menikah Luh Sukerti setiap minggu pulang menengok orangtuanya, kadang-kadang membawa oleh-oleh alakadarnya.
Kalau liburan, kedua anaknya akan dibawa ke desa untuk menguatkan sebuah ikatan. Walaupun Luh Sukerti dan Komang Sudira sangat disayang oleh kedua majikannya, mereka tetap harus mendekatkan diri kepada keluarga yang sesungguhnya.
***
Luh Sukerti kembali memastikan jumlah kantong plastik yang dibuatnya. Air mata masih mengalir sambil terisak-isak. Ia takut kedua anaknya akan bangun kalau tahu bahwa ibunya menghitung uang sambil menangis. Uang-uang kertas itu dibungkus dengan plastik dan dimasukkan ke dalam rantang yang berisi nasi. Luh Sukerti sudah membungkusnya dengan rapi untuk suaminya yang ada di penjara.
Tidak pernah dalam benaknya akan menikah dengan seorang pengguna narkoba. Setahun lalu, suaminya digrebek di sebuah kamar kos bersama “cewek café” –cewek yang pada malam hari bekerja di café remang-remang dan pada siang hari bebas melayani laki-laki tanpa perantara pemilik café.  Sudah berpuluh-puluh juta uang dikirim ke lapas untuk kebebasan suaminya, tetapi Komang Sudira makin kecanduan dan terlibat narkoba lagi.
Entah sejak kapan Komang Sudira berubah, dia tidak menyadarinya karena itulah Luh Sukerti merasa bersalah kepada anak-anaknya. Baginya, keterlibatan suaminya dengan narkoba adalah kesalahannya karena ia lupa bahwa suaminya adalah laki-laki yang harus tinggal di rumah dan meneruskan keturunan bersama anak-anaknya. Luh Sukerti tetap keras hati mempertahankan kemauannya untuk tinggal di rumah majikannya sementara Komang Sudira berhenti bekerja karena malu terus menerus tinggal di rumah majikan.
Komang Sudira mencoba peruntungan bekerja ke Kuta sebagai penjaga keamanan café di tepi pantai. Entah sejak kapan Luh Sukerti mulai kurang memperhatikan suaminya, karena itu dia sangat bersedih. “Akhir kisah yang sangat menyedihkan….tidak seperti telenovela.” kata Luh Sukerti sambil menangis.
Malam sangat dingin. Kedua anaknya sudah berhenti mengigau. Keduanya tampak lelap dan mungkin memikirkan agar ayah mereka kembali bersama mereka. Uang-uang kertas itu sudah terbungkus rapi. Ia ke luar kamar untuk kembali menenangkan hatinya.
“Luh, jangan bersedih lagi.” kata majikan perempuannya.
“Sangat sulit, Tacik. Kebaktian saya kepada suami sangat kurang. Sudah saatnya saya menebus semua kesalahan itu.” kata Luh Sukerti sambil memeluk majikannya.
“Jadi, kamu akan memberikan uang kepada petugas lapas?”
“Benar, Tacik. tidak ada pilihan. Saya harus mengembalikan ayah kepada anak-anak. Uang yang Tacik berikan sudah saya bungkus untuk dikirim diam-diam untuk petugas lapas.”
“Sebaiknya, biarkan saja Komang dihukum. Dia kan hanya kurir, beberapa tahun dipenjara akan membuatnya sadar.”
“Tidak, Tacik. Kasihan anak-anak. Mereka sudah sering berpisah dengan ayahnya, kini ancaman penjara seumur hidup, bahkan hukuman mati akan didapatkan ayahnya, bagaimana bisa saya diam diri?”
“Tenangkan hatimu. Komang hanya kurir dan kebetulan pemakai. Biarlah dia dipenjara dulu.”
“Maaf, Tacik. Saya tidak patuh. Uang Tacik akan saya kembalikan dengan terus bekerja, bahkan seumur hidup saya, saya bersedia.”
“Bukan uang masalahnya. Kamu sudah saya anggap anak sendiri. Uang seratus juta tentu kamu tahu itu tidak seberapa. Masalahnya, suamimu perlu dikasi pelajaran. Dia tidak akan dihukum mati! Dia masih bisa diperbaiki! Nanti kita rawat dia saat dia di lapas. Tentu kamu sudah dengar Qeek Cin saat telepon kan? Pengguna seperti suamimu masih bisa sembuh!”
“Tapi saya harus berbakti kepada suami, saya akan kirimkan uang untuknya agar bisa dipakai beli obat dan bayar petugas lapas agar memperlakukan Komang denan baik. Syukur-syukur dia bisa dibebaskan.” jelas Luh Sukerti sambil menangis.
“Tidak mungkin. Dia akan tetap dipenjara dan biarkan saja. Uang itu untuk sekolah anakmu.”
Majikannya selalu mengajarkan bahwa bakti harus ditunjukkan kepada orangtua atau leluhur atau sanak saudara karena dia tidak mampu lagi bekerja. Malam mencekam. Air mata Luh Sukerti mengalir makin deras. Di hadapannya kota Sanga telah menjadikannya ibu yang sangat bahagia karena melahirkan anak-anak yang selalu menjadi juara kelas. Di kegelapan kota Sanga pula ia kehilangan suaminya karena lupa memegang erat ikatan yang telah dibuatnya. Suami yang sangat dicintai telanjur diizinkan merantau hanya karena gengsi menjadi pembantu, dan kini mendekam di kegelapan terjauh. Barangkali air matanya telah sampai di Kuta tempat suaminya sebagai sungai, tetapi entah suaminya paham betapa sungai itu mengalir untuk menghidupkan dan bentuk lain dari bakti Luh Sukerti yang tidak sebatas kata-kata.
Singaraja, 1 April 2016
Ketika kegelapan menimpa para pejabat-narkoba dan suap
AKU INGIN MENJADI GURU LAGI
Oleh Luh Arik Sariadi

Adakah orang  yang peduli denganku? Mungkin ada orang yang mencoba mengintimidasiku. Barangkali juga ada yang berusaha mengubah karakterku. Bahkan, ada yang sampai hati tidak peduli aku. Aku ingin menjadi guru lagi di sekolah yang siswanya tersenyum tulus. Ah, tidak apa-apa aku rindu karena tidak ada apa-apa dalam diriku hingga tidak ada apa-apa hari ini, hanya rindu.
***
Warung makan ini ditata seperti panggung pertunjukan. Dagang sebagai pemainnya berada di tengah-tengah. Pembeli duduk melingkari pedagang, kecuali di bagian belakang, mirip seperti sebuah konsep lama bahwa pemain tidak boleh membelakangi penonton. Jalan raya yang tertata di depan warung bukan hal yang patut ditonton karena peristiwa-peristiwanya semakin tidak menarik. Pengemudi terlalu rapi membawa motor atau mobilnya. Yah, yang paling menarik di warung ini adalah cara pedagang mempersiapkan pesanan. Mereka seperti menari dan sangat terkenal. Lelaki berkaca mata tebal itu duduk di bangku paling belakang. Ia hanya bisa menyaksikan wajah pedagang dari celah-celah tumpukan daging yang digoreng kering.
Aku lapar dan masuk ke warung makan itu. Sudah tidak ada tempat duduk. Sebagai warung pertama yang menjual nasi be guling, warung itu selalu ramai. Setiap menit orang silih berganti menempati setiap meja. Tidak pernah ada meja yang kering, Ada saja yang meninggalkan sisa makanan, bahkan aku hari ini tidak mendapat tempat duduk.
Walaupun tidak ada meja kering, pembeli selalu kelaparan dan siap menempati tempat duduk yang masih hangat. Mereka mau saja membeli sepiring nasi dengan es teh atau es jeruk. Mereka sangat bangga masuk ke warung itu. Tentu karena mereka lapar dan tentu juga karena pedagang yang menyajikan makanan sambil melakukan gerak-gerak dasar tari. Belum lagi asap dupa yang harum terus menerus dinyalakan, tidak pernah putus menebar wangi.
Aku mulai mendekati laki-laki muda itu. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih muda dariku. Makanya aku tertarik minta bagian kursi di warung itu walau berdesakan.
Aku tanya dia, “Kenapa membeli nasi di sini?”
“Kakak wartawan ya?” ia bertanya balik.
“Apa saya kelihatan seperti wartawan?”
“Begitulah.”
Lelaki itu menatapku seperti aku seorang wartawan.Aku penasaran mengapa dia berangggapan seperti itu. Apa yang menarik dariku hingga ia menawariku sebuah pengakuan bahwa aku seorang wartawan. Dengan pengetahuanku yang terbatas, aku ingin mengetahui alasannya yang membuatnya menebakku sebagai seorang wartawan.
“Penampilan kakak kacau!” begitu ia berkata saat aku mencoba membuat pertanyaan. Lelaki itu seperti tahu apa yang ingin kutanyakan.
“Lalu? Apa saya tampak seperti pemabuk? Tukang palak atau apa? Kacau bagaimana?”
“ Bukan seperti pemabuk, tetapi seperti wartawan!” jawabnya ketus.
Saya diam dan masih berpikir mengapa lelaki muda yang menurutku cerdas karena pakai kaca mata, mengira aku seorang wartawan.
“Menurutmu wartawan itu bagaimana?”
“Kacau!” jawabnya tegas.
“Ya, kacau bagaimana? Penampilannya atau sikapnya yang kacau?”
“Ada yang kedua-duanya.”
Aku ambil tusuk gigi dan menggunakannya untuk membuat tulisan-tulisan di meja makan, juga untuk menghilangkan kejenuhanku terhadap lelaki itu.
“Eh, maaf. Kita belum kenalan, Dik. Nama saya Ratih.”
“Ratih? Oh, ya…”
“Namamu?”
“Penting ya? Buat apa, Kak?”
“Yah, sekadar tahu saja.”
“Kalau begitu tidak perlu.”
“Perlu, tentu perlu.”
“Untuk dimuat di suat kabar? Misalnya begini, ‘Laki-laki Bali Tidak Ramah Lagi’ begitu ya?” Remaja ini sangat gelisah. Dimainkan pulpen yang baru saja diambilnya dari saku celana.
“Oh tidak, kecuali kalau kamu lelaki yang menarik, bisa juga.” Jawabku sambil tertawa.
“Berarti kakak wartawan?” tanyanya lagi.
Aku berulang-ulang menjawab bahwa aku bukanlah wartawan. Yang aku tahu wartawan itu sebuah profesi, tetapi aku tidak tahu kalau wartawan itu kacau seperti pendapat pemuda itu. Dasar! Aku betul-betul dipermainkan oleh pemuda itu. Ia bukan seorang remaja, tetapi sangat dewasa. Ia  bisa bergaul dengan orang seusia aku. Bahkan, ia bisa mempermainkanku pada usia tiga puluh enam tahun. Jangan-jangan ia hanya menebak-menebak dan aku terjebak dalam percakapan yang tidak penting. Aku pun harus bisa menebaknya.
“Pacarmu tidak ikut makan?”
“Pacar saya? Dia di sekolah dan saya bolos.”
Hah, aku merasa senang karena tebakanku benar. Dia punya pacar. Anak-anak seumurnya paling takut kesepian, maka mereka cari pacar. Lelaki muda itu mungkin benar sedang bolos. Aku lihat celana abu-abu masih dikenakannya. Hanya seragam putihnya ditutup dengan jaket Balibong, eh Bilaboong. Merk terkenal tetapi banyak di pasar dijual bebas meski palsu. Mereka kreatif dan suka meniru. Mereka membuat celana ketika sebuah merk laris manis di pasar. Mereka mestinya harus mengembalikan kejayaan lama, pandai meramalkan yang terbaik bagi dirinya. Mereka harus belajar lagi padewasaan agar bisa menghasilkan karya yang luar biasa, laris hingga sepanjang zaman, atau paling tidak tiga dekade. Itu baru namanya usahawan. Tidak seperti sekarang, pemalsu lebih banyak! Hah, memalsu barang tidak perlu dewasa ayu.
Mhh…lelaki muda itu memilih merk yang tepat, Bilaboong. Pasti tidak terdaftar, tetapi tepat untuk mewakili sikapnya, entah pembohong atau kelihatannya saja pembohong, pokoknya Bilaboong.
“Kenapa bohong? Eh, kenapa bolos?”
“Cah, lihat, Kakak mulai bertanya-tanya lagi. Wartawan bukan?”
Seandainya aku wartawan, memangnya pemuda ini akan lari? Apa dia akan meninggalkan makanannya? Aku kembali heran. Pemuda itu barangkali termat penting mengetahui aku wartawan atau bukan. Bisa jadi ia punya pengalaman pahit dengan wartawan. Mungkin dia pernah memukul wartawan. Dari sikapnya yang agak ketus, pasti dia telah melukai wartawan, mungkin mengata-ngatai wartawan. Bisa juga dia pernah bertemu wartawan yang membuatnya sebel karena banyak pertanyaan. Dia mungkin saja suatu hari seorang pendiam dan karena wartawan, dia menjadi tampak cerewet. Bisa juga ia pernah masuk penjara karena sebuah kasus, perjudian di dalam kelas barangkali. Mengapa ia sangat takut? Apa dia tidak tahu kalau wartawan membuat berita dengan kode etik tertentu. Seorang wartawan rasanya  tidak mungkin memasukkan sebuah peristiwa yang tidak penting untuk dikabarkan. Mereka memilih orang-orang penting untuk dibicarakan.
Laki-laki itu mungkin masih mempersiapkan pertanyaan untuk memastikan bahwa aku wartawan atau tidak, atau barangkali ia masih tetap pada pendiriannya menganggapku wartawan. Ketika aku bertanya makananya enak atau tidak, ia tidak menjawab. Dia punya masalah apa? Mungkin laki-laki ini melihat video porno dari sebuah kamera di sekolah dan mereka tertangkap sehingga mereka memilih bolos daripada diintrogasi terus. Kalau aku seorang wartawan, berita seperti itu tidak penting. Aku rasa, pemuda ini akan melepas kaca mata tebalnya dan memilih berjalan dan merangkak seperti seorang yang buta daripada masuk surat kabar dengan cara itu.
Dilihat dari tampangnya, tidak mungkin lelaki itu terlibat dalam pembuatan video porno. Pasti ada yang salah. Ini dugaanku saja. Siapa tahu tampang alep-alep begitu justru jadi otak pembuatannya. Aku sekali lagi tidak mau bertanya. Aku takut ditanya lagi. Aku tidak mau ia terus menganggapku wartawan meskipun aku wartawan atau tidak. Mestinya pemuda itu tidak perlu takut. Kalau dilihat dari gayanya bicara, ia orang pandai, tentu pandai memilah-milah kegiatan. Ia juga sopan, meskipun kelihatan sedikit ketus. Ah, aku paham dia pasti orang asli Buleleng. Dia santun walau sesekali menudingkan jarinya saat bicara. Dia berbicara berapi-api. Gaya bertuturnya agak cepat. Dia tidak suka basa-basi. Kalaupun ingin berbasa-basi, pasti didahului dengan tertawa, dengan mulut yang terbuka lebar. Kalau mau bicara serius, pemuda itu menatap mata lawannya dengan mata terbuka lebar. Sangat fokus. Aku pun berulang-ulang ditatap dengan cara itu. Syukurlah aku telah lama menetap di Buleleng. Aku tidak perlu merasa tersinggung karena ditatap dengan cara itu.
Ah, tidak tahu juga. Dengan tatapan seperti orang-orang akan mengira dia tukang palak yang memeras sopir-sopir saat keluar dari terminal dengan muatan yang cukup banyak. Dengan tatapan seperti itu, ia akan tampak lebih ketus bagi orang luar Buleleng. Apalagi saat ia bersendawa di sembarangan tempat dengan suara yang menjijikkan. Hah, orang-orang pasti akan mengira bahwa dia memang kelihatannya saja sopan, tetapi ialah produser film porno, atau dia kelihatannya saja berandalan makanya menjadi kambing hitam.
Wah, aku tidak mau menduga-duga lagi. Aku tidak pernah mengenal seorang wartawan. Bahkan aku sering heran, bagaimana cara mereka mendapat berita yang bagus luar biasa! Pernah aku membaca berita tentang pembunuhan Munir. Di sebuah majalah yang sangat terkenal, aku baru paham mengapa Munir harus mati muda. Mengapa juga seorang yang cantik seperti Sukma Ayu meninggal, begitu juga Michael Jackson meninggalkan istananya. Semuanya diulas dengan sangat bagus pada sebuah majalah. Mereka kukagumi melebihi kekagumanku terhadap polisi. Namun, hingga kini aku tidak kenal wartawan-wartawan hebat itu.
Aku menyebutkan wartawan itu kepada pemuda itu. Namanya Juniartha dan Bre Redana. Pemuda itu mengaku telah mengenal kedua orang yang kusebutkan. Juniartha diketahuinya tinggal di Denpasar dengan seorang istri yang cantik. Jun katanya wartawan yang cerdas. Dia sering menulis berita  dalam bahasa Inggris. Menurut pemuda itu, berita yang dibuat oleh Jun biasa saja, tidak seperti kenyataannya. Pemuda itu mengatakan bahwa Jun jauh lebih cerdas dari berita yang ditulisnya. Orang-orang tidak akan mengira kalau dia cerdas. Tubuhnya gemuk dan tampak lucu, mirip seperti tokoh Jin dalam sinetron Jin dan Jun.. Pemuda itu dengan bangga menuturkan bahwa ia pernah bertemu dengan Jun di sebuah acara sastra.
“Saat itu Jun mengulas Sutasoma. Luar biasa! Dia menceritakannya dengan cerdas!” katanya memastikan perkenalannya dengan Jun.
Aku hanya mengagumi pemuda itu karena telah bertemu dengan Jun, mendahuluiku. Seandainya aku wartawan, pastilah aku akan menemukannya juga. Aku akan pura-pura mencari berita di sana. Ah, apalah artinya aku di sana. Aku terlalu angkuh untuk mengakui bahwa seseorang telah menjadi guru terbaikku dalam suatu hal. Aku sering menjadikan kemampuanku sebagai hal yang kuperjuangkan sendiri.
Mungkin sangat berbeda dengan pemuda itu. Pemuda itu dengan bangga menyebut Bre Redana sebagai gurunya. Dia mengatakan bahwa Bre Redana mengajarinya berkisah. Aku tidak begitu saja percaya karena Bre Redana tinggal di Jakarta setahuku. Dia wartawan nasional yang tentunya sulit ditemukan. Kalau pemuda itu mengatkan pernah bertemu dengannya itu pasti omong kosong. Itu paling mimpinya saja.
“Di mana kau bertemu Bre Redana?” tanyaku agak kasar.
“Hah? Oh…aku sering membaca tulisannya. Bapakku seorang dosen. Dia berlangganan surat kabar itu-surat kabar nasional.”
Mh…Aku menarik nafas lega. Ternyata dia memang tidak pernah bertemu dengannya. Dia sama denganku, hanya mengenal Bre Redana dari tulisannya. Walau aku hanya membeli surat kabar itu sekali dalam sebulan, aku sangat mengenal tulisannya. Kalau pemuda itu lebih banyak tahu, lantas apa yang membuatnya risih jika aku seorang wartawan. Masih belum ada jawaban yang pasti.
Dia seolah mengguruiku dengan mengatakan bahwa dengan membaca tulisan-tulisan seseorang, apalagi sampai membicarakannya kepada orang lain, itu berarti kita telah berguru kepadanya. Aku menjadi tersentuh dengan kata-katanya. Ya, kata-katanya masuk akal. Aku tidak mungkin bisa berbicara dengannya kalau aku tidak punya refrensi tentang pembicaraan kami. Tidak mungkin aku tidak bisa menebak masalah yang sedang dialaminya, kalau dia bukan murid seorang penulis kisah yang hebat. Dia memang murid Bre Redana! Namun, apa masalahnya hingga ia harus bolos?
“Apa kamu orang penting hingga harus berurusan dengan wartawan?
“Tidak.”
“Apa kamu mengalami peristiwa penting, seperti menyelamatkan anak bupati dari penculikan?”
“Tidak.”
“Pernah tertangkap kamera TV di sebuah mini market?”
“Tidak.”
 “Pernah melecehkan guru?”
“Tidak.”
“Pernah dianiaya guru?”
“Tidak.”
“Terlibat narkoba?”
“Sama sekali tidak.”
“Terlibat pembuatan video porno?”
“Tidak pernah.”
“Ada masalah dengan teman atau pacar?”
“Kami baik-baik saja.”
“Apa kamu sedang malas belajar?”
“Jangan salah. Aku selalu dapat juara I.
“Mungkin kamu punya masalah dengan orangtuamu?”
“Ah, apalagi itu!” jawabnya semakin ketus.
“Lalu apa? Punya masalah dengan wartawan?”
“Aku hanya ingin bolos! Tidak ada apa-apa, selain bolos!” jawabnya sambil menatap mataku.
Ia bergegas pergi. Lelaki bertubuh gemuk itu tidak punya masalah dengan orang lain. Tidak ada apa-apa di rumahnya. Tidak ada apa-apa pada temannya. Tidak ada apa-apa di sekolah. Di rumah juga tidak ada apa-apa. Aku meneriakinya, “Betul tidak ada apa-apa?” Mungkin dia benar-benar masih muda, tidak ada apa-apa kecuali gairah remaja. Aku benar-benar menjadi rindu, merindukan siswa-siswa yang pernah kuajar. Mereka menyapa dan kukatakan salamnya diganti saja dengan I Love You. Kami benar-benar sangat dekat, tidak ada jarak dan akhirnya aku diminta memundurkan diri karena melindungi siswa yang malas belajar di sekolah, justru mengajak mereka mengunjungi kota-kota wisata. Aku meminta mereka datang ketika aku memimpin demonstrasi untuk menggagalkan revisi undang-undang. Sungguh, kerusuhan itu tidak bisa kulupakan. Mereka benar-benar sedang jatuh cinta dengan masa mudanya, dan aku sangat merasakan kerinduan yang teramat dalam ketika sudah duduk menjadi pemimpin fraksi di gedung rakyat. Di kursi ini, aku tidak bisa lagi berbicara atau menulis seenaknya sebab partaiku memiliki aturan-aturan yang tidak bisa dilangar. Ketika menjadi guru, aku bisa saja berbicara dalam bentuk fiksi dan menceritakannya kepada siswaku betapa indah dunia ini.

Sukasada, 1 Juli 2009



























Ruh Adat
Oleh Luh Arik Sariadi

Nari namaku. Harus kutinggalkan rumahku. Rumah yang isinya kedok bagi penggosip. Aku terbiasa mendengar gosip tentang si anu dan si ini. Selanjutnya yang kudengar adalah gosip tentang keluargaku. Gosip tentang berbagai hal yang memilukan tentang penggusuran tanah mertuaku.
Gosip melalui celah yang tidak lagi bisa menghamburkan cahaya. Gosip begitu saja menyebarkan kata-kata di antara tetangga yang terlalu lama terombang-ambing oleh kata reformasi. Gosip tidak henti-hentinya berpikir untuk mengacaukan keamanan. Gosip juga merampas waktu istirahat tidur siang. Rasanya tidak ada lagi waktu, kecuali untuk bergosip.
***
Mulanya yang digosipkan adalah tentang kehadiran keluargaku di desa Yeh Tegeh. Sudah bertahun-tahun kami menetap di tanah ini. Sejak gunung agung meletus, eh, sejak jaman PKI tahun 1965. Kebetulan kakekku bukan orang yang diberi garis merah. Keluargaku bergaris kuning karena sungsunganku bergaris kuning. Aku dan keluargaku adalah warga pendatang yang mengabdi di sebuah puri dengan bendera kuning. Di mata warga kakekku sangat baik karena berusaha berputih senyum di hadapan Ratu. Kakekku mendapat kepercayaan kira-kira sudah 25 tahun. Saat itu, barangkali aku belum lahir. Dengan bantuan kakekku, puri selalu menyantuni orang-orang tua yang miskin atau sengaja dimiskinkan oleh penguasa.
Puri tempatku bermain, tempatku memiling bunga rumput kapas. Aku bermain-main dengan lumpur di antara sapi yang dicamuk. Pekerjaanku menangkap belalang dan segera menyantapnya mentah-mentah. Ada beberapa kawan yang geli melihat aksiku, tetapi aku harus tetap melakukannya karena aku harus menjaga putik padi dari sengatan belalang.
Aku adalah cucu seorang abdi di rumah seorang pembesar di desa yang tampak kering. Musim kering, hanya di sawah Ratu Lingsir setetes air riang menghibur liat. Setiap tiga bulan, selalu memanen kelapa. Ah, aku hanya seorang cucu, tetapi tugasku adalah mengawasi warga yang datang dan berpura-pura ingin membantu. Abdi-abdi tidak rela kalau pekerjaannya diambil alih oleh seorang warga dari luar puri. Makanya, aku selalu berjaga dengan membawa cerita bahwa yang mendekati puri saat panen kelapa akan ditembak oleh Ratu. Aku merasa tanah itu adalah tanah keluargaku karena kami sepanjang hari menghabiskan setiap detik dengan alam itu.
Ratu, lelaki tua dengan kepala licin. Ia mengusap-usap rumah kumisnya yang kosong belanga. Kalau ia sudah datang, aku pun akan bersembunyi di balik kain nenekku. Anak-anak kecil sebayaku, teman SD-ku serentak tidak menyentuh apapun di puri. Itu semata-mata karena aku yang menyebar gosip bahwa kami yang ketahuan mengambil sesuatu dari puri akan ditembak. Eh, itu juga aku dengar dari kata kakek ketika terdengar suara senapan angin meletus di angkasa.
Usiaku 25 tahun. Sekarang aku telah berhenti menjadi penggosip di rumahku. Tiba saatnya kami digosipkan. Aku, bapakku, ibuku, nenekku, mertuaku, dan teman-temanku yang mampir selalu menjadi siaran ulang di setiap gang. Aku tidak tahu, apa yang mereka bisikkan. Aku tidak bisa ikut menjadi penggosip karena terakhir aku mendengar bahwa mertuaku terlibat penggelapan tanah desa. Kalau aku pulang dari tempatku memetik kangkung, mata mereka selalu pergi dan datang seenak hati dengan penuh benci. Ingin rasanya mengetahui apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Namun sia-sia, aku hanya seorang buruh pemetik kangkung di tepi sungai dekat muara kali di ujung laut.
Ada teman sekelasku waktu di SD mengatakan bahwa keluargaku tersiar sebagai keluarga korup. Aku bimbang, dari mana gosip itu merebak? Katanya lagi, aku adalah sisa-sisa kekuasaan Ratu. Duh, Ratu, perca apa yang kau siapkan untuk keringat kami? Baunya tidak ketahuan, tetapi rasanya pedas dan melumat hati keluargaku? Di dunia ini, kau adalah pahlawan, nian hilang usiamu, kuasamu pudar.
”Pak, maaf nggih. Saya dari pihak desa adat hanya ingin mendata tanah yang Bapak tempati”, kata pesuruh desa.
Ayahku segera memangilku. Ia memintaku memfotokopi sebuah kuitansi. ”Foto kopi di koperasi desa.” suruh ayahku di hadapan pesuruh desa.
Aku bergegas menuju ke tempat yang direkomendasikan. Aku membacanya. Yang digandakan adalah kuitansi pembelian hak guna pakai yang ditandatangani oleh mertua dan bapakku. Jumlah nominalnya adalah enam juta rupiah. Jumlah itu tercantum untuk membeli hak guna pakai sebuah tanah. Aku tahu bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah yang di atasnya berdiri sebuah dapur dan kamar mandi. Sekarang tanah itu telah menjadi dapur yang mewah dan kandang peternakan dua ekor babi. Ayahku mempermaknya untuk calon menantunya dan untuk lapangan pekerjaan baru diusia tua.
Aku sudah selesai menggandakan kuitansi itu. Petugas desa itu segera pergi dengan selembar kuitansi yang palsu. Aku bertanya kepada ayahku, ternyata ayahku menolak memberi keterangan. Yang sendu hanya gelisah dari tetanggaku. Mereka mungkin saja menguping pembicaraan ayahku. Atau sekadar membaca percakapan mata dan bibir tanpa suara. Aku berpura-pura tidak tahu agar ada yang bergosip lagi ke rumahku, tetapi sia-sia. Mereka tidak mau lagi berbagi kata dengan keluargaku, apalagi bercerita tentang tanah mertuaku.
Aku Nari, seorang penari joged mulanya, selanjutnya disebut pemetik kangkung setiap sore. Aku dinikahi oleh seorang anak pedagang batu permata. Yang memakai cincin bermata besar di kesepuluh jarinya adalah mertuaku. Ia satu-satunya orang tua yang kaya cincin. Kalau makan ia selalu pakai sendok. Sepeninggal suamiku aku tetap menuntun seorang anakku di rumah mertuaku. Kalau ada yang mencari urusannya lebih penting dari makan. Yang datang memang saudagar tanah. Mertuaku tidak suka berbisnis di dalam rumah. Ia lebih memilih dibonceng dan dibawa keluar oleh tamunya. Entah ke mana. Ia kembali dengan pisang goreng untuk anakku.
Tamu biasanya datang siang hari. Ayahku adalah tamu yang datang malam hari. Ayahku pun datang bukan kehendak hatinya. Sebelumnya mertuaku memintaku untuk menyampaikannya kepada ayahku. Karena itulah ayahku datang. Malam tidak biasa menerima tamu. Malam tidak ada bisnis di mertuaku. Malam adalah waktu santai di ranjang penyalin.
”Duduk,”  kata mertuaku.
Ayahku duduk. Ia menyuruhku membuat kopi.
Kali ini aku tidak ingin kehilangan gosip. Aku ingin tahu apa yang dibicarakan oleh kedua lelaki. Aku takut kalau aku ingin dipulangkan ke rumah orang tuaku karena semalam aku telah menerima tawaran menari lagi. Sebelum meninggal karena sakit, suamiku tidak keberatan asalkan untuk anak kami, tetapi siapa tahu mertuaku keberatan.
”De, kemarin aku mendengar bahwa pesuruh desa datang ke rumahmu. Ada apa dia?” gerutu mertuaku kepada ayahku.
Ayahku gugup. Ayahku lebih muda daripada mertuaku, kira-kira sepuluh tahun. ”Saya tidak tahu, eee”
”Tidak tahu bagaimana? Aku dengar kamu sendiri yang menemani pesuruh desa itu di ruang tamu, benar?”
”Ya benar. Eh, saya tidak tahu dari mana ia tahu kalau saya telah membeli sebidang tanah Bli”
”Maksudnya, mereka sedang menyelidiki tanah itu?”
”Ya. Mereka meminta kuitansi. Mang!” Segera ayahku memanggilku. ”Belikan Bapak rokok”, katanya. Aku pergi.
Warung-warung tutup. Hanya ada mini market yang buka. Aku memohon agar bisa membeli sebatang rokok di sana. Dengan sedikit memelas, ada seorang pemuda juga membantuku memohon agar diizinkan membeli sebatang saja. Hah, aku harus membeli sebungkus. Kunsumtif! Dengan sengol kanan dan senggol kiri, ya, aku dikasi sebatang rokok oleh pemuda itu. Aku masih memikirkan apa yang sedang dibicarakan dua lelaki tua di rumahku. Aku segera pulang. Ayah sudah tidak ada. Kata mertuaku aku terlalu lama membeli rokok. Aku segera tidur.
Keesokan harinya, kepala desa, kelian desa, dan datang melipun keluargaku. Wartawan dari Bali, dari Jawa, bahkan wartawan yang berbahasa Inggris mengambil foto dan sempat meminta keterangan. Mertuaku digelandang beramai-ramai. Katanya mertuaku sering menjual tanah desa semasa Ratu Lingsir hidup. Ayahku juga digelandang. Rumah yang membesarkanku telah disita desa.
Penduduk tampaknya tidak heran. Rupanya mereka tahu bahwa ayahku dan mertuaku adalah abdi setia Ratu lingsir. Mereka mengatakan bahwa Ratu Lingsir pernah melakukannya kepada kepala desa kami yang sekarang. Ada yang mengatakan hukum karma pala. Ada pula yang mengatakan bahwa kepala desa yang sekarang adalah keluarga yang diberi garis merah, jadi bukan rahasia lagi kalau kami digelandang juga, diperlakukan sama seperti ketika aku kecil. Ketika aku menarik danyur dan melarang kawan lain, terutama teman sekelasku untuk menyentuh seutas danyur sekalipun.
”Ini perlakuan tidak adil. Adat sudah tidak adil! Aku lebih baik pindah agama!” kata mertuaku. Watawan merekam dengan baik momen itu. Dengan ekspresi marah luar biasa, fotonya pasti jelek. Terus saja mereka menggelandang keduanya. Ada beberapa kaur desa yang membuka segel untukku.
Beberapa tiga puluh menit peristiwa penting telah terjadi di desaku, penangkapan ayah dan mertuaku. Di pangkuanku, tangis tak habis-habis. Koran lokal bergambar foto mertuaku dan orang yang tidak kukenal terlihat di halaman pertama. Judulnya adalah Gigit Adat: Sedia Jual Tanah.
Namaku Nari, kebetulan aku adalah seorang penari, idaman para penduduk desa, karena itu aku tidak digelandang ke penjara. Namun, aku tidak tahu bagimana besok ketika di leherku bercokol kalung dari sisa-sisa daging kekuasaan Ratu dan darahku terlihat kuning, karena itu aku harus pergi dari puing-puing kata mertua dan ayahku, ”Pindah Agama” untuk sekadar mempertimbangkan barangkali.

Tukadmungga,2008













Menidurkan Bapakmu Dulu
Oleh Luh Arik Sariadi

            Pohon sawo mengirim daun kuning ke rumah tetangga. Berkumpul dan mendengarkan cerita yang setiap hari terjadi. Sebelum disapukan, ia akan tetap menunggu tuan rumah untuk bercerita. Daun lancip merayu-rayu Lina untuk bermain di halaman, tetapi yang tampak masam wajah Lina yang setiap hari mendengar dongeng. Lina gadis kecil. Ia senang mendengar dongeng. Sebetulnya, daun sawo bersedia bercerita tentang pangeran yang akan menjemput Lina kalau sudah dewasa, tetapi Lina enggan bergaul dengan sekumpulan daun yang terhempas dari tetangga sebelah yang halamannya luas dan memiliki pohon tertinggi.
            Lina menangis. Kedua bola matanya pecah karena tertusuk kaca yang tertahan. Lantai sudah basah dengan air matanya. Ia menggapai tanah. Digenggam, dilempar, dan kenalah matanya sendiri.
            Lina berusia lima tahun. Teman seusianya sudah sekolah di Taman Kanak-kanak Nusantara. Lina mengetahui temannya memiliki mug untuk tempat air yang berbentuk hanphon yang bisa dipencet dan mengeluarkan suara. Ia menangis menjerit karena ingin memiliki benda seperti itu.
            Lin-lin. Mestinya tidak perlu menangis! Ah, ia tetap menangis. Sudah sebam matanya. Tangannya basah oleh air mata dan diusap terus kelopak matanya hingga tanah menggumpal di kedua matanya. Lili nama panggilan anak kecil itu. Ia sangat sedih karena setiap kali ia ingin jajan, tangannya harus merogoh tanah di dapurnya. Ibunya di atas ranjang melihat tangis Lina. Namun, ibunya terlalu banyak pekerjaan, ia akan merendam cucian, lalu memasak, tidak ada waktu untuk Lina.
            ”Lina, sebaiknya pergi bermain dengan anak yang lain. Kamu anak manis. Pinjam saja mainan temanmu, sebentar. Ya, sebentar. Mereka tidak akan marah.”begitu nasihat ibu Lina.
            Lina tersedak-sedak. Batuknya karena sesak. Ia tidak mendapatkan mainan yang diinginkannya. Kelopak matanya sangat produktif. Ia terus menangis. Lina, tampaknya bukan anak manis seperti yang dikatakan ibunya. Ah, Lina cengeng!
            ”Lin, cari kakakmu saja. Dia pasti sedang istirahat sekarang. Ia bertugas menjaga kantin, siapa tahu ada temannya yang tidak mengambil uang kembalian. Nah, kamu bisa belikan itu bubur. Jangan menangis Nak ya...” ibunya merayu lagi sambil mendadar bijih kopi di atas penggorengan tanah.
            Lina menangis. Menyapu-nyapu tanah di dapur ibunya. Ia tidak akan berhenti menangis barangkali, kalau belum dibelikan mug. ”Lina jangan maksa ibu biar marah, Nak. Ibu bekerja dulu.” kata ibunya sambil menggaruk penggorengan.
            Hihi-hihi, Lina tidak putus-putus bernyanyi kesedihan. Ia belum TK, buat apa mug? Mestinya kalau sudah bersekolah, baru dia boleh meminta mug. Kasihan ibunya mendengar dia menangis terus. Ih, Lina mungkin bukan orang yang pengasih, seperti ibunya. “Lin, kamu berhenti menangis, eh, wajahmu jelek.” kata tetangga yang mendengar tangisan Lina.
            Lina tambah histeris. Ibunya sudah selesai mendadar kopi. Lina sudah berapa kubik mengeluarkan air mata? Sayang sekali ayahnya tidak ada di rumah. Kalau Bapaknya ada di rumah pasti Lina dipukul. Lina punya bapak yang sadis luar biasa. Kalau ada yang menangis di rumahnya, Sang ayah akan panik dan ia akan mengamuk. Buh, enak saja ngamuk. Yang kasihan kan Lina. Sudah sejak pagi buta ia menangis. Sudah sedih, dia dipukul lagi oleh ayahnya. Yah, itu biasanya yang terjadi.
”Lina, kamu tenangkan diri. Jangan sampai ayahmu tahu kamu menangis. Nanti dipikir ibu yang memukulmu. Nanti kita dipukul, Nak.” Ibu Lina penyabar ya...ya? Ibu Lina sehabis bekerja tampak lelah. Ia minum seteguk air. ”Lin, kakakmu kok belum pulang ya? Ini sudah petang. Apa kakakmu tidak langsung pulang? Dia pasti masih jaga kantin atau menghitung hasil penjualannya. Kamu cari dah. Jemput kakakmu, ya...!”
Lina terisak-isak. Angin sudah tidak ada rupanya. Lina menangis lebih kencang karena sesak. Coba saja kalau dibiarkan terus menangis? Wah, bapaknya akan segera datang dengan sebotol arak atau tuak. Petang begini biasanya bapaknya sudah menerima kabar kemenangan atau kekalahan sehabis memasang toto gelap. Bapaknya tidak kalah tidak menang, sama saja. Ia pasti akan minum-minum dan ibunya akan panik.
Ibunya memelas, ”Lina, mandi sana. Sebentar ayahmu pulang. Nanti dimarahi kalau belum mandi.”
Lina masih saja menangis.
***
“Bapakmu semalam mabuk. Ditubuhnya bersumbah akohol dan bau, cih. Ibu jijik melihatnya. Namun apa boleh buat, ibu takut dipukul. Bapakmu membawa botol. Isinya whine. Di tangan yang satunya, bapakmu memegang kupon togel. Katanya di desa kita, hanya dia yang kalah. Bapakmu menangis. Ibu kasihan melihatnya.
Nak, ibu sangat sedih lagi ketika bapakmu mengatakan bahwa ia dilarang ke sebuah kafe di kawasan Lovina. Uh, ada kafe Oge. Di sana bapakmu dipukul beramai-ramai karena waktu di kamar karoke habis, tetapi bapakmu malah tidak keluar. Petugas katanya sudah mengetuk-ngetuk pintu kamarnya, tetapi ia belum mau keluar. Bapakmu sudah meminta perpanjangan waktu, tetapi tetap saja petugas tidak bersedia karena pelayan yang ikut di dalam kamar bapakmu tidak menyahut.
Sekarang marak terjadi pembunuhan di kamar hotel. Kemarin ada berita, ada tamu di kamar hotel terbunuh dengan sadis. Bapakmu kan tamu juga di kafe Oge. Kalau pub-pub, kafe-kafe seperti yang diceritakan bapakmu tidak menyediakan kamar, bapakmu pasti tidak singgah di sana karena mabuk. Ya, kan Nak? Daripada bapakmu kecelakaan di jalan? Uek....uek...., sriut....gedabyug! Eh, kalau dibayangkan ibu ngeri. Eeh...bapakmu pasti lelah dan payah karena dikeroyok beramai, apalagi sedang mabuk. Sayang sekali kakakmu sekolah.  Coba kalau tidak sekolah pasti ibu suruh menjaga bapakmu biar tidak lama-lama di kamar orang. Ibu takut kalau nanti bapakmu terbukti sebagai pembunuh karena dijebak. Sekarang penjebakan terjadi terus, menimpa orang kecil yang kebetulan nakal. Bapakmu nanti dibunuh. Kasihan dia. Mengapa dia lebih memilih ibu ya? Mestinya dulu dia mencari perempuan sepuasnya, sesuai selera, yang diidamkan banyak lelaki. Tidak seperti ibu. Eh, ibu tidak ada apa-apanya dengan perempuan yang berumah di Oge.
Nak, nanti kamu jangan ke pantai. Ibu takut kalau kamu menemukan bapakmu di sana. Katanya sih bapakmu sehabis tidur di kamar dan mendapat mimpi, ia akan segera membawa uangnya ke cukong togel. Penghasilannya menjual kerang kan tidak tetap. Lagi pula ia masuk persatuan nelayan. Ibu takut kalau bapakmu dipukul remuk oleh teman-temannya, seperti kejadian beberapa hari lalu. Kamu lihat kan bapakmu hancur karena tidak membayar arisan persatuan, padahal bapakmu sudah lebih dahulu menerima uang arisan.
Begitu terus bapakmu. Membuat masalah di mana-mana. Onar jadinya. Tetapi....kasihan juga dia. Daripada di rumah ngamuk terus. Rumah sudah hancur, tambah lebur jadinya. Kita berdoa supaya  bapakmu tidak datang ya...
Nak, bapakmu meskipun hancur, masih juga tampan. Orang di desa kita sangat terpukau melihat bapakmu. Sayang, istrinya jelek. Hidungnya pesek. Kulit hitam. Miskin. Tetapi ada baiknya juga kan ibu? Ya, paling tidak ibu bisa bertahan dengan kemiskinan bapakmu. Siapa yang mau dengan bapakmu kalau bukan ibu.Itu tentu karena ibu rajin bekerja sampai-sampai tidak ingat ngurus kamu. Meskipun tampan, bapakmu miskin juga. Yah, ibu akui, bapakmu memiliki seekor ayam yang bertelur, dan telurnya sudah kita jual atau bapakmu sendiri yang minum mentah-mentah.
Nak, kira-kira kamu tahu bagaimana rupa bapakmu waktu bapakmu marah sehabis mukul kamu? Hah, kalau diingat-ingat. Bapakmu seperti binatang. Sayang, ia tampak seperti binatang. Coba saja bapakmu tidak tampan, misalnya perutnya buncit, matanya kecil, mulutnya besar, giginya banyak dan ada bulu banyak di seluruh  tubuhnya. Hih, kamu pasti akan lucu dan tertawa melihatnya. Ya, meskipun demikin, kamu jangan bersedih tertawa ya! Bapakmu akan tambah marah. Nanti kamu dipukuli. Kamu mau luka-luka seperti ibu? Ibu menjadi pincang karena berkali-kali dihajar bapakmu gara-gara tidak dibuatkan kopi?
Kamu tahu, Bapakmu dapat salam dari Mbah Brodin? Ibu sudah menyampaikannya, yap, bapakmu langsung pergi dan tidak jadi marah di rumah.
Ah, tapi ibu merasa berasalah. Pulangnya sangat larut. Di sekujur tubuhnya ada luka-luka. Mungkin bekas kata-kata yang menagih janji. Atau dia kena umpatan dan tendangan para penjaga kafe Oge. Sial, kafe itu jahat. Mestinya sebelum masuk bapakmu dicegah, disuruh menunjukkan uang, baru dikasi minum. Ibu berpikir, mengapa Bapakmu tidak dibunuh sekalian di kamarnya. Kasiahan dia tangannya sering patah dan keseleo, tetapi penjaga kafe terus saja memukulnya, bahkan di rumah, bapakmu tambah marah. Kamu lihat sendiri rumah kita. Rumah bukan, kandang bukan.
Bapakmu tidak pernah bosan. Sebetulnya ibu sudah tahu dulu bapakmu suka minum tuak, tetapi ibu tetap cinta bapakmu. Ibu juga melihat di samping bapakmu, perempuan-perempuan muda duduk di sebelahnya, menemaani bapakmu yang sedang berjudi. Yah, tidak masalah. Ibu suka dia. Karena itu, meskipun sekarang bapakmu selalu ke kafe-kafe seperti Arjuna mencari cinta, aku rela. Hanya saja, ada beberapa orang yang datang ke rumah kita dan kamu tahu bukan, mereka mengambil kayu bakar yaang ibu cari setiap hari. Kata mereka, bapakmu punya utang kemarin karena ngebon tuak di dagang patokan di Panji. Ibu mana berani melarang perempuan-perempuan muda dan cantik itu mengambil kayu bakar. Mereka membawa laki-laki ad sekitar lima orang. Ah, ibu lelah sebenarnya mengurus orang-orang yang datang itu, tetapi kalau tidak diurus, ibu takut kalau bapakmu tidak diizinkan nongkrong di Bangkiang Sidem atau di sekadar duduk di pinggir kali sambil melirik perempuan mandi di dekat bendungan di mana? Itu di Pancoran.
Ya, kita sabar saja Nak. Daripada bapakmu mati. Biarkan saja dulu ia bersenang-senang. Habis, kita sudah menasehati, tetapi tidak digubris sedikit pun.
***
Lina menangis. Kukunya sudah ada yang patah karena terlalu lama menggaruk tanah. Kasihan dia. Bibirnya sampai merah karena menangis. Hidungnya juga merah karena dipencet agar ingusnya keluar saat meangis. Ia sudah berulang-ulang batuk. Ibunya sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya agar Lina tertawa lagi.
“Tunggu, Nak. Sebentar akan kuceritakan dongeng untukmu. Jangan menangis. Ibu harus menidurkan bapakmu dulu.” kata seorang perempuan di rumah berbatas tembok tanah. Tubuh ayah Lina dibungkus debu. Kain yang dikenakannya sudah robek. Dadanya telanjang. Mulutnya kering. Gigi atasnya lepas tiga, barangkali dipukul oleh teman-temannya.
Lina berhenti menagis. Pada usia lima tahun, ia paham penderitaannya akan hilang, sebab ibunya terlalu sering disiksa. Lina benar-benar tidak sudi melihat bapaknya lagi. Seakan-akan tangisan Lina adalah doa untuk mengakhiri kebiasaan buruk bapaknya.
”Lina, menangislah! Bapakmu sudah mati, kamu kehilangan ayah. Menangislah dan tunjukkan bahwa dirimu bersedih!”
Lina mengabaikan perintah ibunya.
Kota Senyum
Oleh Luh Arik Sariadi

Sari, kuperkenalkan namaku kepada setiap senyum bahagia. Hari Selasa, seorang laki-laki  datang ke rumahku. Ia dari kota, kota Senyum. Lelaki bermata tajam datang dari kota itu hendak mencari pengantinnya di desa yang kering ini. Desaku sangat kering hingga setiap bunga yang berhasil melewati musim kemarau tumbuh dengan bunga beraneka nama dan beribu kumbang berebut mengisap madunya. Hanya angin yang tiba-tiba menyelamatkan bunga dari kumbang sebab madu telah tumbuh menjadi biji dan jatuh ke tanah. Yang jatuh itu akan bahagia karena tumbuh lagi. Namun yang terhisap sebelum pembuahan, madunya telah hilang. Manisnya telah lenyap. Hanya tubuhlah yang tampak memberinya semangat bertahan melewati musim. Dan, akulah kembang itu, terhisap saat malam menyergap  lalat-lalat. Esoknya, jejak-jejak lalat itu tak habis terhapus selama dua, tiga, bahkan belasan cuaca yang telah mengubah kota Senyum menjadi sebuah dongeng.
”Kota Senyum, pasir putih dan ombak yang teguh membanting angin,” kata Tut De. Saat aku memperkenalkan diri, ia banyak bercerita tentang kota itu. Ia pernah berjanji akan mengantarku melihat kotanya. Tidak ada dermaga, tetapi banyak orang berlabuh di kota itu. Tidak ada perahu di pantai kota itu, tetapi banyak kelompok masyarakat mengail uang di sana. Tidak ada sampan yang terikat di pohon-pohon tua, tetapi sepasang kekasih sering bertekad menerjang laut menuju impian. Tidak ada ruang kosong di pasir-pasir, tetapi pantai itu telah jadi rumah bagi jiwa-jiwa yang bebas. Berbagai senyum yang terjerat air laut pasang menyatu di tepi-tepi gelap, dan teriaknya membuat kota itu lebih dikenal sebagai kota senyum, entahlah.
Di kota itu, bocah-bocah kecil tak perlu menadahkan tangannya untuk mendapatkan uang dari orang yang punya rezeki lebih. Bocah-bocah kecil boleh bertugas sebagai sebuah strobery pada segelas juss. Mereka boleh berlarian menghamburkan pasir di kota itu.
Kota Senyum menyediakan berbagai merk minuman dari berbagai negeri. Tut De terus bercerita tentang kota kelahirannya. Ia sangat fanatik terhadap softdrink. Hanya satu perusahaan yang dipercayai menghasilkan minuman yang membasuh bibir tebalnya. Itu semata-mata karena ayahnya bekerja di perusahaan itu. Bukan, karena ia mencintai produk dalam negeri atau ingin mengikuti anjuran iklan di televisi yang dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Agnes Monica atau Luna Maya. Hah, dia pastinya seorang yang fanatik!
”Kalung-kalung yang dijual di kota itu adalah kalung-kalung yang bisa memberi faedah. Bisa membuat orang sukses. Aura setiap pemakainya akan terpancar binal. Kamu boleh membeli kalung yang terbuat dari karang-karang, nanti aku yang bayar,”  katanya pelan sembari mengenduskan hidung saat kusuguhkan secangkir kopi. Aku belum menjawab tawarannya, belum bilang bersedia ikut ke kotanya atau tidak, tidak menganggukkan kepala saat ditawari cerita kalung.
”Wangi farfum yang melekat di tubuhmu, serupa serpihan angin tatkala para dewi mencuci rambut di telaga di kotaku,” bisiknya menggoda aku yang sedang berpikir dan menimbang-nimbang tawarannya.
***
Ia mengatakan diriku seperti bayi, bahkan berkali-kali menyebutku bayi. Katanya itu panggilan sayang untukku. ”Yi...Yi...” Memangnya mengapa bayi itu? Kami tidak bersahabat lagi. Tut De lebih memilih menghinaku lewat SMS. Kalau kami bertemu, Tut De selalu berbicara yang indah-indah. Ia sangat cerdas. Ia tahu semua lorong di kota Senyum. Dengan lesung pipinya, aku tidak pernah menamparnya meski ia selalu mengucapkan kata-kata aneh di SMS atau surat. Saat bertemu, aku selalu suka ucapannya. Manis! Namun, aku tidak boleh tergoda lagi.
Sekali lagi aku mengatakan dalam hatiku bahwa aku tidak suka disebut bayi. Aku seorang sarjana. Aku punya banyak relasi. Aku bekerja dengan tanggung jawab. Aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan sangat cepat dan tepat. Jika atasanku menugaskan aku untuk melakukan penelitian di kelas yang aku ajar, aku bisa menyelesaikannya. Berkali-kali aku telah memperoleh juara menulis penelitian tindakan kelas sehingga mampu mengharumkan nama sekolah tempatku bekerja. Aku telah pula mengantarkan siswa-siswaku dalam olimpiade-olimpiade dan mereka selalu mendapat juara, meski tidak selalu mendapat juara I. Waktu ada sertifikasi guru honor, aku mendapat nilai yang paling besar. Fortofolio yang aku kumpulkan dengan sungguh-sungguh tidak diragukan lagi. Semua sertifikat dan piagam penghargaan aku dapatkan dengan kerja keras. Penilai, satupun tidak membubuhkan kata ”palsu” pada fortofolioku. Semuanya asli! Jadi, apa aku bayi?
Makanya aku tidak mengerti mengapa Tut De selalu menatapku sebagai bayi. Kata bayi diucapkan sambil tertawa sangat menyesakkan bagiku. Dan, aku memilih berpisah darinya meski hanya pisah ranjang. Di ranjang yang berbeda pada rumah yang sama, kami selalu SMS-an. Tak pernah ada dialog langsung. Hubungan kami renggang.
Setiap malam, setelah ia datang dari pekerjaannya mengejar target berita, ia tidak pernah lupa kirim SMS tentang kota Senyum, kota kelahirannya yang sempurna. Aku selalu tertarik dengan kota Senyum karena semenjak menikah dengannya, sekalipun aku tidak pernah diajak berkunjung ke kota itu.
Kami berdebat tentang kota Senyum dan selalu berakhir dengan amarah. Aku tidak suka ia menceritakan kota itu lagi karena kota itu seperti imajinasi saja.
Aku punya niat bertanya tentang kota Senyum ke setiap orang di kantorku. Karena aku hanya ingin mengecek keberadaan kota itu, aku betul-betul berlaga bodoh kepada orang-orang.
”Pak Gusti, kota Senyum itu seperti apa?” tanyaku kepada soulmate-ku. Paling tidak dialah orang yang paling dekat denganku untuk sementara. Aku percaya ia akan memberiku jawaban yang sebenarnya dan pasti sangat lengkap. Pak Gusti, sering membantuku dalam menyelesaikan tugas-tugasku di sekolah. Barangkali karena usianya yang sangat besar, ia tahu banyak hal. Pengalamannya banyak. Ia sering dikirim ke kota metropolitan untuk mengikuti pelatihan. Putra sulungnya juga bertugas di kepolisian. Pasti Pak Gusti mengetahui kota Senyum.
”Kota Senyum pasti mengenalku, hingga kamu tanya itu kepadaku, bukan?” tanyanya memberi jawaban atas pertanyaanku.
”Yah, saya tidak tahu, mengapa Pak tanya lagi ke saya?”
”Ha-ha, jadi tidak tahu kota itu?”
”Tidak.”
”Betul-betul tidak tahu?”
”Betul.”
“Pak hanya tahu kota itu pernah menjadi kota terlarang. Pemerintah pusat pernah melarang setiap orang yang hendak pergi ke kota itu. Pemerintah menyiarkan bahwa ada wabah di kota itu.”
”Wabah?” tanyaku heran dan betul-betul heran. Selama aku membicarakan kota itu bersama Tut De, suamiku, dia tidak pernah menceritakan bahwa kota itu pernah kena wabah. Lantas, aku bertanya-tanya mengapa Tut De tidak pernah menceritakannya. Mengapa memangnya wabah itu tidak diceritakan. Itukah sebabnya, Tut De tidak pernah membawaku ke kota Senyum?
”Pak, sekarang saya ada jam mengajar. Nanti saya bertanya lagi. Tidak keberatan kan?”
“Tentu.”
Sejak itulah, pertemuanku semakin intens dengan Pak Gusti. Kami membicarakan kota Senyum setiap ada waktu. Bahkan, Pak Gusti bersedia meluangkan waktu istirahatnya untuk menamaniku membahas kota Senyum. Seusai menjemput istrinya, ia datang ke lapangan tenis. Aku ingin tahu banyak tentang kota Senyum, makanya aku segera membeli seragam olah raga dan alat-alat tenis. Aku menunda pekerjaan sore yang bisanya aku kerjakan setelah istirahat siang. Aku bermain sedikit saja. Aku bukan olahragawan. Alasanku bermain tenis hanya ingin mengetahui kota Senyum. Nanti setelah aku tahu kota senyum, aku tidak akan berolahraga lagi.
Menjadi olahragawan sangat berat. Aku lebih suka duduk di depan laptop dan menjelajahi dunia maya. Aku tak pernah takut terkena penyakit pinggang, alat pencernaan atau penyakit-penyakit yang menyertai kebiasaan duduk lama di depan laptop. Dan, selama ini aku sangat senang dengan hidup karena aku punya dunia baru. Aku tidak perlu takut kehilangan orang-orang yang berada di dekatku. Hah, kalau saja dunia maya bisa menjelaskan keberadaan dan keadaan kota Senyum, tentu aku tidak perlu menjadi olahragawan. Aku tidak perlu mengeluh sakit pinggang atau sakit pergelangan karena memukul bola yang berat. Belakangan, aku menyesal mengapa aku membuang waktu untuk menegangkan ototku. Membuang gaji honorku untuk membeli peralatan olahraga. Dan, membiarkan aku terlibat dalam gosip-gosip yang menyakitkan.
Menurut mereka, aku perebut suami orang! Aku dijauhi oleh orang-orang yang selama ini kuajak membuat proposal untuk memperoleh dana block grant yang diperuntukkan bagi pengembangan sekolah menengah kejuruan. Kepala sekolah juga telah memperingatkanku dengan nada ancaman. Katanya ada yang melaporkan gerak-gerikku. Kepala sekolah tahu semuanya yang tidak mungkin semua benar. Karierku betul-betul diujung tanduk!
Malam-malam, saat aku bermimpi untuk kali pertama pada tidurku suatu hari, suamiku SMS.
”Sudah kau kunjungi kota Senyum itu?”
”Mana mungkin? Kau hanya punya cerita, tetapi tidak pernah mengantarku ke sana.” jawabku kepadanya dengan tanda seru lebih dari sepuluh.
”Masak?”
”Maksudmu?”
”Bukannya kamu punya lelaki tua sekarang?”
”Lelaki tua? Untuk apa?”
”Jadi, kau punya lelaki tua?”
”Siapa maksudmu?”
”Hah,” jawabnya tiga huruf.
Aku seperti seekor tupai yang dicemooh oleh senapan angin. Aku tidak mungkin menggedor pintu kamarnya malam-malam. Aku telah berjanji tidak akan menemuinya kalau belum menemukan kota Senyum itu.
”Hentikan guyonan yang mengacaukan itu!” jawabku.
”Bukannya kamu yang mengacaukan segalanya!”
”Ya? Oh, baiklah lebih baik aku tidur supaya tidak lagi mengacaukanmu!” jawabku kesal.
”Ya sudah. Mimpikan lelaki tua itu ya, Yi!”
Aku semakin tidak bisa tidur. Ia menyebutku Yi lagi. Aku benci sebutan itu. Lagi, aku memikirkan siapa lelaki tua yang dimaksud suamiku. Apakah yang dimaksud Pak Gusti? Hah, kepada siapa harus kuceritakan bahwa yang kucari dari Pak Gusti hanyalah kota Senyum. Bukan cinta atau kasih sayangnya. Untuk hal kasih dan sayang, aku tidak butuh lagi. Aku telah mendapatkannya dari dunia maya. Bahkan, aku tidak perlu lagi belaian suamiku. Aku telah kenyang dibelai oleh imaji-imaji kota Senyum.
Ah, akhirnya aku merasa perlu menjelaskan kepada suamiku. Setelah lewat tengah malam. Aku sms suamiku lagi, tetapi dengan kata-kata berkulit mauku biar dia tahu bahwa aku sangat ingin bersamanya ke kota Senyum.
”Beberapa dada mendekapku dengan nafas. Betapa kulitku ditusuk ribuan penghuni dunia. Ada cahaya, jejak yang ditinggalkan di mataku. Tidak ada bisikan kecuali tertutupnya pintu-pintu menuju ranjang pengantin.”
Esoknya, Tut De menjawab, ”Kau bahagia bukan?”
Jawaban macam apa itu. Dipikiranku ia tidak lebih dari lelaki bodoh yang tidak mengerti perasaan perempuan. Aku pikir gajinya lebih dari cukup untuk mengantarku ke kota Senyum. Hah, itu hanya impian yang siasia. Aku betul-betul diperlakukan seperti bayi.
Mbok Luh Komang, perempuan pertama dan orang kesekian yang kutanyai tentang kota Senyum. Mungkin dia lebih mengerti perasaan perempuan yang tidak pernah menyepelekan setiap hal. Namun, aku tidak bisa terlalu berharap. Meski ia perempuan, ia hanya seorang tukang cuci pakaian. Aku telah lama mengenalnya. Ia selalu datang ke rumahku untuk mencuci pakaian suamiku. Karena ia pembantu suamiku, aku tidak mau ia tahu aku. Namun, ia menyerahkan satu juta uang yang didapat dari saku pakaian suamiku. Sejak itu, aku mulai membuka diri untuknya. Barangkali ia bisa menceritakan kota Senyum.
”Mbok Luh, selama ini aku sesekali lihat kamu berbincang-bincang dengan suamiku.”
”Tidak, Bu. Saya tidak ada apa-apa dengan suami ibu. Saya hanya tukang cuci.” Katanya menghentikan ucapanku.
”Hei, aku belum selesai bicara.”
”Bu, saya punya suami yang sering mengantar saya kemari. Jangan khawatir. Lagi saya sudah monopos.”
“Ya...Tapi saya hanya ingin menanyakan satu hal. Yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu di tempat ini.”
”Apa itu?”
”Mbok Luh tahu kota Senyum?”
”Ya.”
”Jadi tahu?”
”Ya. Bu Sari memang harus sering tersenyum. Terutama kepada suami.”
”Hah, itu bukan maksudku. Yang kumaksud sebuah kota yang dihuni oleh manusia.”
”Ya.. itu maksud saya, Bu. Ibu seperti seorang bayi di sebuah kota Senyum seperti yang disebut-sebut Bapak.”
“Apa yang kamu ketahui tentang bayi dari suamiku?” Aku bertanya sangat marah. Seolah Mbok Luh Komang tahu segalanya. Aku benar-benar merasa suamiku telah membicarakanku kepada semua orang. Itu lagi-lagi penghinaan.
”Bapak sering menyebut-nyebut nama Ibu sendirian di ruang bacanya, ‘bayi manisku’ begitu katanya,” jawab Mbok Luh Komang.
“Ah, kau bohong! Dia itu sering menghinaku! Bayi! Bayi! Apa itu?”
“Bayi itu simbol. Ia sebuah realitas yang sangat terang dan jelas membawa sifat kemakhlukan dan keinsanian. Kepolosan. Ketelanjangan. Dan, keapaadaan.”
Aku merasa menjadi sangat mulia ketika Mbok Luh Komang mengatakan hal itu. Aku tidak percaya kata-katanya. Lagi pula suamiku tidak menunjukkan ia menyukaiku. Buktinya, ia tidak pernah mengantarku menuju ke kota Senyum. Dan biarlah kami berpisah karena ia pembohong.
Mbok Luh Komang meski meyakinkanku bahwa suamiku memujaku dengan menyebutku bayi, sungguh aku tidak akan terpengaruh dengan keputusanku pisah ranjang sampai ia mewujudkan impianku.
”Betul, Bu. Bapak menyebut Ibu dengan mesra, ’bayiku’ begitu berulang-ulang.”
”Bayiku! Bayiku! Bayiku!” kataku mencemooh katanya. Di dalam hatiku aku memang terbuai setelah Mbok Luh menjelaskan arti bayi. Menurutnya, bayi itu sebuah realitas, bakal keindahan, kehidupan, dan masa depan manusia. Bayi itu asasi dan paling dasar. Bayi ketakbersalahan. Seorang bayi menyimpan keutamaan manusia. Ada harapan yang bercokol menumbuhkan manusia secara asasi. Manusia tidak mungkin menjadi manusia jika tidak menyimpan harapan. Hanya itu caranya menutupi kebohongan? Dia merayuku? Kapan dia bawa aku ke kota Senyum?
”Bayi itu benih harapan.” katanya, eh maksudku kata temanku yang cerdas.

Sukasada, Juni 2009




































Tokoh-Tokoh dalam Pertunjukanku
Oleh Luh Arik Sariadi                         

Duduk di teras rumah sendiri membuat aku menatap taman dengan leluasa, menelanjangi segala rahasia yang disimpannya. Duduk sambil mengayunkan kaki menghadap hamburan debu membuat aku merasuk kepada debu yang bimbang dengan biasa, meniup sesak ke arah taman. Aku berharap satu rahasia kudapatkan hari ini untuk menegaskan bahwa aku bisa melakukan apapun karena aku berhasil mengungkap tokoh-tokoh yang bermain pada pertunjukan debu, dedaunan, terik mentari, air, dan angin. Jika sesosok telah terungkap sebagai tokoh utama, maka aku tinggal menunjuk bahwa tokoh-tokoh lain hanyalah antagonis atau figuran. Saat itu aku bisa bangga karena rahasia tokoh utama telah kudapatkan dan tokoh-tokoh lain bisa kutaklukkan dalam ceritaku. Tidak akan ada yang mampu menandingi kemampuanku menentukan jalan cerita. Maka peristiwa-peristiwa yang kubuat pun adalah peristiwa-peristiwa yang sangat berarti bagi mereka, pemain-pemain hebat.
Selain aku, tidak ada yang bisa menentukan hidupku sendiri karena akulah sang sutradara. Mereka hanya mengikuti. Hanya memerankan. Lalu aku berhak tertawa untuk pertunjukan mereka yang konyol. Tidak bisa kuingkari bahwa suatu hari akupun bisa bersedih karena aku terlalu kejam dalam menentukan  sebuah peristiwa untuk mereka. Kalau sudah menangis, aku hanya bisa minta maaf. Tidak peduli aku telah salah memberi kejadian atau memang mereka mantap dalam mengolah wajah mereka.
Kulihat dengan memejamkan mata, mereka mencoba improv gerak yang kuajarkan. Aku langsung saja mengepakkan tangan ke uadara dan mereka harus menerima bahwa tindakan mereka di panggungku keliru. Dia mencoba mempengaruhi pikiranku dengan bergerak-gerak lembut dan mendekati hidungku. Barangkali dia tidak tahu bahwa aku punya penciuman yang tajam. Aku punya kemampuan membaca pikiran mereka. Gerak lembut dan tawaran-tawaran mereka hanyalah negosiasi untuk mengalihkan perhatianku. Mereka ingin aku menjauhi sebuah bayangan di mataku yang terpejam. Mereka ingin merampas seseorang dari hatiku yang sedang resah. Meski mereka mencoba bernyanyi dan menari sambil terbang di angkasa, tampaknya menuju pantai, aku tidak akan terpengaruh karena aku lah sutradaranya.
Tanah kering telah membesarkan aku dalam damai. Akar yang tegar, begitulah kira-kira pagi memanggilku. Siang pun menjelma semakin memendarku dengan kaku. Ia menguji ketegaranku dengan menusukku. Barangkali menusuk dengan cahaya yang panas adalah sebuah pilihan baginya. Atau barangkali tugas berat, sebab aku sahabat pagi, siang, dan malam. Tiada cahaya yang lebih sabar selain siang. Menunggu bulan datang sangatlah rashasia. Menggantikan pekerjaan menyinari, menemaniku, dan mematangkan aku dengan peristiwa-peristiwa tanpa lelah. Menjadi pemain dalam pertunjukan cahaya itulah kebanggaan. Aku tidak mau menjadi pemain dalam pertunjukan angin, air, atau kabut karena akulah sutradaranya. Kusadari betul bahwa aku sebagai akar tidak mungkin hidup tanpa air. Air itu musuhku meski aku akar yang lemah. Setiap hari begitu. selalu begitu. Begitulah aku bermusuhan, tanpa sebab. Begitulah aku bersahabat, tanpa sebab. Sebuah rahasia adalah senjata untuk musuhku, juga sebagai kepercayaan untuk sahabatku.
Suatu hari hujan datang deras menungguku yang sedang menanti sepucuk bunga tumbuh. Belum tahu bunga akan jadi musuhku atau jadi sahabatku kelak. Dia memintaku menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mengisi kekosongan.
“Bagaimana pendapatmu tentang lilin?”
“Tidak mengerti” jawabku kepada siang.
“Aku bertanya bagaimana dia? Bagaimana karakternya? Atau apa saja yang kamu ketahui tentang lilin.”
Aku sungguh tidak tahu maksud pertanyaan hujan. Mungkinkah hujan telah tahu bahwa aku membenci air tanpa sebab? Aku ketakutan. Jangan-jangan hujan mengetahui bahwa aku telah menjadi sutradara pertunjukannya. Harga diriku akan hilang jika dia mengetahui bahwa aku ingin menjadi penguasa, sekalipun dalam lamunan. Aku mulai berpikir, memperkirakan peristiwa-peristiwa untuk menjebak hujan biar tidak menerjangku.
Aku mencoba melahirkan tokoh baru dalam perbincangan kami, mungkin dia tidak tahu. Dengan kemampuanku mengungkap alam, aku menciptakan kabut. Sebelum hujan menerjangku, akan datang kabut. Aku tahu bahwa angin sangat mencintai kabut meski kabut tidak pernah sungguh-sungguh mencintai angin. Aku mengetahui bahwa kabut hanya mencintai air. Air pun mencintai kabut. Kabut dan air pernah kutemukan bercumbu di angkasa. Mereka menghancurkan tapa para dewa. Dewa Siwa pernah terperanjat menyaksikan percintaan air dan kabut. Aku geli melihat Dewa Siwa sangat kagum dengan ciptaan Dewa Brahma. Dengan halilintar Dewa Brahma menumbuhkan cinta antara air dan kabut. Air liur Dewa Siwa sampai mengalir dan dia lupa melebur tokoh-tokoh yang tidak boleh aku mainkan dalam pertunjukanku.
Air menari-nari mengitari liuk-liuk kabut di atas bukit. Siapapun akan tergiur untuk memiliki kabut yang sangat cantik. Geraknya sangat lambat, itulah yang membuatnya semakin sensual. Air mana tahan hanya melihat kabut dari kejauhan. Air tidak mungkin melewatkan hari itu hanya dengan menari-nari. Air suka menggoda! Namun, saat bersama kabut, air tidak mau melirik angin, atau para dewa. Air betul-betul tahu saat-saat yang tepat untuk muncul sebagai protagonis. Aha…aku telah berhasil menciptakan sebuah peristiwa. Hujanpun tidak bisa turun, kecuali Dewa Siwa telah sadar bahwa aku terpaksa membuat kabut meliuk-liuk. Kalau bebatuan pun semakin mengeras karena senang juga dan tidak ingin terguyur oleh hujan, sungguh  aku tidak sengaja.
Dewa Siwa punya istri yang cantik juga. Katanya sangat setia dan pencemburu. Dewa Siwa tidak akan berpaling berlama-lama karena dia akan menyesal. Seandainya istri Dewa Siwa tahu kalau suaminya mengintai kecantikan kabut, Dewa Siwa tidak akan punya istri lagi. Kapan Dewa Siwa mencari-cari kesalahan istrinya? Kapan Dewa Siwa mengekang nafsunya? Kapan Dewa Siwa berhenti bertapa? Kapan Dewa Siwa berhenti membinasakan makhluk-makhluk yang tidak disuakainya atau makhluk-makhluk yang tidak setia kepadanya. Dewa Siwa pandai menguasai dan menghancurkan dengan kutukan. Tersadar bahwa Dewa Siwa punya kutukan yang maha dahsyat kepada semua makhluk di dunia ini, maka kuhentikan kehadiran Air. Kubiarkan air menyerbuku serupa hujan. Dengan gugup, aku pun berpura-pura bertanya lagi.
 “Lilin? Hanya satu yang kutahu dia punya cahaya.”
“Menyinari?”
“Tentu. Ah, tunggu! Mengapa bertanya tentang lilin?”
“Tidak ada apa-apa.” Jawabnya kepadaku.
Aku bingung. Ini siang dan dia bertanya tentang lilin. Sudah lelahkah siang berteman denganku? Aku menjadi semakin heran ketika ia bergegas kembali ke rumah ibunya. Siang pergi tanpa sepengetahuanku. Dengan hujan, ia tinggalkan jejaknya kepadaku. Dia tinggalkan aroba debu yang telah hanyut oleh rintik-rintiknya. Lantas aku tidak bisa percaya kalau esok ia kembali dengan senyumnya, menemaniku melewati jalan setapak yang telah terburai resah. Dapatkah aku sendirian menatap rerumputan yang telah kering? Apa yang harus kujawab jika sesaat lagi belalang bertanya tentang siang? Bagaimana aku bisa menggambarkan wajah siang kepada angin jika siang pergi dengan segera.
Mungkinkah siang serupa cupak? Memakan semua nasi yang dibungkus oleh daun jati?  Di setiap perjalanan menghabiskan bagian-bagian Jaya Prana. Di hutan muda, cupak bersembunyi sambil mencopet-copet ulat blatung yang telah dibakar. Itu perbekalan untuk setahun sampai raksasa tewas di tangan mereka. Siapa yang harus kuperankan jadi putri yang berhasil diperistri Cupak lewat penipuan?                      
Aku pun bosan dengan pertunjukan tanya jawab itu. Pertunjukan musim kemarau harus usai aku tidak bisa menjawab pertanyaan hujan. Barangkali itulah sebabnya aku takut menanti seseuatu bersama hujan.
Dingin sudah kuundang untuk membangun suasana baru dalam pertunjukanku sekali lagi. Ini pertunjukan tentang manusia. Pertunjukan yang tidak menarik sebetulnya, tetapi harus kupentaskan di panggungku karena aku tidak ingin berlama-lama pada satu peristiwa atau tinggal lebih lama pada peristiwa yang belum kupentaskan.
Sesekali, seorang sutradara memang harus mengecap jadi pemain supaya tidak seenaknya memberi karakter pada setiap tokoh. Seorang sutradara harus juga memainkan peran yang bermacam-macam agar punya kedalaman tentang karakterisasi dan supaya kelak tidak menangis lagi tatkala pementasannya gagal. Untuk itu, pada sebuah musim kuciptakan dua tokoh, aku dan dia.
Dia dan aku sama-sama tahu bentuk tangan. Tanganku kuat, menggenggam sangat erat. Telapak tanganku merah, tentu dia ingat. Garis-garis kesehatanku mungkin kurang tegas, tetapi dia juga pasti ingat bahwa aku minum multivitamin biar bisa hidup lama. Aku selalu makan sayur dengan daging yang berimbang sesuai dengan saran dokter. Dialah yang paling tahu bahwa garis tangan itu telah menebal dengan garis lurus menjulang dari tengah-tengah antara ibu jari dan telunjuk menuju ke pergelangan tanganku. Dia yang sangat tahu rahasiaku karena hanya kepadanya aku bercerita.
Mengenai garis rezeki pun dia tahu. Kami dulu sama-sama baca buku palmastry. Kalau dia membaca rezeki sedang tidak bagus, dia tidak akan mau ditraktir makan walau sekadar membeli nasi goreng di depot Jakarta, milik warga berdarah tionghoa. Aku pekerja keras. Mengisi hari libur, aku tidak bisa hanya duduk menyaksikan acara musik dengan tiga pembawa acara atau sinetron dengan iringan lagu-lagu dangdut. Juga tidak mungkin aku hanya jalan-jalan ke pantai dan laut. Aku telah terbiasa bekerja. Kalau sehari saja aku tidak mengerjakan sebuah pekerjaan, kepalaku sering sakit. Menurutku, pekerjaan itu harus kusukai meski hasilnya tidak cukup untuk membeli soft drink. Aku biasa menerima pengetikan, pembuatan kartu nama, cetak buku. Ah, maksudku aku bekerja sebagai buruh musiman. Kalau rezekiku bagus dia minta dibelikan baju kaos di plasa, satu-satunya pusat perbelanjaan dengan eskalator di kotaku. Ah, dia memang agak gila! Dia tidak mau meminta dibelikan, tetapi dia sering minta untuk diantar presiran. Dengan senang hati aku mengantarnya. Kau kalau punya rezeki pasti juga akan memanjakan kekasihmu, bukan?
Tentu. Walau kau tidak tahu seseorang akan berjodoh atau tidak denganmu, kau tetap memberi sesuatu. Masalah jodoh memang sulit ditebak dari garis tangan. Beberapa kali kami membaca garis tangan bersama. Dia membaca garis tanganku sambil bertanya tentang masa lalu. Aku orang jujur. Aku menjawab tanpa malu bahwa aku telah berhubungan intim dengan laki-laki lain sebelum dengannya. Aku ingin suatu hari hubungan kami berjalan tanpa ada penyesalan, apapun alasannya. Dia setuju saat memegang tanganku.  Dia juga tahu berapa aku akan melahirkan anak, tidak peduli dengan siapa aku menikah.
“Satu anak gagal tumbuh dirahimmu.” Katanya datar.
“Lagi?” tanyaku pelan.
“Kau akan menikah setelah usia tiga puluh tahun.”
“Lalu?”
“Jika menikah di bawah usia itu, kamu akan mengalami kegagalan.”
“Berapa kali aku akan gagal sebelum usia tiga puluh tahun?” tanyaku lagi.
“Berapa kali maumu?”
“Sekali saja.”
“Dikabulkan,” jawabnya dengan canda sambil membelai rambutku.
“Kalau begitu, kau lelaki yang paling malang karena hanya kamu yang menerimaku apa adanya. Berarti kau baik. Kau pastilah lelaki yang handal dan bertanggung jawab. Kau pasti banyak dicintai perempuan. Dan, pastilah kamu seorang pangeran dulu.”
“Ah, kamu berlebihan. Aku tidak tahu. Aku hanya ngawur. Kita kan baru belajar bersama-sama. Kau jangan berlebihan menilaiku. Siapa tahu ramalanku salah. Kamu pun salah. Ah, kamu tidak boleh hanya berpatokan dengan satu buku semacam ini.” Katanya sambil melempar buku ramalan itu ke arahku. Seolah-olah ia mulai geli dengan buku itu. Aku pun mulai menganggap buku itu sebagai olok-olok. Kutarik tangannya untuk mempraktikkan buku ramalan itu.
“Mari kubaca garis tanganmu!”
Ia tidak mau diramal. Dia menyembunyikan kedua tangannya di balik kaos Jogja. Aku tidak mau kalah mengolok-olok. Meski aku perempuan, aku punya tenaga yang kuat. Tangannya kudapatkan. Aku meramalkan bahwa tidak akan pernah ada pernikahan dalam kehidupannya. Garis parabol telah membentang kuat di bawah jari manis dan kelingkingnya. Garis pernikahannya pun tidak jelas. Lagi pula ada garis semak-semak memutus garis pernikahannya. Aku tidak bisa mengerti, dia sangat kucintai mengapa punya garis seperti itu? Mungkin aku memang ditakdirkan menikah tua atau sama sekali tidak menikah? Apakah aku akan bersamanya sampai tua? Sampai dia menemui ajalnya? Sampai dia tidak punya satu alasanpun untuk menunda pernikahan
“Tidak mau gagal,” jawabku dari dalam hati yang paling resah.
“Benarkah? Denganmu aku akan gagal juga?”
Dia hanya diam. Bukankah selama ini diam diartikan ya? Haruskah kuhentikan pertunjukan ini lagi? Aku telah gagal sebagai pemain atau sutradara. Kusembunyikan wajahku di hadapan debu. Kututup rapat-rapat pertunjukan-pertunjukan tanpa klimaks yang menakjubkan karena aku tahu tidak ada tokoh yang bisa kukendalikan, bahkan di panggungku sendiri. Kepada semua tokoh-tokoh yang telah kupermainkan, kusampaikan sebuah pernyataan maaf dan “Don’t think of me” kataku pelan saat kugenggam erat tanganku di teras yang telah berembun.
Singaraja, Juli 2009

















SEORANG DUKUN YANG BERCITA-CITA MENJADI GURU
            Oleh Luh Arik Sariadi

Mata yang bergetar,
Kata-kata bagi jiwa yang gusar.

Aku lagi tidak takut. Aku menebang tanaman di sekitar halaman rumah. Yang kutebang meneteskan getah yang sangat segar, serupa air terjun Gigit. Aku memukul pot-pot yang bergantungan di depan rumah seperti seorang pemain kasti. Aku menendang pot-pot di teras rumah. Aku menggigit anak ayam yang demam karena musim hujan. Aku menelannya mentah-mentah. Tetanggaku barangkali berpikir bahwa aku sedang meramal seseorang. Nenekku yang sangat renta seperti menyaksikan kerauhan. Dewa apakah yang menjelma bagai prahala? Dewa apakah yang merasa tidak puas dengan sesajen yang dipersembahkan setiap pagi dan sore? Mereka pasrah dalam hitungan detik. Mereka ketakutan tampaknya. Aku sadar melakukannya. Tidak ada kesurupan. Aku sangat sadar. Saat itu namaku Ketut Sarining. Sekarang pun namaku Ketut Sarining. Sampai kapanpun tetap namaku Ketut Sarining. Dan, jangan pernah ada yang memanggilku dengan nama sapaan. Itu tidak boleh. Aku hanya Ketut Sarining, seorang dukun yang bercita-cita menjadi guru.
***
Pagi-pagi, matahari tercekal oleh awan di atas bukit Wanagiri. Ia menangis mereka-reka wujud yang hendak menolongnya dari penculikan, seperti kemarin atau beberapa bulan lalu. Aku hendak menolongnya, tetapi aku masih kusut. Semalam ada upacara besar di kamarku. Aku memutar-mutar sembilan kartu. Aku membakar dupa tujuh batang dan mengucapkan mantra-mantra. Hanya ada dalam hati.
Kalau aku mengucapkan mantra-mantra itu, dadaku membusung. Ada udara yang mengalir ke telinga, hidung, dan mulut. Bibirku tertutup sehingga udara itu hanya berhembus melalui hidung. Mataku saat itu terpejam rapat. Di dalam kelopak mata itu, ada gelap. Hanya ada lintasan-lintasan cahaya yang bergerak melingkar-lingkar di kegelapan itu. Kalau mantra itu sudah habis kubaca, barulah aku membuka mulut dan menyemburkan air ludah ke kartu yang jumlahnya sembilan.
Kartu-kartu itu berisi tulisan, nama-nama dewa di sembilan arah. Yah, walau ramalan itu ngawur, ada saja yang mau kuramal. Di sekolah tempatku mengabdi, guru-guru lain bertanya tentang peruntungannya.
”Bagaimana nasib saya?” tanya Ibu Ratna kepada aku yang sedang memutar-mutar kartu ke delapan arah, kecuali kartu yang ada di tengah, yaitu kartu Siwa. Putarannya disesuaikan dengan pertanyaannya. Kalau pertanyaannya hanya tiga kata dan ada kata-kata tambahan, sehingga jumlahnya 9 kata, maka aku akan memutar kartu-kartu itu sebanyak sembilan kali. Jawabannya, ada penghidupan yang bagus.
”Berapa anak saya?”
Aku mengatakan kepada Ibu Ratmi bahwa ia harus membuat sesajen berupa nasi berbentuk gunung dengan lauk serpihan garam laut ditambah minyak asli buatan sendiri. Sesajen itu diletakkan di atas meja dengan air segelas kecil. Kalau nasi yang tersisa setengah tinggi bukit itu, maka ia akan memiliki anak lebih dari sembilan. Itupun kalau ia mau. Kalau ujung nasi itu jatuh atau dimakan cicak, itu berati anak yang dilahirkan akan lebih banyak perempuan. Begitu aku menjelaskan kepadanya karena ia mendapat kartu Wisnu setelah aku memutar-mutar kartu hingga ia betul-betul selesai berbicara.
Aku terus memutar kartu, hampir tiap malam. Sudah empat belas kali. Aku sendiri tidak tahu apa aku tepat  menghitung jumlah kata yang sudah diucapkan oleh Pak Suar. Aku sudah mengeluarkan keringat. Ini seperti waktu aku bermain teater. Aku memerankan Maling dengan dialog yang sangat panjang. Lalu, aku lupa. Dialog keberapa gilirannya. Pak Suar pada akhirnya mendapat kartu Rudra atas pertanyaannya, “Saya lulus atau tidak sertifikasi guru?”
Dengan berat hati harus aku jelaskan bahwa pertarungannya berada di antara teman satu kelompok. Masalahnya tidak ada pada jumlah sertifikat yang dimiliki atau jumlah karya tulis yang dibuatnya, meskipun pada kenyataannya guru-guru lain mengetahui bahwa Pak Suar bukan guru yang disukai di ruang guru.
”Bapak sekarang harus menggunakan kekuatan yang Bapak miliki untuk melenyapkan rasa iri yang muncul dari tiga orang guru yang sangat dekat dengan Bapak. Tiga orang ini akan menghampiri Bapak di lobi depan nanti siang. Ketiga orang inilah yang harus Bapak waspadai!” kataku dengan penuh keyakinan.
“Saya dapat pacar atau tidak?”
“Hari ini, bulan ini, atau tahun ini?”tanyaku balik.
”Ya, sekarang.”
”Ibu kan sedang bersama saya sekarang. Saya pastikan sekarang tidak dapat. Tapi nanti dulu. Saya akan lihat kartu Ibu.” kataku sambil memutar kartu.
”Ah, usia ibu sudah di atas tiga puluh tahun. Sangat sulit mencari lelaki perjaka. Kalau ibu mau dapat lelaki perjaka, itu butuh waktu lama karena orang itu adalah orang desa yang miskin, tetapi ganteng, Bu.” begitu aku menjelaskan kepada Ibu Raning, guru honorer yang sekarang menjadi calon legislatif.
”Ya, kalau yang tidak perjaka tetapi belum menikah, itu ada?”
”Ada. Itu sangat dekat dengan Ibu. Kalau ibu mau dengan dia, Ibu akan segera jadi PNS. Dan, itu artinya, Ibu harus memundurkan diri menjadi caleg.” jawabku sambil berbisik.
”Kalau yang du...”  
”Nah, yang duda paling bagus itu Ibu. Punya anak tiri dua tidak apa, itu justru bagus untuk Ibu.” Jawabku menyela.
“Lho, Ketut dari mana tahu kalau saya sedang didekati oleh seorang duda?”
Aku hanya tersenyum sambil menunjukkan kartu yang didapatkannya. Aku hanya menerka-nerka saja. Kebetulan tebakanku benar. Aku tidak tahu apa aku terlalu angkuh untuk menjawab secara kebetulan. Kalau suatu hari ternyata kata-kataku salah, maka aku telah menghancurkan nasib Ibu Raning. Kasihan dia. Tetapi, lebih kasihan lagi kedua anak duda. Mereka pasti memerlukan ibu yang sangat menyayanginya. Seandainya aku kelak punya uang yang lebih banyak, aku akan membuat panti asuhan yang nyaman untuk anak-anak yatim. Mereka boleh tidur di rumah masing-masing setiap hari Jumat sampai Minggu.
”Tut, apakah Ibu bisa menjadi anggota dewan pada Pemilu ini?” tanya Ibu Raning sekali lagi.
Ia sering meninggalkan siswa untuk kampanye. Dia menjadi caleg nomor tiga dari sebuah partai ternama. Di Bali, Partai itu masih punya nama, meskipun beberapa tahun telah tenggelam seiring jatuhnya sebuah kekuasaan di negeri ini. Dia pasti menjadi anggota legislatif menurut logikaku. Namun, menurut kartu ini, dia akan menjadi caleg, tetapi banyak orang yang akan menghinanya. Kalau dia tidak menjadi caleg, dia bisa memiliki kedudukan yang lebih besar. Ia akan menggetarkan ibu kota provinsi dengan sepak terjangnya sebagai seorang perempuan.
”Bisa.” kujawab dengan tegas.
“Apa saya punya bakat selingkuh?” tanya Ibu Sri kepadaku yang sedang melamun memikirkan jawaban-jawaban ngaur untuk Ibu Raning sebagai basa-basi.
Ibu Raning diam ketika gilirannya diambil alih oleh Ibu Sri. Tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Aku tidak khawatir kalau ia kenyataannya tidak menjadi caleg. Banyak orang menghinanya dari belakang karena ia sebetulnya seorang yang tuli. Ketika memenuhi syarat sebagai caleg, semua orang tahu kalau ia bisa dengan mudah mendapatkan surat keterangan sehat karena kerabatnya ada yang menjadi dokter, pegawai pemda, dan ada di kepolisian.
”Tunggu. Tunggu.dulu. Saya akan lihat wajah Ibu dulu sambil memutar kartu-kartu ini. Sampai saya puas melihat menghitung bulu mata Ibu, baru saya akan berhenti memutar kartu ini.” jawabku selagi ingat bahwa aku sedang meramal Ibu Sri.
Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Apa maksud perkataannya. Apakah di dalam benaknya ada perasaan cinta kepada salah seorang guru di ruang ini? Apakah ia sedang jatuh cinta, barangkali ketika suaminya pergi jauh bekerja ke kapal pesiar, ia menerima tamu dan mendekatinya, sehingga ia tergoda? Aku merasa heran mengapa pertanyaan itu diitanyakan kepadaku? Apakah dia memang ingin selingkuh sekarang? Makanya dia mengatakan itu tanpa ragu kepadaku di hadapan guru-guru lain. Guru-guru yang laki-laki dan suka selingkuh, pastilah mengira kalau Ibu Sri memang kesepian. Ia membutuhkan teman, paling tidak untuk mengantar-jemput anaknya yang masih duduk di taman kanak-kanak. Aku meras kaku, bertanya tanpa tahu yang pasti, apakah aku pantas menjawab pertanyaannya?
Sebelum aku menjawab, aku berjalan dulu ke belakang. Di ruang guru ini ada dapur kecil. Ada dua buah mangkuk. Sepuluh gelas yang baru dicuci oleh Ibu Suyasi. Dia guru yang paling rajin. Dia pernah bercerita kepadaku tentang kehidupannya yang pinda-pindah kerja. Semula menjadi guru honor, selanjutnya melamar pegawai Pemda dengan ijazah SMA. Selama delapan tahun menjadi pegawai Pemda dan pindah profesi lagi menjadi guru matematika di sekolah itu. Menurut teman-teman di sekolah, dia begitu karena tahu kalau sekarang ada sertifikasi guru. Namun, itu mungkin pendapat orang-orang yang iri kepadanya. Menurutku, dia memang sudah digariskan bertemu dengan orang-orang yang memudahkannya pindah-pindah kerja. Itu kata-kata kartu yang kuputar.
Di dapur itu, aku kembali ingat bahwa di ruang guru ada Ibu Sri yang menungguku. Entah ia memintaku menjawab bahwa ia punya bakat selingkuh atau aku harus mengatakan bahwa dia tidak punya bakat itu. Aku keluar saja. Aku tidak perlu memikirkan sesuatu. Yang keluar dari mulutku, itulah hasil ramalannya.
”Ibu berbakat selingkuh.” kataku sehabis mencuci tangan dari dapur.
Mukanya merah, tetapi itu bukan berarti aku pandai meramal. Itu bukan berarti aku mengatakan yang benar. Itu juga bukan berarti bahwa dia memang berbakat selingkuh. Ini baru akan terbukti sampai lima tahun mendatang. Ibu Sri akan sering ditinggal suaminya.
“Apa saya bisa bertahan dengan hanya menjadi guru honor di tempat ini?”
Pertanyaan Yani sama dengan pertanyaanku sendiri kepada kartu-kartu itu. Setiap hari Minggu malam, aku memutar kartu-kartu itu. Hari Minggu adalah hari kelahiranku. Aku ingin mengetahui karierku di masa mendatang. Aku ingin kelak bisa membuat penerbitan majalah. Aku ingin mengajak teman-teman yang tidak punya uang empat puluh sampai delapan puluh juta bekerja bersamaku. Uang itu biasanya harus diberikan kepada oknum pejabat daerah untuk memutuskan seseorang menjadi PNS setelah seseorang mendapat surat keputusan kepegawaian. Surat itulah yang digadaikan ke bank untuk mendapatkan uang bagi oknum-oknum yang tidak pernah bisa dibuktikan itu. Semua orang sepertinya tidak mau membuktikan hal itu karena memang tidak ada bukti. Padahal, itu sudah menjadi rahasia umum. Kalau mau, seseorang bisa menjebloskan orang lain yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan. Inilah tolong-menolong. Yang pernah menolong tidak akan dikhianati. Yang ditolong harus tahu balas budi.
Aku berpikir kalau aku punya uang sebanyak itu, untuk apa aku menjadi PNS. Aku lebih suka hidup dalam ketidaksepakatan waktu. Aku mau memanfaatkan waktu secara induvidual. Aku tidak mau menunda untuk pergi memancing, meskipun aku seorang perempuan.
Tentu aku tidak mau bernasib sama dengan calon iparku yang memberikan uang kepada seseorang bahkan membatalkan rencana pernikahannya, hanya karena seseorang yang menjanjikan surat keputusan pengangkatan menjadi PNS. Setelah semua uang diberikan, orang itu justru balik menuntut iparku karena dianggap mencemarkan nama baik. Aku takut bermimpi menjadi PNS.
Di kartu yang kuputar sendiri. Aku mendapat jawaban yang mengada-ada. Mengadakan peristiwa-peristiwa besar dalam hidupku. Aku menemukan kartu Wisnu. Itu artinya ada kemakmuran di dalam hidupkku. Harta melimpah dan sebuah panti. Namun, meskipun ada anak-anak panti di dekatku, tetap aku ingin menghabiskan hari-hari di salah satu kamar sebuah panti. Sendiri. Mereka hanya bisa menemuiku kalau mereka ingin mengetahui masa depannya. Aku tidak ingin keluar kamar kalau tidak ada yang memerlukan aku. Aku merasa yakin bahwa terlahir menjadi dukun di sebuah panti asuhan, bukan PNS. Namun, aku takut kalau ternyata aku hanya seorang dukun cabul, yang terjebak dalam tawa anak-anak panti –karena itulah aku harus bekerja –menjadi PNS.
***
Barangkali itulah yang menyebabkan aku terlihat sangat aneh di hadapan tetanggaku, bahkan di mata orangtua dan saudara-saudaraku. Aku bukan sosok yang suka menyendiri, lalu melamun sepanjang hari. Aku adalah penyendiri tetapi bergerak aktif. Aku seperti olahragawan. Aku berlari sendiri. Aku berjalan sendiri. Aku duduk sendiri. Aku memutar kartu-kartu itu sendiri dengan kreatif.
Aku tidak percaya bahwa aku tidak lulus tes CPNS. Ini sungguh berbeda dengan ramalan kartu-kartu yang kuputar sendiri. Bajuku basah oleh air asin. Tidak ada kemenyan atau dupa. Tujuh batang dupa sudah padam. Sudah ada amarah yang membakar suasana. Sudah ada yang hangus dan mengeluarkan asap sebagai penghubung antara alam manusia dengan alam dewa. Aku memutar lagi kartu-kartu itu.
“Tidak ada yang bisa disuap lagi! Semua mata sedang mencari mangsa, kegelapan sudah lenyap bersamaan dengan itu kecerahan juga lenyap. Semua samar semuram nasibmu, berhenti menjadi dukun! Kau itu guru yang harus menerangi anak-anak dalam kemuraman, kemiskinan, dan kebimbangan dengan pengalaman pasti yang dapat menyakinkan mereka atas ilmu-ilmu yung kau miliki!” kartu-kartu itu berkata lalu hangus terbakar sendiri.

                                                                                       Bali, Desember 2008















Meme Poli

Merta duduk di atas pohon jambu biji. Ia menggerak-gerakkan kakinya. Sambil memetik daun-daun jambu biji, dia juga komat-kamit menggetarkan bibirnya yang agak moncong. Sepertinya dia sedang membaca mantra. Ia persembahkan gerakan matanya yang indah. Mata bulat menusuk tajam setiap gerak jambu biji. Ketajaman mata itu mampu membuat semua makhluk terhipnotis. Yang ditatap Merta menjadi tunduk, takluk. Ketajaman mata itu mampu meremukkan setiap pandangan dari penjuru musuh. Hidung yang ditarik saat menghirup udara pagi menandakan bahwa ia sedang menatap tajam musuhnya. Apakah akan ada perang? Siapakah musuh Merta saat menatap tajam?
Dengan meletakkan bola mata agak ke atas, Merta telah menjadi raja di atas pohon jambu biji. Pohon itulah istananya. Daun jambu biji jatuh satu persatu, seakan-akan mereka tahu masalah yang dihadapi Merta. Ranting-ranting ikut terbius oleh beban berat yang dialaminya sejak remaja dalam mengemban pesan Meme Poli. Meme Polikah ibu suri yang telah menasehatinya sebagai raja?
Menghitung daun-daun jatuh hanya dilakukan oleh Lubdaka dalam malam perenungan Siwaratri. Sangat tidak wajar kalau Merta melakukan hal yang sama seperti Lubdaka. Setiap perayaan Siwaratri sudah dijelaskan bahwa dosa tidak bisa dihapus hanya dengan memetik daun-daun. Dosa tidak akan pernah terhapus hanya karena membaca mantra gayatri selama seratus delapan kali. Merta tidak mungkin lupa dengan pesan para guru yang menghalangi setiap niat untuk menyakiti makhluk sesama. Merta tidak penah membunuh binatang atau tumbuhan, lalu dosa apa yang dibuatnya hingga harus seharian berada di atas jambu biji.
Bertengger di atas jambu biji bukanlah perkara mudah. Ranting-ranting kelihatan sangat licin. Batangnya pun kecil-kecil. Banyak orang desa ngeri melihat Merta naik pohon itu, tetapi tidak satupun orang melarangnya. Banyak orang di desa Tegal mengetahui kesukaan Made Merta dalam memelihara tanaman. Di lahan rumahnya sangat banyak terdapat tanaman yng tidak dimiliki tetangganya. Tidak mungkin ia naik pohon itu hanya untuk memetik daun-daunnya. Tidak mungkin Merta berbuat kasar pada tanaman itu! Dibiarkanlah Merta naik sampai ke ranting yang paling kecil. Orang-orang tidak peduli kepadanya, bukan karena gila tetapi karena mereka percaya Merta tidak akan melakukan hal-hal bodoh, mesti sering putus asa atau memecahkan barang-barang di rumahnya.
***
Pagi mengguncang setiap mimpi. Meme Poli menggeser pintu dengan pelan. Ia tidak ingin anak-anaknya berhenti bermimpi, lalu mengganggunya berjualan belayag ke pasar di ujung gang. Sambil menjinjing keranjang yang terisi penuh, Meme Poli keluar menyibak cahaya yang masih kabur. Embun baru saja sampai ke lantai kayu, tetapi Meme Poli sudah menginjaknya. Apa boleh buat? Sebagai seorang janda, Meme Poli harus menghidupi kedelapan anak laki-lakinya. Anak pertamanya, Kenak meskipun sudah bekerja di Denpasar, belum bisa membantu pangan mereka. Kenak hanya bekerja serabutan di Denpasar. Lagi, Meme Poli tidak mau membebani anak sulungnya karena ia ingin anaknya mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan. Usia Kenak sudah empat puluh tahun, tetapi belum menikah.
Sehabis menutup daun pintu yang telah lepas itu, Meme Poli mengangkat keranjang ke atas kepalanya. Ia tiba-tiba ingat pesan Merta, anak keduanya.
“Me, nanti bangunkan saya kalau Meme mau berangkat ke pasar!” kata Merta menjelang tidur.
“Mau ke mana Made?” Meme Poli bertanya kepada Merta karena tidak biasa Merta bangun pagi. Anak keduanya bekerja di hotel dengan sistem sift. Merta selalu mendapat giliran siang sampai malam. Meme Poli hafal jadwal anaknya. Siang hari setibanya di rumah, Merta belum berangkat. Merta biasanya menunggu Meme Poli selesai menanak nasi.
Sebelum berangkat ke hotel, Merta akan makan dengan uyah lengis tandusan. Sehabis mencuci tangan, Merta menyeduh kopi sendiri. Meme Poli tidak pernah melarang anaknya minum kopi karena hanya kopi dan gula yang bisa dibeli dengan gaji anaknya. Merta tidak mampu membeli air mineral yang diionkan. Dia juga tidak mampu meminum susu fermentasi yang sering diiklankan di televisi. Meme Poli sangat paham dengan anaknya.
Bekerja sebagai cleaning service di hotel kecil tidak bisa diandalkan. Hotel kecil di kota kecil tidak banyak yang mengunjungi. Kadang-kadang Merta tidak digaji sampai tiga bulan. Meme Poli maklum karena sudah pernah berkunjung ke tempat anaknya bekerja. Dia mengetahui keadaaan hotel dengan sangat baik. Dia juga mengenal baik pemilik hotel. Meme Poli hanya bisa berharap menjelang perayaan tujuh belasan. Merta sering diminta lembur untuk sekadar menjual rokok di hotel.
Di depan hotel ada tugu bersejarah. Tugu itu hanya akan ramai kalau anak-anak sekolah diperintahkan berkunjung ke tugu itu. Banyak siswa dari luar kota yang berkunjung saat perayaan kemerdekaan RI. Seminggu sebelum perayaan kemerdekaan, Meme Poli menjual belayag juga setiap sore. Meme Poli tidak mau bersaing dengan hotel dengan menjual rokok, meskipun dia mengetahui siswa yang berkunjung lebih banyak yang membeli rokok daripada membeli belayag.  Kalau ada yang mau membeli rokok, Meme Poli menunjukkan hotel yang kebetulan hanya ada satu di lokasi itu. Tidak ada pedagang asongan seperti di kota-kota besar. Selain itu, suana mencekam menyelimuti tugu itu. Siswa-siswa SMA atau SMK hanya sekadar duduk atau sekadar mendapat karcis masuk sebagai bukti kunjungan. Meme Poli telah hafal semua bagian tugu sehingga ia bisa menggambarkan suasana tugu kepada para siswa.
Pada perayaan kemerdekaan, Merta sering tidak pulang sampai seminggu karena sibuk melayani anak sekolahan yang berkunjung. Di hotel itu, hanya ada satu karyawan. Pagi hari, hotel itu dijaga oleh majikannya yang fasih lima bahasa, makanya pemilik hotel tidak mencari karyawan. Merta tidak bisa berbahasa asing makanya hanya ditempatkan di bagian belakang. Pembersihan di hotel dilakukan pada siang hari. Memang sepi! Setiap bulan hanya ada satu atau dua orang yang menginap di hotel itu. Padahal, ada lima belas kamar di hotel itu. Tamu yang menginap di hotel itu lebih banyak dari Belanda. Mereka menginap paling lama dua hari. Pada hari kedua, tamu yang berkunjung akan dihibur oleh kelihaian Meme Poli dalam memainkan lesung. Meme Poli diminta berpura-pura menumbuk padi, tetapi sebetulnya yang penting bukan peristiwa menumbuk, melainkan suara yang keluar dari lesung kayu. Para tamu akan mengambil gambar Meme Poli dengan latar belakang tugu pahlawan.
Meskipun hotel itu sepi, pemilik hotel tetap mempertahankan hotel itu karena memang ada wasiat dari ayahnya yang menginginkan keutuhan hotel. Merta pernah bercerita kepada Meme Poli tentang sejarah hotel itu. Katanya hotel itu pernah menjadi tempat tidur para tentara Belanda yang dilatih untuk mengintrogasi orang pribumi dengan cara halus. Para tentara ingin mengetahui peta kekuatan Buleleng dalam mempertahankan ibu kota kerajaan. Orang-orang pribumi yang mau membocorkan rahasia raja  Beleleng akan diberi uang.
Merta suka jika ibunya datang ke hotel. Hotel menjadi ramai dengan kedatangan Meme Poli karena sedikit latah. Kalau tidak ada pengunjung, Meme Poli boleh menginap di hotel, tetapi Meme Poli tidak pernah menginap karena pagi buta harus berjualan belayag.
Berulang-ulang pemerintah daerah ingin membuka kawasan itu menjadi kawasan wisata yang maju, tetapi para pemilik tanah tidak pernah mau menjualnya kepada orang lain. Mereka lebih suka menjadi petani. Mereka tidak pernah takut dengan intimidasi karena pemerintah provinsi telah mengeluarkan larangan untuk membuka lahan itu sebagai kawasan wisata bisnis. Pemilik hotel pun setuju dengan pendapat pemilik tanah.
Merta pernah diminta menjadi perantara oleh seorang tamu hotel. Rencananya Merta akan diberi imbalan atau uang rokok sebesar 50 juta rupiah kalau berhasil merayu pemilik sawah. Merta sangat senang. Merta akan menjadi orang kaya jika berhasil membantu tamu hotel. Sayang, pemilik sawah mengusir Merta.
Peristiwa pengusiran itu diceriakan kepada Meme Poli, namun Meme Poli hanya tertawa. Meme Poli tidak bermaksud mengejek anaknya, hanya peristiwa itu tampak lucu ketika diceritakan oleh anaknya. Tampaknya Merta tersinggung dan mendobrak pintu yang sudah rusak. Lantas ia pergi. Meme Poli lari menyusul anaknya.
“Mau ke mana, Made?”
Merta tidak menoleh sekalipun. Langkahnya semakin cepat. Kakinya yang membentuk huruf o tampak tidak berdaya mengikuti kehendak hatinya. Meme Poli ingat bahwa anaknya belum makan. Sambal bawang yang disediakan untuk Merta masih di langgatan. Meme Poli kelelahan mengejarnya.
Di depan rumahnya, ia bersimpuh. Kepada Jro Gede penunggu karang ia memohon supaya anaknya kembali. Made Merta belakangan ini sering emosi. Sesekali mendobrak rumah kayu dan mengejutkan adik-adiknya. Dengan harapan ada perubahan pada Merta, Meme Poli berkaul akan maturan canang ketipat supaya Merta lebih sabar.
Selama ini, Meme Poli membesarkan anak-anaknya dengan berkaul dan menjual belayag. Pernah Made Merta memarahi ibunya karena sering berkaul. Made Merta sebetulnya bersembunyi di balik pohon jambu yang besar. Segera Meme Poli dimarahi karena tidak mengejarnya, dan malah bersimpuh di Jro Gede Petengen.
“Meme, berhentilah memohon kepada Jro Gede!”
“Tidak. Selama ini Meme bisa membesarkan kalian karena Meme sering memohon kepada para dewa!” Kata Meme Poli. “Made, bagus. Kamu sudah dewasa. Ibu tidak mungkin mengejar Made terus!” Tambahnya sambil menarik sabuk yang berserakan di tanah.
***
Sudah aku sampaikan. Meme Poli tetap saja membuat kaul-kaul yang tidak mungkin diingatnya kalau Meme Poli sudah semakin tua. Setelah Meme Poli meninggal, Made Merta tidak bisa membayar kaul-kaulnya. Putranya yang pertama hilang. Made Merta tidak bisa membayar kaul karena sudah tidak bekerja lagi. Kakinya semakin mengecil. Ada yang bilang sebelum meninggal, Meme Poli pernah berkaul akan menyerahkan Made Merta sepenuhnya kepada semesta untuk menjadi pemangku kalau Made Merta diterima lagi di hotelnya. Sebelum Made Merta memohon pekerjaan lagi, hotel itu telah diambil oleh pemerintah untuk dijadikan tempat bersejarah. Tempat itu tidak dibuka untuk bisnis. Tempat itu hanya untuk menyimpan benda-benda bersejarah. Yang berkunjung ke tempat itu hanya membayar seribu rupiah sekali masuk. Itu hanya untuk biaya perawatan. Kalau Made Merta masuk, dia juga tetap harus membayar uang masuk.
Mana mungkin Made Merta bisa masuk? Made tidak diterima bekerja di mana-mana karena ia hanya punya pengalaman di hotel itu. Tubuhnya, kecil, semakin kecil. Kini mengayun-melayang seperti layang-layang. Aku hanya bisa menatap Made Merta dari bawah pohon, sebagai tontonan sehabis mengajar sejarah di SMK ternama.

Sukasada,
akhir tahun 2009 yang tidak terlupakan,
awal tahun 2010 yang harus dilupakan.
Oleh Luh Arik Sariadi





















air mata ini dibiarkan mengalir
Oleh Luh Arik Sariadi

Sudah lima tahun Ketut Rai bekerja menjadi tukang sapu. Setiap hari ia membersihkan pasar, mengangkat sampah-sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan sampah yang ada di luar pasar. Tempat pembuangan itu ada diseberang jalan, tetapi dengan tangkas ia menghindari kendaraan bermotor yang melintasi jalan tanpa henti. Ketut Rai tidak pernah merasa susah. Selalu ada senyum dan tawa di pasar ketika pagi-pagi buta Ketut Rai datang ke pasar.
Banyak orang berpikir, apa yang disusahkan Ketut Rai, pekerjaannya tidak begitu susah. Pekerjaan menyapu tidak perlu mengolah otak. Pekerjaannya amat mudah dan gajinya lima ratus ribu perbulan. Gaji itu sama dengan gaji pegawai kontrak di dinas-dinas atau guru honor. Jelas saja Ketut Rai masih dianggap lebih beruntung daripada para lulusan perguruan tinggi yang harus mengeluarkan berjuta-juta rupiah untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai yang berseragam. Pegawai kontrak dan petugas kebersihan di pasar digaji sama, makanya para pegawai yang berbelanja ke pasar seperti mendapat bonus hiburan setelah mendengar tawa Ketut Rai.
Itu menurut pikiran mereka, tentu tidak segampang itu hidup Ketut Rai. Tiga tahun lalu ia kawin dengan Made Mara, lelaki pendiam yang tidak jelas pekerjaannya. Ketut Rai sudah punya dua orang anak dan mereka tinggal di pondok yang disewa seharga seratus lima puluh ribu rupiah sebulan. Sisa gajinya cukup untuk membeli makanan.
Akan tetapi, dalam beberapa hari ini suaminya marah-marah saja. Tampaknya ada masalah. Anaknya yang berumur satu setengah tahun sakit di rumah. Sakitnya bercak darah. Kata seorang tetangganya, sebaiknya anak itu diberi pepermin. Harganya tidak seberapa hanya lima belas ribu rupiah. Segera Ketut Rai membelikannya dan hanya diberikan tiga kali sehari.

***

Hari sudah tanggal 28, tiga hari lagi baru gajian. Uangnya tinggal delapan ratus rupiah saja. Padahal, ia sangat memerlukan uang. Ia mencoba meminjam uang ke tentangganya tetapi mereka sama juga hidup dengan keterbatasan. Kemanakah ia akan pergi lagi meminta tolong? Di pasar memang ada banyak pedagang yang ia kenal dan pastilah mau meminjamkan uang untuknya, tetapi ada larangan bahwa pegawai tidak boleh meminjam uang dari pedagang di sana. Barang siapa yang melanggar aturan itu, akan membuat orang itu dipecat. Pekerjaan sebagai kuli, temannya sendiri juga sangat gampang dipecat karena meminjam uang untuk membeli es Doger yang baru saja termasyur di kota ini. Kini keluarga kuli pengangkat buah itu berantakan karena anak-anaknya pergi mencari nafkah sendiri dan tidak kembali. Kalau ia dipecat, akan ada yang langsung mengisi posisinya sebagai tukang pasar, karena banyak orang tidak punya pekerjaan. Ada lulusan D3 akuntansi juga sebagai tukang sapu di sana karena tidak ada lowongan pekerjaan yang lebih baik lagi. Itupun diketahuinya dari keakraban mereka.
Susah payah dipertahankan pekerjaan menjadi tukang sapu. Anaknya yang sakit juga ditinggalkan bekerja supaya pasar tetap bersih. Dirasakan pedih sakit anaknya oleh Ketut Rai. Ketut merasa dirinya bukan ibu yang baik. Ia gelisah di pasar. Ia tahu suaminya tidak suka mengurus anak, apalagi kalau sakit. Pekerjaan mengurus orang sakit memang susah. Namun, ia sudah menjelaskan kepada suaminya supaya bertahan di rumah sampai ia pulang dari bekerja. Dijelaskan bahwa pekerjaannya akan hilang kalau sehari saja ia tidak bekerja.
Kalau diingat-ingat anak-anaknya merintih kelaparan, semakin cepat ia menyapu supaya pekerjaannya cepat selesai dan bisa pulang dengan membawa uang. Tetapi, dia tidak tahu, di mana uang itu akan didapatnya. Ia berencana meminjam uang kepada menteri pasar. Dan untuk menambah penghasilannya, ia akan segera pergi ke pura kahyangan jagat untuk nunas kercen. Biasanya pura selalu ramai dikunjungi orang, terutama siswa-siswa yang bersekolah di sekitar pura itu. Suatu hari ia memang pernah melihat siswa menghaturkan kercen 500 rupiah dan sampai waktu yang lama, pemangkunya tidak datang-datang. Mungkin ia bisa mengambil kercen itu untuk membantu penyembuhan anaknya. Ketika pasar sudah bersih pada jam 3 sore, Ketut langsung menemui menteri pasar. Diceritakannya sakit yang diderita anaknya, sehingga ia minta tolong diberi pinjaman uang.
Menteri Abraham termenung mendengar cerita kuli yang meminta tolong kepadanya. Ia tahu, ia dapat merasakan betapa sedih orang yang berpakaian hitam di depannya itu. Dia pun mempunyai anak tiga orang. Penghidupannya pun serba kurang sekarang, tetapi dulu ia pernah senang. Karena pernah merasakan susah itulah, ia tahu sedihnya. Sebagai anak muda, Ketut Rai berani menikah dengan orang yang tidak karu-karuan. Mungkin saja karena teramat lugu, ia ditipu. Mungkin juga cinta buta. Namun, tidak mungkin ia membahas hal itu. Apalagi Ketut Rai baru kali pertama meminjam uang.
Selain ada rasa iba, Abraham juga mengamati bentuk tubuh Ketut Rai yang sangat kecil, tetapi masih ada sisa-sisa kecantikan di wajahnya. Diam-diam, Abraham menyimpan perasaannya dalam-dalam. Ia ingat pekerjaannya dulu di Balikpapan. Sangat senang hidupnya ketika itu. Sedikit pun ia tidak pernah merasakan susah. Kekayaannya melimpah. Banyak kekayaan orangtuanya. Apapun yang dimintanya, Abraham selalu mendapatkannya. Di Jakarta ia punya mall, tetapi diurus oleh karyawannya. Gajinya sekarang tentu tidak seberapa dan kalau dihitung tentu tidak cukup untuk membantu Ketut Rai. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abraham sebenarnya orang yang kaya. Abraham meninggalkan pekerjaannya di sana karena muak dengan kehidupan kota yang penuh pembodohan dan dusta. Bali dipilihnya sebagai tempat terakhir karena ia merasa harus membantu orang-orang kurang mampu, tentu sambil menikmati keramahan orang Bali. Dan menurutnya, di pasarlah tempat yang paling baik untuk melakukan keinginannya.
Terlepas dari keinginannya itu, Ketut Rai adalah godaan. Sejak setahun ia bekerja sebagai menteri pasar, diamati terus Ketut Rai. Ketika Ketut Rai meminta tolong, saat itulah saat yang tepat untuk melakukan keinginannya dan menunjukkan rasa sayangnya. Abraham tidak mau membantu orang kalau tidak minta tolong. Dia akan membantu orang lain kalau orang itu meminta tolong. Itulah yang dipercayainya sebagai kunci utama orang susah.
” Tentu.” jawab Abraham dengan tenang setelah melamun.
”Maksud Bapak?”
” Ya. Kamu akan mendapat bantuan uang. Berapa yang kamu butuhkan?”
”Saya perlu uang cukup banyak, tetapi tidak mungkin saya meminjam uang melampaui kemampuan saya membayarnya. Separuh gaji saya saja, Pak.” jawab Ketut Rai dengan santun.
Supaya tidak jelas terlihat rasa sayang Abraham kepada Ketut Rai, diberikanlah uang yang diinginkannya. Tidak kurang tidak lebih, diambilkannya dari kas dan dicatat di buku pengeluaran kas. Ketut Rai diminta menandatangai buku itu.
Ketut Rai sangat bahagia dan begegas pulang setelah mengucapkan terima kasih. Dengan perasaan girang, ia mempercepat langkahnya. Timbul harapannya kembali. Apalah gunanya ia menceritakan kepedihannya kepada orang lain, karena kepedihan itu telah bergeser. Tidak ada gunanya, tidak sedikitpun ia boleh menceritakannya karena mungkin saja teman-temannya akan merasa iri karena dengan mudah dijalani hidup.
Kuli-kuli yang lain juga punya susah, tetapi tidak berani bercerita kepada menteri pasar karena pak manteri terlihat hidup biasa-biasa saja. Sangat beruntung Ketut Rai. Dengan keberaniannya dan mempertaruhkan kehidupannya, ia memberanikan diri menghadap kepada seorang lelaki yang ditakuti orang karena ialah yang menentukan berhenti atau tidak seseorang bekerja di pasar. Sungguh dilema, ia bahagia tetapi teman-temannya juga mengalami hal yang sama. Hidup dalam kemiskinan, tetapi canda membuat kepedihan itu tidak tampak jelas.
Ketika ingin menyebrang jalan, tiba-tiba bergerak hatinya untuk kembali menemui pak menteri. Ia ingin teman-temannya bernasib sama juga seperti dirinya. Tanpa ragu lagi, ia menemui kembali pak menteri.
”Ada apa lagi, Tut?” tanya Abraham.
“Maaf, saya lancang Pak.”
“Kenapa?”
“Saya tahu Bapak orang baik. tidak seperti kelihatannya.”
“Lalu?”
“Saya mohon pekerjakan kembali dua orang kuli yang kemarin Bapak pecat.” Ketut Rai tidak sadar berbicara dengan orang macam apa, tetapi raut mukanya sangat memelas dan menyentuh hati Abraham.
Abraham tidak langsung mengiyakan. “Memangnya ada hubungan apa kamu dengan dua lelaki itu?” tanya Abraham pelan.
“Tidak ada apa, Pak. Saya hanya kasihan terhadap nasib anak-anak mereka. Pak Gede Lugra dan Sudarsana itu anaknya sedang sakit. Pak Gede anaknya sakit kencing manis. Pak Sudarsana anaknya harus dioperasi karena usus buntu. Karena itulah mereka tidak bekerja selama beberapa hari. Tetapi bukankah pasar tetap bersih? ”
“Waw, dari mana kamu tahu itu?”
“Saya sudah menjenguknya, Pak.”
“Mengapa sampai menjenguk mereka, apa dia tidak punya keluarga?”
“Maaf Pak. Kami terbiasa begitu. Asalkan tahu kalau teman kami sakit, kami akan menjenguknya. Apalagi kami satu tempat bekerja.”
”Oh, jadi begitu... Lalu, apakah aku harus menjenguknya juga?”
”Pak Gede pasti senang dijenguk.”
“Walau aku telah memecatnya?”
“Ya, Pak.”
Pak Abraham tidak percaya bahwa Ketut Rai selain cantik, ramah, ia juga baik. Dia tidak memementingkan dirinya sendiri.
“Bawalah surat ini ke rumah Pak Gede dan Pak Dar.”
“Apa ini Pak?” tanya Ketut Rai.
”Bawa saja ke sana. Mungkin perlu ongkos?”
”Oh tidak, Pak. Tetapi tolong pertimbangkan lagi, Pak masalah mereka.”
Pak Abraham mengangguk. Ketut Rai bergegas pergi. Sebetulnya satu hal yang teramat penting adalah keberanian Ketut Rai. Abraham sudah membuang jauh-jauh perasaan cinta dan sayangnya karena dirinya sadar bahwa mereka sudah sama-sama punya pasangan dan anak.
Ketut Rai menyampaikan surat itu kepada Pak Gede dan Pak Sudarsana. Mereka gembira dan menyampaikan terima kasih karena telah diminta kembali bekerja di pasar sebagai kuli. Tersiarlah kabar bahwa Ketut Rai menjadi pahlawan perempuan yang menyelamatkan hidup dua laki-laki itu. Berita di pasar memang cepat tersebar. Namun, belakangan ada yang ragu kalau Ketut Rai benar-benar pahlawan. Ada yang mengira Ketut Rai berselingkuh dengan pak Abraham. Berita itulah yang santer beredar.

***
”Jangan bohongi aku!” teriak Made Mara sambil memukul kepala Ketut Rai. Anaknya yang sakit juga melihat kejadian itu, tetapi tidak mampu berbuat apa.
Ketut Rai merasa dirinya tidak berharga lagi tetapi tidak dilawannya. Air yang disiramkan di atas kepalanya bercampur dengan air matanya. Air mata yang bertubrukan dengan sinar matahari di pipinya segera mengering. Dia tidak pernah bercinta atau berselingkuh dengan Pak Abraham, tetapi orang mengatakan yang aneh-aneh. Kembali lagi melimpah air mata, tetapi rumah yang lebih banyak lubangnya itu membuat matahari datang dan mengeringkan air matanya. Di dalam hati Ketut Rai berkata, ”Kapankah air mata ini dibiarkan mengalir, seperti air menghapus debu saat musim kemarau?”

















Bicaralah Saat  Kesunyian Menghadirkan  Kesedihan
karya Luh Arik Sariadi

Mari kita tandai kesunyian dengan menghadirkan  kesedihan.
Mari kita rayakan kesenyapan dengan melahirkan kegembiraan. 

Menggema lagu itu dalam bayangan yang samar-samar terlihat pada sebuah cermin. Itu semua berkat cahaya yang hadir pada sudut kamar bagian bawah. Itu cahaya yang selalu dinanti oleh bayangan, meskipun hanya dari kaki, apa namanya? Footlight ya?  Aku menatap cermin karena cahaya. Aku menatap kegelapan karena cahaya menjadi samar ketika aku semakin kuat menatap cermin.
Entahlah… tampak bayangan yang lemah dari tubuh kurus seorang perempuan. Perempuan itu berambut sepinggang, bisu dan bergerak, bergoyang-goyang di cermin. Menatap asap rokok melalui cermin, matanya menjadi semakin sipit dan keriput, tidak seperti usianya yang hanya tiga puluh empat tahun. Sesekali ia membuatku heran karena bibirnya  dibuat miring ketika asap rokok mengejar bayangan lain di cermin. Sembari mengedip-ngedipkan mata, ia tersenyum. Rokoknya telah habis dibakar meski agak lembab. Mulutnya basah, tetapi tidak sanggup menghentikan kepulan asap dan nyala api. Merah bibirnya tidak menunjukkan bahwa perempuan itu perokok.
Aku pikir, dia tidak sedang bersedih. Tidak juga sedang ada masalah. Tidak ada setetes air mata pun jatuh di lantai yang dingin. Wajahnya yang putih juga tidak memerahm mulus tanpa jerawat. Aku rasa dia tidak sedang bersedih. Dia mungkin sedang bahagia karena kulihat tersenyum-senyum. Aku dapat merasakan senyum kebahagiaannya dari lesung pipi yang tidak pernah berhenti mengunyah tawa. Sangat indah! Andaikan cermin bisa mengukur ruang dan menjelaskan keadaan perempuan itu, tentu akan dijelaskan bahwa ruang yang dingin telah menjadi hangat meskipun ruang menjadi sangat luas terbias warna dan pengap. Mungkin kehangatan itu bisa membuat perempuan itu mengumpulkan kesedihan sehingga tampak memiliki kepekaan rasa yang lebih tajam mendekapi ruang yang kosong. Perempuan itu tampak tidak sedikit pun bersedih, bahkan, aku menyimpulkan dia wanita yang tidak berperasaan karena merahasiakan kesedihan.
Aku telah lelah duduk di depan cermin, turut menatap bayangan perempuan itu. Namun, perempuan itu tidak mau mengenali aku. Tatapannya telanjur satu. Dua bola matanya yang coklat hanya untuk sebuah bayangan di cermin. Dia tidak peduli aku berada di depan cermin. Dia angkuh barangkali. Sungguh tidak bersahabat. Bahagia sendiri. Aku lantas hanya dapat merasakan kehadirannya hanya menutup bayanganku.
Padahal, aku sangat ingin melihat juga bayanganku saat menggunakan seragam biru. Aku kemarin mendapat baju seragam berwarna biru. Baju seragam itu tidak boleh dipakai selain hari yang telah ditentukan. Ketua partaiku melarang kami mengenakannya karena baju itu baju partai, baju suara rakyat. Jadi, pakaian yang diberikan hanya bisa dipakai saat pertemuan-pertemuan resmi yang berkaitan dengan kepentingan organisasi, seperti rakernas, munas, atau kampanye. Aku berusha menaati perintah pimpinan sebab ini sebuah pilihan.
Ada banyak baju yang bisa dipilih. Ada baju merah, merahnya satu warna tetapi gambarnya ada juga macamnya. Ada baju kuning, kuningnya bervariasi, motif garis atau gambar, itu bisa dipilih. Ada baju hijau, sangat sejuk dipandang, baju ini pula banyak pilihannya. Warna orange, warna, hitam, warna putih, dan warna biru begitu memikatku. Barangkali karena aku suka lautan atau menatap gunung. Laut dan gunung begitu indah saat kulihat dari jauh.
Baju biru, ditutupi bayangan perempuan itu yang menyulut rokok dengan bahagia. Mungkin perlu kupecahkan cermin di hadapanku, tetapi itu sangat picik! Bukan sifatku jika aku tidak memiliki sesuatu, maka orang lain juga tidak memilikinya. Aku selalu bahagia berbagi, bahkan justru aku senang jika orang lain menggantikan peranku, terutama peran jahatku. Hah, tapi ini baju baruku, dan aku baru belajar ikut partai. Aku ingin melihat bayanganku dengan baju biru. Aku sudah berhias, memakai bedak, memakai jepitan rambut, dan membuat gaya tampil yang berbeda dengan orang lain agar tidak ada yang bisa menyamaiku.
Sebagai seorang  kader partai, aku harus punya ciri khas, tidak boleh sama dengan kader-kader lain, bahkan dengan kader partai lain, sama sekali tidak boleh. Aku harus berkarakter, punya akhlak mulia, sopan santun, tau tata krama, dan hidup sederhana. Aku tidak boleh sama dengan bayangan itu!
“Haha….Cermin ini milikku, sejak kau tinggalkan cermin karena sibuk rapat, cermin ini milikku!” kata bayangan itu mendorong tubuhku menjauh dari cermin. 
Aku paham perempuan dalam cerminku merampas posisi strategis berada ditengah-tengah cermin. Aku tidak pernah bisa menjaga bajuku. Sudah empat almari berukuran dua meter kali delapan puluh centimeter di dalam kamarku. Isi almari beraneka warna. Aku tidak memiliki pakaian yang diatur dengan warna, tidak juga berdasarkan bentuknya. Aku selalu memasukkan atau mengeluarkan baju yang aku suka.
Biasanya memakai baju sesuai dengan suasana hati. Kalau hati sedang senang, aku selalu memakai baju merah. Dalam seminggu aku bisa menghabiskan lima hari untuk berpakaian merah. Merah adalah warna kesukaanku. Aku menjadi bersemangat saat menggunakan baju merah. Gejolak mudaku bergelora saat baju merah membalut tubuhku. Kini, aku menjadi kader partai berwarna biru. Semua pakaian merah tidak bisa kupakai lagi. Itu terlarang!
***
Malam semakin gelap. Aku membuka almari dan dan ingin ganti baju. Rok mini baru saja kupakai. Menatap ke tumpukan baju, aku bingung harus pakai yang mana. Baju-baju yang kumiliki semuanya kusukai. Ada satu baju yang paling indah, kaos setelan berwarna hitam. Baju itu sangat indah karena dibelikan oleh pacar untuk membuktikan kesetiaan cintanya.
“Gdubbbbbraaaaaaak!” Tiba-tiba baju di dalam almariku berhamburan keluar. Dari almari keluar laki-laki yang koplo. Wajahnya pucat, mabuk. Di bawah matanya, warna hitam tampak jelas seperti habis dipukul. Mata lelaki itu memerah. Bau parfum sangat menyengat, parfum itu pasti produk mahal. Pasti! Tapi lelaki yang muncul dari almariku tidak kelihatan seperti seorang bangsawan, pengusaha, atau milioner. Keadaannya benar-benar buruk.
Aku sangat ketakutan melihat sosok lelaki kurus yang tidak kukenal muncul dari dalam kamarku. Dari mana dia datang? Aku tidak tahu. Tadi setelah makan malam, aku langsung ke kamar mandi, keramas, dan mengganti baju. Siapa yang memasukkan seorang lelaki “poyok” ke dalam almariku. Aku gemetar. Lelaki itu berbicara komat-kamit seolah-olah sedang membaca mantra untuk kesembuhan dirinya. Dia bukan orang luar negeri, tetapi bahasanya ngawur. Tidak jelas. Aku panik dan resah. Kumasukkan kembali lelaki itu ke dalam almari, itu pikirku yang paling darurat.
““Gdubbbbbraaaaaaakkkk!” Muncul seorang lelaki tambun ketika aku hendak mengembalikan lelaki poyok itu. Lelaki gemuk yang setinggi tubuhku, kumisnya tebal. Hidungnya bulat. Sorot matanya begitu tajam. Jari tangannya besar dan kasar. Lelaki itu keluar dengan cepat memukul lelaki kurus yang kupapah. Lelaki kurus menjadi tersungkur. Aku semakin hilang pikir. Mengapa ada makhluk kasar keluar dari almariku? Apakah ada lorong yang menghubungkan kamarku dengan daerah-daerah lain melalui almariku?
Aku tidak bisa berpikir. Lelaki tambun menarik rambutku. Aku tidak bisa mengelak. Kepalaku terasa sakit. Aku mencoba melepaskan tanganya, tetapi lelaki itu begitu kuat. Aku di dorong menuju ke almari. Tubuhku lemah, ringsek pada bagian almari yang terbuka. Pinggangku terasa sakit ditindih lelaki tambun itu. Aku mencoba mendorong lelaki itu, tetapi tidak berhasil. Aku hanya mampu menahannya. Air mataku keluar dengan cepat.
Di hadapanku seorang lelaki begitu sangat dekat menindih tubuhku. Aku mencoba memainkan kedua lutut untuk menendang pantat laki-laki itu, tetapi pegangan tangannya di almari begitu kuat. Aku tidak berdaya, pasrah terhadap apapun yang akan terjadi. Entah aku dicabuli diperkosa, dianiaya, dicabik-cabik, dibuat cacat, atau dibunuh, aku pasrah. Pikiranku memang kuat, tetapi tubuhku lemah. Aku seorang perempuan, dia laki-laki.
Aku tidak bisa membebaskan diri dengan kecerdasan pikiranku. Aku tidak bisa menunjukkan keterampilan persuasif yang bisa mempengaruhi lelaki ini agar melepaskan tubuhku. Aku seperti orang yang sangat bodoh, tidak bisa bernegosiasi. Sebagaimana cerita seorang perempuan yang memperdaya laki-laki biadab dengan dongeng, bahkan aku tidak mendapat kesempatan untuk berbicara, bagaimana mungkin berdongeng?
Anehnya, lelaki tambun ini tidak memperkosaku. Mungkin karena tubuhku tidak sesuai dengan seleranya. Mungkin ia hanya ingin menyiksaku. Ah, tidak, dia didak merusak wajahku, tidak memotong lidahku, tidak memotong jari-jariku. Dia hanya menarik rambutku dan melengunciku di dalam almari.
Di dalam almari, aku sangat ketakutan, entah apa yang ingin dilakukan lelaki tambun itu. Apakah dia lupa membawa pisau untuk mencincangku? Ketika lelaki tambun itu beranjak menjauhi almari, ini adalah kesempatan bagiku untuk melarikan diri. Aku berusaha mendobrak almari, tetapi kakiku tidak bisa bergerak. Tangan-tangan yang kekar keluar dari baju-bajuku. Ada puluhan pasang tangan yang memegang seluruh tubuhku. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku ditutup oleh tangan-tangan yang tidak bertubuh. Aku tidak bisa apa-apa. Aku pasrah.
Dalam kepasrahan, tangan tangan itu jadi hilang. Sesaat aku bisa bernafas, tetapi muncul lagi laki-laki yang memelukku. Menjijikkan! Kumis dan janggutnya yang panjang, merajang tubuhku. Helai-demi helai kumisnya menancap leherku. Rasanya sangat sakit. Jauh lebih sakit dari kumis yang baru dicukur. Jenggot lelaki itu melilit pinggangku. Aku merinding, tetapi jenggot-jenggot itu bergerak menelusuk setiap celah yang ada pada tubuhku. Jenggot-jenggot itu menusuk kulitku hingga semua kulitku berdarah.
“Katakan, mengapa kau menyiksaku?”
“Aku hanya ingin memberi pelajaran kepadamu, wanita penggoda!” Dengan kedua tangan, menarik wajahku, dan menunjukkan wajahnya yang bergelambir. Seorang kakek yang tidak kukenal mengaku tergoda olehku.
“Siapa yang ku goda?”
“Aku!”
“Siapa kau?”
“Aku adalah rumah anak-anakku!”
“Siapa? Coba kau ulangi!”
“Aku adalah sungai tempat ikan-ikan mencari makan.”
“Ah? Siapa kau bilang?”
“Aku adalah tanah yang kau gali dengan truk-truk besar dan kau pindahkan ke komplek perumahan mewah agar tidak banjir.” Lelaki itu sudah ompong, tidak memiliki bibir yang kuat untuk mengucapkan kata-kata.
“Aku tidak paham dengan ucapanmu! Apa maksudmu?”
“Aku adalah pasar yang malas kau kunjungi karena tiap musim hujan selalu becek.”
“Memang, aku tidak suka dengan kondisi pasar seperti itu? Lalu apa maumu! Apakah kau salah seorang pedagang di pasar yang gulung tikar karena aku lebih memilih supermarket daripada pasar?”
“Tidak! Aku adalah sekolah yang roboh setelah beberapa minggu diresmikan.”
“Aku bingung dengan ocehanmu! Apakah kau seorang kakek yang sudah pikun!” kataku berteriak di kuping lelaki tua aneh itu.
“Aku adalah panti asuhan yang membiarkan anak-anak diadopsi hanya karena yang mengadopsi adalah orang kaya, padahal tidak ada yang bisa jamin orang kaya tidak menelantarkan anaknya.”
“Ahhhh! Sudahlah, hentikan kegilaanmu kakek dungu!” Aku mencoba melepaskan diri dari lilitan jenggotnya.
“Aku adalah uang sekoper yang ada di dalam lemari ini.”
“Apa maumu? Kau mau mengambil uang itu? Silakan kau ambil dan lepaskan aku!”
“Aku tidak perlu uang ini! Aku adalah hutan yang menghasil kertas, dan uang itu terbuat dari kertas bukan?”
“Sialan! Siapa kau hingga tidak ada mudah kukenali?”
“Aku adalah seorang kakek yang tidak ingin cucunya melakukan hal-hal yang buruk.”
“Aku tidak punya kakek sepertimu! Kakekku tidak berjenggot! Dia selalu bersih! Tapi, kalau memang kau kakekku, kenapa kau tusuk-tusuk seperti ini! Dimana rasa kasihmu? Kau berbohong! Siapa kau?”
“Aku adalah kakek penjemput ajal.”
“Tidak! Itu tidak mungkin. Tidak mungkin aku mati semuda ini. Apa alasan Tuhan mencabut nyawaku dalam usia tiga puluh empat tahun?
***
  Aku telah lama menunggu. Seorang perempuan belum selesai juga menggunakan cermin di kamarku. Betapa kesal hatiku. Baju biru yang kugunakan sudah basah karena keringat. Sampai kapan perempuan itu akan berdiri menutupi bayanganku? Aku benar-benar dibuat kesal hingga tidak sengaja kutarik perempuan itu. Ia kudorong dan jatuh.
Ini saat yang tepat bagiku untuk bercermin lagi. Kulihat wajahku di cermin. Bayanganku tidak ada bersamaan dengan bayangan perempuan yang kudorong. Aku memindahkan tatapan ke arah pintu tempat perempuan itu terjatuh. Tubuhnya lenyap. Ia sudah tidak ada di kamarku.
Suara di luar kamar samar-samar menjadi jelas. Kudengar suara adikku berteriak.
“Paman, tolong rapikan karangan bunga itu. Setiap jam ada organisasi yang datang dan membawa karangan bunga. Di depan karangan bunga berjejer sangat banyak. Coba lihat, siapa lagi yang datang? Tanyakan dari partai atau LSM? Pastikan semua yang datang dicatat dengan benar!”
Aku mau tahu siapa yang mati? Apakah perempuan yang kurus itu yang mati? Dia mati karena kudorong lalu kepalanya terbentur dan…mati? Itu tidak mungkin. Itu hanya beberapa detik yang lalu. Aku belum melihat ada orang yang berteriak-teriak minta tolong untuk mengangkat mayat perempuan itu. Aku keluar dari kamar. Kulihat mata ibu dan ayah sudah bengkak karena menangis. Kulihat para tamu menghadap ke sebuah ranjang. Aku mendekati ranjang itu, dan kutemukan tubuhku dibungkus kain putih. Aku telah mati.
Tuhan, aku masih bisa merasakan tubuhku tidak mungkin aku mati. Pasti ini hanyalah mimpi? Aku tidak bisa terima tubuhku mati di usia tiga puluh empat. Aku baru saja mendapatkan baju baru. Aku belum pernah memakai baju itu untuk rapat. Aku tidak mau tubuhku telanjang hanya dibungkus kain putih.
Tuhan, tubuhku masih merasakan sakit. Pikiranku juga masih bekerja dengan baik. Perasaanku juga masih peka. Aku bisa mendengar jeritan anak-anak panti yang disiksa oleh pengelola panti. Aku masih melihat tanah-tanah diambil untuk reklamasi. Aku belum berbicara tentang penggusuran pasar yang kumuh. Aku belum mengumpulkan dana untuk sekolah-sekolah yang roboh. Aku baru saja berganti partai dengan harapan bisa mewakili aspirasi rakyat. Belum sempat kulakukan hal-hal yang baik, aku sudah mati. Mengapa Tuhan sudah mengambil nyawaku?

Bicaralah saat  kesunyian menghadirkan  kesedihan.
Suarakan kesenyapan dengan melahirkan kegembiraan. 

Singaraja, Maret 2016
Ketika aku tidak bisa berbicara fakta, kutulis cerita ini.







































Selalu Ingin Pergi Sendiri
Oleh Luh Arik Sariadi

Sudah jam delapan pagi. Anak-anak Putu Rawi sudah berangkat menjadi kuli bangunan. Burung-burung mulai berhenti berkicau, sebab aktivitas mencari makan harus segera dilakukan. Burung-burung harus mendapatkan makanan untuk anak-anaknya yang masih di sarang. Angin pagi bertiup lembut memberi semangat bagi para burung untuk pindah dari pohon satu ke pohon yang lainnya.
Tidak ingin kalah dengan para burung dan anak-anaknya yang menjadi kuli, Putu Rawi segera keluar kamar dan melihat jalan yang masih ramai. Ia memastikan bahwa anak-anaknya benar-benar sudah berangkat dan tidak balik lagi dengan alasan lupa bawa air minum, baju ganti, atau benda-benda lain yang tidak sengaja dilupakan. Dilihat juga cucu-cucunya sudah tidak terlihat lagi di ujung jalan. Dua menantunya yang tinggal serumah dengan Putu Rawi sudah berangkat juga mengais rezeki di luar rumah sejak setengah jam lalu. Dua cucunya sudah bersekolah di sekolah dasar. Jam sepuluh kedua cucu kembarnya akan datang. Hanya ada dua jam baginya memperoleh kesempatan untuk pergi meninggalkan rumah.
Tubuhnya yang kecil dan kurus dengan cepat berjalan memegang pintu pagar yang masih kokoh. Tidak seperti tubuhnya yang sudah berusia sembilan puluh enam tahun, yang sudah bungkuk dan mungkin rapuh. Entahlah. Putu Rawi merasa yakin terhadap tubuh, pikiran, dan perasaannya bahwa dirinya masih sehat dan belum membutuhkan bantuan dari anak-menantunya untuk sesuap nasi.
Setelah mengetahui tidak ada siapapun di rumah, Putu Rawi mengunci pintu kamar, pintu pagar, dan membawa tas kain yang terbuat dari karung tepung. Di dalam tasnya, beberapa botol minyak dengan bunga sandat yang telah kering siap dijual ke rumah-rumah orang. Dengan semangat yang tinggi, Putu Rawi menapaki jalan yang diaspal kasar. Berhenti di rumah penduduk dan menawarkan minyak rambut.
“Bibi Rawi, tumben datang lagi?”
“Ya, Bibi pikir minyak rambutmu masih.”
“Wah, sudah sebulan, tentu sudah habis.” ujar Luh Payas.
“Bibi tidak bisa jualan karena ada satpam di rumah.”
“Satpam bagaimana maksud Bibi?”
“Ah, itu anak Bibi, Ketut Lantang yang baru kembali dari Denpasar. Sekarang tinggal di rumah.”
“Memangnya kenapa dia? Apa dia tidak pernah keluar rumah sampai-sampai seharian tinggal di rumah?”
“Ya, dia kerja serabutan sekarang. Kadang-kadang di rumah. Kadang-kadang ada yang telepon, baru berangkat.”
“Bibi, memangnya apa pekerjaan anak Bibi?”
“Ya, hanya serabutan. Kalau ada yang nyuruh antar ke seuatu tempat, dia akan pergi.”
“Jadi ojek?”
“Ya, kadang-kadang. Kadang-kadang jual plastik.”
“Wah, kalau begitu Bibi bisa diantar anak, jangan jalan kaki begini.”
Putu Rawi diam. Apa pekerjaan anak-anaknya, Putu Rawi tidak ingin berbagi cerita kepada siapa pun. Dia juga tidak bisa bicara apapun, sebab di dalam hatinya dia hanya ingin pergi sendiri. Dia tidak ingin diantar anak-anaknya. Setelah menjual sebotol minyak rambut yang berisi kelabet,  dia bergegas ke rumah lain yang sudah menjadi pelanggan.
Putu Rawi selalu mengetuk pintu rumah orang. Ia ingin selalu membantu wanita-wanita desa tampil menarik dengan minyak rambut ramuannya. Di dalam benaknya, entah kapan dia terakhir mengetuk hati anak-anak dan menantunya. Atau mungkin dia memang tidak pernah mengetuk pintu hati orang lain, dia hanya ingin pergi sendiri-tanpa suami, anak, atau menantu untuk mencari anak sulungnya, Gede Pasek.
“Ibu, kalau mau ke mana-mana bicaralah kepada kami, saya kan bisa antar Ibu!”perintah Ketut Lantang kepada Putu Rawi.
Putu Rawi hanya diam ketika kepergiannya meninggalkan rumah diketahui oleh anaknya. air matanya menetes.
“Jangan memperburuk keadaan, Bu! Tangisan buaya seperti itu sudah sangat sering saya lihat! Tolonglah hargai anak-anak. Memangnya Ibu mau beli apa sampai bekerja setua ini?” Ketut Lantang benar-benar marah karena merasa dihianati. Dalam benaknya, Ia merasa gagal menjadi anak. Dirinya merasa sangat rendah dan malu melihat ibunya yang berusia 86 masih berjualan.
“Lihat tubuh Ibu! Semua hanya tinggal tulang belulang, apa tidak cukup makanan yang kami buat untuk kita? Makan ibu harus teratur. Jam 8 mestinya ibu sarapan. Terima saja masakan menantu yang sudah berusaha menyediakan masakan untuk disantap.”
Putu Rawi tetap diam, bahkan membentur-benturkan kepalanya ke lantai bata. Merasa sudah banyak bicara, Ketut Lantang berhenti agar ibunya tidak over action lagi. Putu Rawi ingat bahwa dirinya harus segera kembali tepat jam sepuluh. Dia tahu kalau sampai anak-anaknya tahu ia pergi lagi, dia akan dimarahi lagi.
Semua pelanggan yang membeli minyak rambut selalu bertanya tentang anak-anaknya. Ia hanya menceritakan bahwa dirinya memiliki seorang putra yang sangat rajin bekerja. Anaknya pernah bekerja di Surabaya sebagai buruh pabrik semen. Anaknya selalu datang tiap bulan untuk membawakan uang atau oleh-oleh berupa radio bekas, tv bekas, atau jam dinding bekas. Anak sulung Putu Rawi sangat pandai berhitung. Selain itu, anak sulungnya pandai membawa mobil pada usia sepuluh tahun. Anak-anak yang sebaya dengan anak sulungnya bahkan belum bisa membaca dan menulis. Putu Rawi sangat bahagia pernah bekerja sebagai pembantu di rumah tentara Jepang, Tuan Nagohorima. Kebetulan istri tentara Jepang itu sepupunya, Made Jempiring. Sebagai pembantu di rumah sepupu, Putu Rawi tidak bisa macam-macam, sebab sekali bersalah senapan siap meledakkan tubuhnya.
Ketika dirinya hamil, tentara Jepang itu menyuruhnya berhenti bekerja. Putu Rawi diperlakukan dengan sangat baik. Setelah melahirkan, anak sulungnya dijaga dan diberi pendidikan sebagaimana anak tentara Jepang, hanya saja tempatnya tidak di sekolah, melainkan di belakang rumah. Tuan Nagohorima menyuruh bawahannya mengajar anak sulung Putu Rawi.  Gede Pasek tumbuh dalam didikan tentara Jepang yang disiplin. Ketika bekerja di pabrik semen, kedisiplinan itulah yang tampak menjadi karakternya. Oleh karena itu dia disayang oleh bosnya.
“Wah, Gede Pasek sudah bisa mengemudi pada usia sepuluh tahun? Hebat! Bibi benar-benar beruntung. Tapi….Di mana Gede Pasek sekarang? Sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah pulang ya, Bi?”
Putu Rawi selalu mengalihkan pembicaraan dengan topik pembicaraan yang lain ketika pelanggannya bertanya tentang keberadaan putra sulungnya. Hampir semua pelanggan tidak percaya bahwa Putu Rawi bahagia, sebab kalau benar Putu Rawi memiliki anak yang hebat, manalah mungkin dia tetap berjualan sampai usianya sembilan puluh enam. Orang-orang ingin tahu, betapa kejam anak-anak Putu Rawi sampai mengizinkannya berjualan dengan jalan kaki dari dusun ke dusun. Jari-jari Putu Rawi sangat layu. Kulitnya sudah kisut. Matanya tidak bening lagi, tatapannya benar-benar lelah. Mungkin karena itu pula para pelanggan membeli minyak ramuan Putu Rawi.
“Bibi, apa tidak lelah berjalan setua ini? Saya saja yang masih berusia tiga puluh lima sudah tidak kuat berjalan. Bibi ini luar biasa!”
Putu Rawi sangat bahagia ada yang memuji dirinya. Senyum lebarnya hanya menyisakan dua gigi dan gusi yang halus. Atas pujian pelanggannya, Putu Rawi mengeluarkan resep sehat. Putu Rawi memberikannya Cuma-Cuma kepada pelanggannya. Pil Cina yang selalu diminum Putu Rawi mungkin membuat tubuhnya tidak pernah merasa lelah berjualan.
“Oh, jadi pil ini yang selalu Bibi minum?”
Putu Rawi merasa yakin bahwa pil itulah yang membuatnya tetap bersemangat. Pil itu diberikan oleh Ketut Lantang. Setiap sebulan, Ketut Lantang selalu mebelikan pil itu di Denpasar. Ketut Lantang memang anak yang paling perhatian terhadap ibunya. Namun, di sisi lain Putu Rawi merasa Ketut Lantang adalah penghalang kariernya sebagai penjual minyak rambut.
Walaupun Ketut Lantang bekerja di Denpasar, ia selalu menelepon Putu Rawi untuk mengetahui keadaan Putu Rawi. Kini, Ketut Lantang tinggal di rumah, tiga hari dalam sebulan barulah ia ke Denpasar untuk mengirim dagangan, seperti tali bambu, keranjang, dan berbagai dagangan yang didapatkannya di Singaraja.
Putu Rawi merasa hidupnya semakin sulit sejak anaknya menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Setiap hari, ada saja yang membuat Ketut Lantang jengkel. Masalahnya, Putu Rawi mulai pikun dan keras kepala. Barang apapun diletakkan, sangat lama untuk mendapatkannya. Ketut Lantang selalu marah kalau ibunya terlalu lama nonton sinetron India.
“Bu, Ketut hanya takut kalau TV jadi panas lalu meledak. Cobalah gunakan waktu untuk istirahat. Ibu terlalu berambisi dalam hidup. Sejak muda bekerja, membuat jajan, menjual nasi kuning, menjadi pembantu. Ingat, sekarang ibu sudah berusia sembilan puluh enam.”
Putu Rawi hanya diam entah merasa bersalah atau benar-benar yakin bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Air matanya menetes. Ketut Lantang berhenti memarahinya.
Putu Rawi selalu begitu. Ketika anak-anaknya memarahinya sering kali Putu Rawi ingin pergi dari rumah dan mencari anak sulungnya yang jarang pulang. Putu Rawi sangat menyayangi Gede Pasek. Terlihat dari caranya memperlakukan Gede Pasek, ketiga anaknya tahu bahwa Putu Rawi selalu tidak adil. Ia selalu memberi uang lebih banyak untuk Gede Pasek. Kalau Gede Pasek datang, Putu Rawi menjadi sangat senang. Dia selalu memberi uang kepada anak sulungnya secara sembunyi-sembunyi. Rasa rindu kepada anak sulungnya memang berbeda. Kata suaminya dulu waktu masih hidup, Gede Pasek mewarisi seluruh sifat Putu Rawi. Mungkin karena itu, ingin selalu pergi sendiri secara diam-diam untuk menemui Gede Pasek. Karena selalu Putu Rawi menemui Gede Pasek yang entah kemana sejak kebebasannya dari lapas, maka anak-anaknya menjadi jengkel, terutama Ketut Lantang.
"Bu, Kak De sudah jelas lupa dengan kewajibannya, tidak perlu Ibu merindukannya. Jaga perasaan anak-anak yang selalu ada di dekat Ibu" kata Ketut Lantang dengan wajah sinis.
"Tidak bisa semudah itu! Seorang ibu tidak bisa melupakan darah dagingnya, itu yang harus kamu pahami!" jawab ibu dengan sedikit membentak.
"Ikatan memang tidak bisa kita putus tetapi ingatan bisa mengabaikan asalkan ada kemauan."
"Gede berjuang demi keluarga kita, dia tidak mau sekolah demi memberi kesempatan kepada kalian, adik-adiknya untuk melanjutkan pendidikan. Juga perlu kalian ingat jasa kakakmu kalau dia tidak membeli rumah ini,dimana kita akan tinggal? Coba pikirkan itu!"
"Ibu, memangnya kami tidak pernah memikirkan kakak? Mengapa Ibu berkata demikian? Ingat juga, saya sudah menggantikan tanggung jawab yang semestinya kami tanggung bersama, terutama tanggung jawab lelaki, anak sulung!"
"Ya benar,Ibu tidak pernah melakukan kewajiban!"
"Diam dulu Bu, ini bukan soal Ibu, tetapi soal kakak. Ibu selalu melindungi kakak. Itulah yang Ketut tidak suka dari Ibu. Ibu selalu membela kakak!"
"Bukan membela, tetapi ibu hanya menekankan bahwa kamu tidak boleh membenci kakakmu!"
"Ketut tidak benci! Sekali lagi tidak! Ketut hanya tidak ingin Ibu menyakiti diri untuk anak yang lupa dengan kita. Dulu waktu kakak terlibat narkoba, siapa yang membebaskan? Ketut juga kan? Darimana Ketut dapat uang? Ketut jual tanah 4 are! Ketut mengorbankan pacar Ketut! Bagaimana ibu bisa berpikir kalau Ketut tidak peduli dengan Kakak? Sekarang Ketut ditinggalkan oleh pacar gara-gara Ketut membatalkan pernikahan. Syukur di usia Ketut empat puluh dua tahun ada yang mau diajak menikah dan kami sangat bahagia. Ketut tidak mau Ibu berpikir bahwa Ketut tidak peduli dengan nasib Kakak."
"Memang kamu yang urus kakakmu, ibu berterima kasih kepada kamu."
"Jangan Ibu mengucapkan terima kasih, itu memang tanggung jawab Ketut. Ketut selalu berusaha menjaga keluarga kita agar tentram. Jadi, Ketut mohon, berhentilah merindukan kakak!"
"Tidak, Ibu akan mencarinya sendiri!"
"Untuk apa?"
"Untuk menyadarkannya! Dia harus ingat masa masa sulit kita. Bahwa sekarang kita berkecukupan karena dia. Kita tidak bisa berkumpul seperti sekarang kalau dia tidak membeli rumah. Rumah ini memerlukannya."
"Bodoh! Ketut tidak mengerti jalan pikiran Ibu! Mana mungkin kakak mau kembali ke rumah. Di Denpasar rumahnya dua lantai. Semua tembok rumahnya berbahan marmer. Stylenya perpaduan Eropa Bali. Dia tidak kekurangan apapun di sana. Ibu ingat kan waktu lima tahun lalu kitake sana? Istrinya tidak senang melihat kita. Kita tidak diizinkan masuk. Kakak waktu itumasih waras. Sekarang entah apa yang membutakan matanya, bahkan menelepon kita dia tidak. "
"Itulah, pasti terjadi apa-apa padanya...."
"Tidak, Bu. Man Suka pernah ke sana beberapa minggu lalu untuk mengundang kakak agar hadir di pernikahan anaknya. Tahu apa kata istri kakak? Dia bilang sudah tidak ada hubungan lagi dengan keluarga kita. Betapa malu Man Suka waktu itu."
Putu Rawi tidak bisa menjawab atau membantah lagi. Rasa rindu membakar jiwanya. Ia seperti asap yang bisa melewati ruang-ruang yang membatasi tubuhnya. Dia selalu mengintai, tiap kali rumah ssepi dia selalu pergi sendiri. Ia memutuskan pergi ke Denpasar dengan naik angkutan umum yang berangkat jam 9 pagi. Ketika itu. Anak-anaknya sudah berangkat kerja dan cucunya bersekolah.
Dia tidak peduli sejam lagi cucunya akan datang dan mengetahui rumah kosong. Dia berpikir sejam lagi, dia sudah dalam perjalanan ke Denpasar. Tidak mungkin ada yang tahu karena ia tidak berpesan sedikitpun kepada siapapun.
"Tolong jaga ibu kalian! Dia sudah pikun. Harus selalu dijaga. Kalau mau kemana mana, dia harus diantar. Ini sudah tiga kali dia terjaring razia. Syukur dia bawa KTP, kami jadi lebih mudah mengantarkannya." Kata petugas Dinas Sosial.
Ketut Lantang marah! Dia tidak tahu harus bagaimana. Kakaknya tidak pernah mau pulang, dan ibunya selalu ingin pergi sendiri mencari kakaknya. Sebagai anak, dia selalu ingin mengantar ibunya, tetapi ibunya selalu pergi... ibunya selalu ingin pergi sendiri seperti udara, mengendap-endap saat musim kemarau.
Tetabuhan angklung menggema. Orang-orang yang melayat mengenang harum minyak yang diracik Putu Rawi. Di dusun Kubu Lebah, Putu Rawi adalah orang tua yang sangat gigih. Kalau warga lain mulai pikun sejak usia tujuh puluh tahun, Putu Rawi bahkan tidak pernah terlihat pikun. Ketut Lantang dan Nyoman Anggara hanya bisa mengantarkan kepergian sampai di pura Dalem. Sayangnya, bahkan kakak sulungnya pun tidak datang saat tubuh Putu Rawi telah berusia seratus empat tahun dibakar api. Putu Rawi benar-benar pergi sendiri, anak sulung yang selalu dirindukannya tidak mau mengantar kepergiannya, entah karena apa…..

Singaraja, 3 April 2016
Apa yang bisa kita lakukan? Bekerja? Bekerja? Kita lupa orangtua….







































Bermain Bayangan
Oleh Luh Arik Sariadi

Gede Darya, bermain bayangan di sungai yang mengalir di belakang panti asuhan.
***
Aku duduk di atas batu. Menatap ke arah bukit membuat pandanganku tidak terbatas. Tanpa pernah puas menatap tumbuhan yang bergerak bebas ditiup angin, dan sangat setia, aku bisa melewatkan hari tanpa makan di atas batu itu. Bukit dengan ilalang menguning, menyebarkan bunga ke dahan pohon yang agak basah. Di sinilah setiap hari kuhabiskan waktu untuk mendengar suara perempuan yang sedang bernyanyi.
Setiap hari Kamis pada minggu ketiga, perempuan itu akan lewat. Aku bisa melihat kendaraannya melintas dari atas batu. Aku hanya menarik leherku, agar kepalaku bisa menghadap ke bawah. Satu-satunya jalan yang tidak tertutup dedauanan, adalah jalan yang selalu membuat suara perempuan itu bergema. Sambil menahan dingin, perempuan itu bernyanyi. Tikungan yang tajam, mungkin membuat nyalinya ciut, lalu dengan lagu-lagu ia kalahkan jalan-jalan aspal.
 Aku telah melewatkan suaranya yang lentur. Aku telanjur menyibukkan diri dengan pekerjaan. Aku tidak bisa menemaninya menyanyi. Aku tidak bisa menyanyi, tidak juga bisa mengiringi lagunya dengan alat musik seadanya. Sangat sulit bagiku menjadi temannya. Apalagi, aku mengetahui suatu hari ketika ada teman yang mengajaknya bernyanyi, maka kesehatannya akan pulih. Sedang aku? Aku tidak bisa membuatnya tertawa. Aku sering membuatnya bersedih. Banyolan-banyoolan yang kubuat tidak sanggup membuatnya tertawa. Dia hanya mau tertawa saat ada nada yang salah dinyanyikan atau dia akan tertawa kalau sudah merasa bahagia karena telah berhasil menyanyikan lagu.
Bagiku pekerjaan akan bisa menghilangkan kerinduanku terhadap Gusti Ayu Ariani. Bekerja sebagai desainer interior villa, aku selalu membawaku pada sebuah kamar yang lengkap. Gusti Ayu Ariani ingin kamarnya selalu indah. Ada sound, digital, dan mix untuk karoke. Ada televisi layar datar yang besar. Sofa dan karpet merah yang menghangatkan. Anggur merah, bermerk Rose di atas meja dan sebuah gelas ramping yang indah. Selalu kuingat gelas itu! Bekas bibir dengan lipstik merah Gusti Ayu membuat tanganku bergetar saat mengukur setiap sudut kamar.
”Aku harus bekerja!” jawabku ketika kekasihku, Mali menelepon. Aku tidak ingin diganggu oleh kekasihku. Aku sedang menikmati pekerjaanku, sesekali kuputar ringtone yang paling indah di dunia ini, suara Gusti Ayu Ariani selalu menemaniku.
Udara bergerak lambat menyusup ke celah-celah jendela. Daun terong hijau legam. Buahnya putih bulat dan segar. Cabai tumbuh subur di depan jendela pada jarak semeter dari taman utama yang berada mepet dari pagar. Jagung mulai berbuah. Bunganya bergerak-gerak sangat pelan. Asap dupa harum membangunkan semua tanaman yang masih kedinginan sebab ombak terlampau jauh untuk menghentak mereka. Ribuan kilometer jauhnya pantai, tampak indah dari bukit Sukasada. Jalan-jalan di kota tampak diam, lengang, sebab pandangan dibatasi oleh jarak. Burung-burung terlihat berkelepakan di langit biru tetapi tak terdengar suara pun. Sungguh, suara-suara pun lenyap dari kota sebab suara tak mampu merambat di ruang hampa, mendaki bebukitan, sungguh tak sanggup.
Namun, kesalnya aku mengetahui bahwa suara Mali sampai juga ke villa tempatku bekerja. Telepon dan pesannya menghentikan lagu sedang kuputar sepanjang hari.
Aku duduk menenangkan hati, mengabaikan panggilan dari Mali. Kuambil speaker aktif kecil yang selalu kubawa di tas laptop. Kumainkan sebuah lagu, penyanyinya tentu saja Gusti Ayu Ariani.
Sosok Gusti Ayu Ariani tidak akan pernah kulupakan. Terekam jelas dalam hatiku, Gusti Ayu Ariani bernyanyi seharian menunggu suaminya datang dari bekerja. Sebagai seorang istri anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ia selalu siap ditinggal sehari dua hari, seminggu empat minggu, bahkan sebulan atau setahun sebab tugas sebagai anggota dewan adalah pekerjaan yang mulia. Sebagai seorang anggota dewan, suami Gusti Ayu Ariani selalu mencari aspirasi masyarakat sampai ke pelosok-pelosok desa. Sesampainya di rumah, beliau akan kelelahan dan tak sempat berdiskusi dengan Gusti Ayu Ariani. Bagi seorang wanita, tentu tegur sapa, kesetiaan, cumbu rayu, selalu diharapkan dari laki-laki. Itu tidak pernah didapat dari suaminya, Gusti Gde Agung Sukumara.
Gusti Ayu Ariani selalu menikmati hidup dengan bernyanyi di ruang karoke. Sebagai seorang istri anggota dewan yang kaya raya, pekerjaan menyanyi menjadi pekerjaan yang kurang terhormat. Ketika Gusti Ayu Ariani memutuskan menikah dengan Gusti Gde Agung Sukumara, saat itulah ia harus berhenti jadi penyanyi. Ah, dia tidak pernah berhenti menyanyi. Di ruang karoke lah dipenuhi kemauan bernyanyinya untuk menyenangkan hati.
”Gusti Ayu, bagaimana bisa kamu menyanyi sendiri di kamar seperti ini?” kataku sesekali ketika tinggal di rumahnya.
”Apa lagi yang bisa kukerjakan selain menyanyi di kamar ini?”
”Mengapa kamu tidak pergi bekerja? Bukankah sudah zaman modern, dan kamu perempuan boleh saja bekerja, bukan untuk mencari uang tetapi untuk mencari kesibukan.”
”Hei, bukankah menyanyi seperti ini aku sudah sibuk? Dasar anak desa!”
Aku tidak pernah marah dikata-katai oleh Gusti Ayu Ariani, sebab ialah yang telah memungut aku dari yang mulanya hanya gelandangan sampai sekarang memiliki nomor induk kependudukan. Bangga juga aku begitu disayang oleh Gusti Ayu Ariani. Sebagai saudara angkat, aku dimasukkan pada daftar keluarga Gusti Gde Agung Sukumara.
Di keluarga lain, seorang lelaki seperti aku tidak mungkin mendapat pengakuan dengan mudah, sebab dikemudian hari mereka takut kalau anak atau saudara angkat akan ikut menuntut warisan. Kepercayaan Gusti Gde Agung Sukumara dan Gusti Ayu Ariani selalu kuhormati dan akan kujaga selamanya. Itulah janji hatiku sejak menginjakkan kaki di rumah Gusti Ayu Ariani. Aku tidak peduli dijadikan sebagai pembantu, tukang kebun, atau apa saja. Anehnya, pikiranku tentnag orang-orang kaya mulai berubah. Aku diperlakukan dengan sangat terhormat. Aku disekolahkan. Diantar dan dijemput oleh sopir khusus. Kadangkala Gusti Ayu Ariani mengundang guru private untuk menambah pelajaran agar aku segera meyesuaikan diri dengan jenjang pendidikan reguler. Aku benar-benar seperti saudara bagi Gusti Ayu Ariani. Akupun berusaha menyesuaikan diri, meluangkan waktu untuk tertawa bersama Gusti Ayu Ariani.
”Maksudku, Gusti Ayu Ariani mengapa tidak bekerja ke kantor begitu....” kataku sembari mengelap meja yang ditumpahi anggur merah.
”Untuk apa bekerja? Di rumah ini, seorang perempuan dilarang bekerja. Suami telah melimpahkan harta benda. Segala fasilitas telah dilengkapi. Kartu ATM tinggal digesek. Kalau mau belanja tinggal telepon dan bisa online, semuanya sudah tersedia.”jawabnya panjang lebar.
”Kamu benar, sudah tidak perlu uang lagi, tapi untuk hiburan, maksudku.” Aku berusaha mempengaruhi pikirannya. Aku ingin ia menikmati kehidupan di luar rumah ini. Aku ingin dia melihat keindahan ciptaan Tuhan dengan matanya sendiri. Aku yakin dengan menghirup udara segar di luar sana, ia tidak akan mabuk-mabukan lagi.
”Hiburan sudah terjadwal. Kamu ingat kan, setahun lalu, kami berlibur di air terjun. Wartawan meliput kebahagiaan kami sekeluarga. Semua orang ingin mengetahui perkembangan penyanyi pop yang sangat cantik ini. Lantas, apa yang terjadi? Aku hanyut dan kamu menemukanku.”
”Mengapa bisa kamu hanyut? Diliput wartawan dan begitu sulit menemukanmu?”
”Apa maksud pertanyaanmu?”
”Maksudku, selama tiga hari kamu dicari beramai-ramai tidak ketemu juga, dan syukur kamu selamat.”
”Apa? Jadi kamu ingin aku mati setelah tiga hari menghilang?”
”Maaf, cantik. Bukan begitu maksudku. Bagaimana usaha mereka mencarimu, sampai-sampai begitu lama kau dibiarkan hanyut?”
”Ini konspirasi politik!”
”Apa itu?”
”Aku sendiri tidak tahu. Suamiku selalu mengatakan seperti itu tapi aku tidak tahu artinya.”
”Apakah dia tidak bisa menjelaskan? Atau kamu tidak ingin mendapatkan penjelasan?”
Gusti Ayu Ariani diam. Dia hanya memainkan kakinya, bergerak terus menerus pada lipatan memanjang ke arah meja. Aku sudah selesai membersihkan meja. Aku membuka pintu hendak keluar dari ruang karoke.
”Berhenti!”
”Ada apalagi, Gusti Ayu Ariani yang cantik?”
”Lancang! Kan sudah kubilang kamu lebih kecil dari aku, panggil aku mbok, ibu, atau Gusti Ayu. Tidak usah berisi nama lengkap apalagi berisi rayuan gombal!”
”Maaf, entah mengapa aku merasa dekat denganmu sejak pertama bertemu. Kamu begitu cantik, ayu, dan suaramu bagus.”
Gusti Ayu Ariani tertawa terpingkal-pingkal mendengar kata-kataku yang sangat serius. Di dunia ini, aku tidak pernah melihat perempuan cantik seperti dia. Dia baik dan sangat setia. Sayangnya dia selalu dibuat bersedih oleh suaminya.
”Eh, bocah! Rupanya kamu sudah menginjak dewasa! Hanya orang dewasa yang pandai merayu. Mau jadi apa kamu? Masih bocah sudah tahu orang cantik. Coba katakan, berapa orang cantik yang pernah kamu goda?”
”Maaf, aku tidak pernah menggoda orang cantik karena selama ini, aku tidak pernah melihat orang secantik kamu!”
Gusti Ayu Ariani terus menerus tertawa, mengejekku yang dikiranya gombal. Padahal, hatiku selalu berdebar setiap kali menatap matanya. Aku seperti ingin berteriak memanggil namanya saat tak tahan menjaga denyut jantungku.
”Wayan Kayun....lucunya dirimu. Kamu seorang anak yang kupungut. Jaga dirimu! Di dalam keluarga ini, kamu itu adalah seorang saudara angkat! Ingat, kamu harus berhati-hati, siapa tahu ini bagian dari konspirasi!”
”Tidak! Aku tidak mau tahu ini konspirasi atau bukan. Yang aku tahu, dada ini begitu bergetar ketika melihatmu!”
”Hei, bocah! Pergi sana!”
Gusti Ayu Ariani mengusirku, aku tahu dia tidak mengusirku dari rumah. Dia sering melakukan itu, tetapi karena aku sangat mencintainya, aku tidak akan pernah pergi darinya. Aku ingin selalu mendengar nyanyiannya. Aku ingin selalu menemaninya. Aku tidak ingin dia kesepian di rumah yang sangat besar. Anak-anaknya disekolahkan di luar negeri sejak SMP. Sekarang mereka sudah bekerja di Jakarta. Keduanya dipersiapkan untuk menjadi anggota dewan. Betapa sepinya Gusti Ayu Ariani tanpa aku? Eh, maksudku tanpa anak-anaknya. Namun, mungkin benar juga aku terlalu gombal. Ketika kutinggal pergi, Gusti Ayu Ariani bernyanyi kembali. Dia tetap hidup, bahkan sangat bahagia tanpa aku di sisinya. Suaranya yang indah terdengar walaupun aku sedang membersihkan kamar yang lain.
***
Di kamar yang lain, suaranya tetap mengalun lembut. Kurapikan pekerjaanku. Aku duduk sejenak, menatap ke arah jendela. Sesekali kuingin membuat rancangan baru, ruang karoke yang bisa menghadirkan suara Gusti Ayu Ariani di dalamnya. Desain interior yang lengkap, kupikirkan agar sebuah kamar bisa diubah dengan cepat, menjadi pasar, menjadi taman kota yang ramai, menjadi sawah dengan para petani yang menjerit mengusir  burung. Kubayangkan Gusti Ayu Ariani duduk di sebuah batu dengan memakai kain kebaya menarik orang-orangan sawah dengan suaranya yang indah. Lantas, aku ada didekatnya sembari meniup seruling. Begitu romantik!
Handphoneku berbunyi. Kulihat panggilan dari Mali berulang-ulang.
”Ya, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Besok pagi aku mampir ke rumahmu.” kataku kepada Mali untuk menghiburnya. Aku adalah lelaki bebas! Aku tidak punya sanak saudara. Kesepian dan hanya Mali yang sering menelepon. Namun, aku tidak ingin membuat ikatan dengan Mali. Bukan karena dia cantik, bukan karena dia kaya, bukan karena dia wanita karier, tetapi karena sudah ada seseorang di hatiku. Siapa lagi, Gusti Ayu Ariani. Ah, siapa tahun, walau usia kami jauh berbeda. Dia lebih tua dariku sepuluh tahun. Tetapi kesepiannya membuatku jatuh cinta.
Lagu-lagunya hanya penderitaan, lagu yang akan membuat orang berdesis sedih. Tapi, tentu orang lain tidak akan pernah jatuh cinta seperti aku hanya karena seseorang menangis saat bernyanyi. Aku benar-benar lelaki gila! Jatuh cinta kepada orang yang telah mengangkatku jadi saudaranya.
”Darya, jangan mencintaiku!” aku ingat kata Gusti Ayu Ariani di ruang karoke.
***
Gede Darya, bermain bayangan di sungai yang mengalir di belakang panti asuhan. Bayangan Gusti Ayu Ariani dengan cepat mengalir ke hilir. Sungai ini pasti bermuara ke laut, tempat abu Gusti Ayu Ariani terombang ambing seperti hatinya yang goyah dalam kesepian.
”De...sudah waktunya memasak nih...!” Mali lagi-lagi menggangguku. Aku masih ingin bermain bayangan di sungai. Aku harus segera meninggalkan bayangan yang goyah. Aku harus menjaga amanah Gusti Ayu Ariani untuk selalu membantu anak-anak telantar. Panti yang kutempati adalah wasiat darinya. Walau aku hidup tanpa rasa cinta, sekalipun Mali sangat mencintaiku, tidak ada kebahagiaan lain selalain menjaga panti ini. Panti ini adalah bukti cinta Gusti Ayu Ariani untukku.


















Kasih Pengais Sampah

Aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanku sendiri tentang lelaki tua itu. Aku kabur dari rumah sakit. Itu adalah pilihan yang sulit ketika orang-orang memilih untuk menarik nafas terakhirnya di ICCU, itu ruangan yang sangat menakutkan. Orang-orang di kamar itu menggunakan alat-alat yang tidak bisa kupahami dengan perasaaan. Kadang-kadang aku ingin memahami perasaan ini dengan pikiran, tetapi aku tidak sanggup.
Lelaki tua itu, Ketut Subrata terbaring lebih dari sebulan di ranjang yang dingin. Korden pembatas atar pasien juga sangat dingin.  Alat-alat kedokteran berbunyi sahut menyahut. Ada dua puluh orang yang ada di kamar itu. Hampir semua pasien adalah nenek atau kakek yang tidak tahan dengan panas dunia ini. Dada mereka sesak sehingga harus diberi oksigen tambahan. Paru-paru mereka kembang kempis dan mungkin jadi benar-benar beku sebab tidak biasa di daerah tropis, udara mencapai 10 derajat. Itu tidak biasa bagi orang-orang yang terbaring di kamar itu.
Ketut Subrata mendapat bantuan pernafasan dari tabung yang sangat besar. Selang kecil dimasukkan ke hidungnya sehingga dia tidak perlu menarik nafas terlalu keras untuk mendapatkan oksigen. Mulutnya juga berisi selang dengan diameter dua kali lebih besar dari selang oksigen. Selang itu digunakan untuk memberi obat atau memasukkan makanan ke dalam perutnya. Ketut Subrata tidak perlu mengunyah makanan karena makanan yang diberikan rumah sakit kepadanya adalah makanan yang encer, lunak, dan mengandung obat sehingga mudah dicerna olehnya.
Ketika kudatangi dirinya, aku tak bisa bertanya tentang bagaimana perasaannya sebab semua telah jelas tergambar dari tubuhnya yang mulai beku. Air matanya sudah tidak menetes lagi seperti waktu pertama kali kulihat tubuhnya yang segar terbaring di kamar lain. Belum ada alat-alat yang berderap seperti para pencabut nyawa yang akan segera sampai. Hanya ada infus yang bertengger di pergelangan tangannya. Aku ingat waktu itu kedua kakinya memang diikat, tetapi dia masih boleh berbicara, mengutarakan isi hatinya.
Di kamar ICCU, dia tidak bisa lagi mengutarakan isi pikiran, hati, atau apapun yang menalir di dalam tubunya. Bahkan, dia tidak bisa lagi mengatakan I Love You kepada istrinya yang selalu menjaganya. Padahal, selama ini, dialah yang mengajari anak-anak RT untuk selalu mengatakan kata cinta kepada setiap orang yang ditemui. Dia juga selalu mengajari siswa-siswinya untuk mengatasi segala masalah dengan mengutarakan perasaan kepada orang lain dan tidak lupa mengatakan I Love You.
***
Kau selalu datang ke panti ini. Ini adalah rumah yang sangat luas, dua lantai, dan lapangan luas untukku bermain. Aku selalu menciptakan lagu-lagu cinta untukmu. Saudara-saudaraku yang lain juga ikut menghafal lagu agar ketika kau kembali aku bisa menyambutmu dengan kehangatan walaupun kita tidak ada ikatan darah.
Bagiku, kau adalah cinta pertamaku. Kau mampu membuatku meneteskan air mata dan berbahagia. Selama ini, aku dan saudara-saudaraku hidup tanpa kekuatan cinta seperti katamu. Kau benar bahwa hidup tanpa cinta, kita tidak pernah bahagia. Kau juga memperkenalkan kekuatan cinta kepadaku bahwa cinta itu bisa kuraih bahkan hanya dengan memejamkan mata. Betapa indah hari-hariku bersamamu.
Kau datang dan kami tersenyum seolah tidak ada penderitaan, kecuali ketika kau hanya mengirim makanan untuk kami, itu adalah musibah. Aku tidak bisa memelukmu lagi. Aku tidak bisa bercerita tentang prestasi belajar, tentang teman-teman di sekolah. Dan, sudah sejak enam bulan kau tidak datang. Aku selalu bertanya tentang keadaanmu kepada Pak Jineng.
“Apa yang sudah kujelaskan, tolong dipahami! Jangan bertanya tentang orang-orang yang membantu kalian lagi!” Pak Jineng selalu berbicara dengan berteriak-teriak. Tetapi aku tidak pernah berhenti menanyakanmu.
“Tidurlah! Sudah malam! Kalau kamu sakit, kita akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk mengobatimu! Sedangkan para donatur tidak memberikan uang yang cukup untuk kalian!” Pak Jineng sangat kesal melihatku masih melamun di jendela. Letak jendela sangat strategis untuk mengetahui laju mobil yang akan masuk ke panti. Sejak senja tiba, aku belum juga meliat mobil merah marun melintas menuju ke tinkungan di samping panti.
“Entah kapan Pak Subrata akan datang lagi ke sini? Cobalah cari tahu Pak Jin….!”
“Aku tahu kau sangat disayang oleh Pak Subrata, tetapi bukan berarti kau harus tahu segala tentangnya. Ayo, tidurlah, masih ada donatur yang akan menyumbang untuk kalian, dan entah kapan itu akan datang? Besok kalian ada jadwal renang ke Singaraja Hotel, lalu makan malam di tepi pantai Penimbangan. Bukankan itu sangat menyenangkan?” Pak Jineng mencoba merendahkan nada suaranya, tetapi tampak jelas wajahnya yang kesal kepadaku.
Aku sangat merindukanmu. Tetapi tiada guna lagi untuk memikirkanmu. Seluruh cintaku kepadamu tidak bisa lagi membuat rindu ini memudar. Aku mencoba memikirkan donatur-donatur lain yang membiayayai panti ini, tetapi aku kembali fokus kepadamu. Aku ingin kembali ke masa-masa yang pernah kita alami.
Ah, aku mungkin membuat kesalahan telah mengingat ajaranmu untuk mencintai setiap orang yang kita jumpai. Aku kini tidak berdaya dan bisa mati karena sangat mencintaimu. Aku ingin meminta maaf karena telah mengizinkanmu pergi, padahal kau bisa menempati salah satu kamar di panti ini dan membiarkanmu hidup bersama kami selamanya.
Bukankah itu cinta? Kau selalu berkata bahwa jika seseorang mencintai setiap orang, maka dimanapun kita berada bersamanya kita akan merasakan bahagia. Ah, aku kembali bingung tentang ajaran cinta yang kau sebarkan kepada semua penghuni panti ini.
Mungkinkah ajaranmu sudah rapuh dalam ingatanku sehingga berulang kali aku menyakinkan bahwa kau bernar-benar mencintai kami, berulang-ulang pula kekesalanku kepadamu. Mungkin ada banyak donatur yang membiayayai hidupku, tetapi kau memberi jiwa kepadaku. Aku ingin hidup.hidup.hidup.selalu agar bisa bersamamu lagi.
“Rani, tidurlah! Kau ini keras kepala ya?” kata saudara sekamarku, Nova.
“Tidur saja duluan!” jawabku sembali merentangkan selimut putih di tubuh  Nova. “I love you…” kataku berbisik di telinga Nova.
“Ah, masih saja kau percaya ajaran Pak Subrata! Dia itu pembohong! Sudah jangan ingatkan aku tentangnya!”
“Tidak, Nova. Betapa damainya hidup kita dengan kehadiran Pak Subrata.” jawabku lirih.
“Tentu. Dia punya uang. Dia membiyayai panti kita. Coba dia tidak punya uang, dia tidak akan membuat kita damai. Dia akan membuat kita gila!”
“Cukup! Jangan menghina orang yang telah berjasa bagi kita. Dia datang dan menggerakkan kembali semua orang yang ada di panti ini. Kamu tentu ingat ketika kita berusia delapan tahun?”
“Ya, ingat! Kita mengemis di jalan.”
“Yah, karena itulah. Ingat itu baik-baik. Pak Subrata datang dan memperbaiki kehidupan kita. Kita diajari kasih sayang. Kamu tentu ingat bahwa kita pernah saling memukul pada usia tujuh tahun hanya untuk mendapatkan uang logam dari orang-orang yang lalu lalang.” Aku  harus mengingatkan Nova bahwa hidup perlu kasih sayang. Dia tidak boleh terus menerus menganggap bahwa uang segalanya.
“Ya, benar kita berkelahi saat ada salah satu dari kita yang mendapatkan uang lebih banyak. Benar bahwa Pak Subrata datang dan melarang kita mengemis lagi.  Padahal dengan menerima uang Pak Subrata, kita juga mengemis kepadanya.”
“Tidak! Itu berbeda! Pak Subrata memberi kita pengetahuan, menyekolahkan kita.”
“Nah, itu benar. Kita mengemis untuk bersekolah. Padahal, aku tidak ingin sekolah. Otakku buntu, kau tentu memahami otakku, bukan?”
“Aku paham. Justru karena itulah kita harus terus belajar. Kita harus membaca lebih banyak. Lihatlah, perpustakaan kita lebih banyak berisi buku daripada perpustakaan di sekolah!”
“Dasar, kau memang kutu buku. Kau yang selalu memasan buku ini itu kepada Pak Subrata, makanya perpustakaan jadi penuh dan kami yang bodoh-bodoh ini kena getahnya. Kami harus setiap hari membaca. Uh….benar-benar melelahkan.”
“Itu demi kecerdasan kita! Kita harus berhasil. Nanti setelah kita benar-benar dewasa, aku akan mendirikan panti asuhan seperti ini, eh…lebih indah dari panti ini. Untuk tujuan itulah, kita harus saling mencintai, berbagi, dan kita pasti bisa meraih mimpi.”
“Berhentilah membual Rani. Beberapa bulan lagi kalau tidak ada donatur yang datang ke panti kita, kita akan diusir dan entah di mana kita akan tinggal.” dengan nada mengeluh, Nova membuatku ikut menangis. Inilah perasaanku, selalu bersedih setiap kali ada yang sedih. Menurutmu, perasaanku ini adalah cinta.
Memikirkanmu membuatku semakin sedih. Entah di mana dirimu. Aku sudah baca koran setiap hari, tidak ada berita tentangmu. Tidak ada fotomu di internet. Sudah kudengarkan suara Pak Jineng saat berbicara bersama istrinya secara tersembunyi, tetapi tidak juga kudengar kisah cintamu. Di manakah cintamu berlabuh? Aku benar-benar sangat merindukanmu. Atas semua kerinduan yang kualami, aku mendapat hukuman dari Pak Jineng.
“Kau akan segera ujian nasional, aku terpaksa harus menghukummu agar kau bisa melupakan Pak Subrata! Kau tidak boleh keluar dari kamar selama seminggu. Kau juga tidak boleh sekolah selama kau tidak melupakan Pak Subrata. Ingat, kau juga hanya akan mendapat makan siang. Itu karena kau telah nguping pembicaraan kami. Cobalah melupakan lelaki pembual itu!”
“Tidak! Mengapa Bapak selalu mengatakan bahwa Pak Subrata seorang pembual? Padahal ketika dia datang, Bapak selalu menunjukkan rasa hormat dan sependapat dengan kata-katanya. Tidakkah Bapak merasa diri memiliki kepribadian ganda?”
“Cukup! Masuk ke kamar!” Pak Subrata menyeretku ke kamar. Saudara-saudaraku tidak bisa berbuat apapun. Nova ingin membantuku, tetapi bola matanya bukan bola mata orang pemberani. Dia hanya bisa berteriak tetapi tidak berkutik.
“Nova tidur sama Ayu dulu! Sementara ini, Rani akan tidur sendiri di kamar itu.” tegas Pak Jineng kepadanya. Dia selalu mengawasi kamarku agar tidak ada yang bisa membantu aku. Pak Subrata, tahukah bahwa ajaran cinta yang kau tanamkan kepadaku membuat aku akan kuat menghadapi hukuman yang diberikan Pak Jineng kepadaku. Jika suatu hari aku mati, itu semua karena ajaran cintamu sebab atas nama cinta, kau akan selalu kurindukan.
Malam bergerak sangat lambat, padahal aliran mataku begitu deras. Kutahu malam tidak akan tunduk oleh air mataku. Mataku sudah sembab. Aku selalu mengutuk ajaran cintanya sebagai kepalsuan. Angin berdesir dengan berat. Suara jengkrik yang biasa mendobrak tembok-tembok panti, malam ini tiba-tiba lenyap seolah tidak ingin bersaing dengan suara tangisanku.
“Rani, berhentilah menangis. Aku akan mencari informasi tentang Pak Subrata. Tidur! Ayo tidurlah! I love you” bisikan Nova terdengar samar-samar. Untuk malam ini, cinta Nova bagai harapan, dan aku menjadi takut.
“Jangan! Tidak usah kau cari informasi tentang Pak Subrata! Aku akan berusaha melupakannya! I love you, Nova!”
Cinta Nova kepadaku telah berhasil membuatku tertidur. Istri Pak Jineng mengetuk pintu, lalu membukanya sendiri. Mataku masih sipit dan terasa tidak nyaman. Aku ringsek di lantai.
“Rani, bangunlah! Ini makan siangmu! Maaf, Ibu harus patuh terhadap Pak Jin. Dia sebenarnya sangat baik, hanya cara bicaranya khas orang Buleleng. Kau harus fokus belajar, agar ujianmu baik. Pak Jin sedang mencari donatur agar kalian tetap bisa sekolah.”
“Bu, memangnya bagaimana keadaan panti ini? Dimana Pak Subrata?”
“Itulah, selama ini panti kita didanai oleh Pak Subrata. Donatur lain memang ada, tetapi tidak rutin. Pak Subrata biasanya rutin memberi uang untuk sekolah kalian. Kau sendiri tahu, sudah enam bulan lebih dia tidak kemari.”
“Apa Pak Jin tidak ada usaha mencarinya? Memangnya di mana rumah Pak Subrata? Tolong antarkan saya ke rumahnya, Bu….” aku memelas kepada istri Pak Jineng, tetapi ia justru pergi.
“Kami tidak pernah tahu rumah Pak Subrata. Itulah kenyataannya. Dia tidak pernah mau mengatakan di mana rumahnya. Bahkan tidak ada nomor handphone dan KTP yang ditinggalkannya. Pak Jin sudah berusaha mencari infomasi, tetapi entah dari mana lelaki tua itu? Maaf, kami telah memberi kalian harapan untuk hidup tetapi kami sekarang tidak bisa berbuat apa, kecuali mencari donatur lain.” Bu Made bergegas menutup pintu.
***
Aku kembali ke rumah sakit.
Aku tidak ingin lagi lelaki tua itu kembali. Tubuhnya sudah beku. Mulut Pak Subrata sudah mengelupas. Entah berapa bulan lamanya dia menderita. Aku ingin menghentikan penderitaanya. Hati ini telah berhenti bermimpi untuk mendekapnya. Kasihan dia terlalu banyak alat dipasang di tubuhnya. Air kencingnya merah bercampur darah menggantung di ranjang.
Tidak ada lagi saat saat terindah yang kunanti bersama Pak Subrata. Aku tidak akan pernah menyesal pernah bersamanya. Walau kerinduan itu telah hambar, mimpi untuk membuat sebuah panti yang penuh cinta masih ada. Itu semua karena setiap gerak tubuhku selalu menghadirkan bayangnya. Tubuh ringkihnya pastilah sangat lelah mengais sampah di tempat pembuangan akhir atau mengayun sepedanya menuju ke desa-desa untuk mendapatkan barang-barang bekas. Uangnya akan dikumpulkan untuk panti asuhan dan istrinya. Ternyata Pak Subrata hanya seorang pengais sampah yang mendonasikan hidupnya untuk anak-anak jalanan.
Bagiku, pernah memiliki Pak Subrata, sudah cukup. Aku meneteskan air mata saat pak Subrata melepaskan cintanya di hadapanku. Kugegam erat tangannya. Kuciumi jari-jarinya. Waktu yang tersisa kini akan jadi api yang akan membakar kemalasan, kebencinan, kecemburuan, dan akan membuatku memahami ajaran cintanya.
Mendekap tubuhku di dinding kamar, sangat dingin dan malam-malam bersamamu jadi lenyap. Aku beku dalam kepasrahan bahwa dingin inilah yang membawamu pergi dariku…
Oleh
Luh Arik Sariadi
Singaraja, 9 April 2016


Menabur Debu ke Mataku

Udara kering mengalirkan pasir….
Teluk yang direklamasi menabur debu ke mataku…
Rasanya sangat perih dan mengharukan….

Apa yang bisa kulakukan? Aku penegak hukum. Aku seorang polisi yang lulus dengan nilai terbaik pada setiap pendidikan. Setelah selesai dalam pendidikan, aku mengabdikan diri kepada masyarakat untuk menegakkan hukum. Aku sangat bahagia bisa mengabdikan diri polsek Tandor. Desa ini sangat kering. Bebatuan bisa ditemui di sepanjang jalan yang kulalui saat patroli dengan seekor kuda. Tebing-tebing yang tinggi dan curam ditumbuhi rerumputan yang menguning. Air mengalir indah di bebukitan, tetapi air yang deras itu tidak bisa menghidupkan tanaman di sekitarnya. Air hanya mengalir pada satu garis yang tetap, ia tidak pernah melawan bebatuan yang kuat sehingga aliran air tidak berubah. Begitulah kira-kira hukum yang harus kutegakkan.
Namun, apa yang bisa kulakukan? Aku seorang polisi yang harus memberi kesempatan kepada siapapun yang menuntut orang lain. Aku harus mencari bukti-bukti yang kuat untuk membenarkan sebuah tuntutan atau menyalahkan tuntutan itu.
Di hadapanku, seorang perempuan muda membuat laporan. Tubuhnya yang gemuk membuat kursi plastik di kantorku reot. Perempuan muda itu bernama Suartini, usianya 35 tahun, alamatnya desa Palo, kecamatan Tandor, Kabupaten Tandor, sebuah desa baru di kepulauan yang baru saja dibentuk  dengan reklamasi. Suartini beserta isinya membeli sebuah rumah mewah dua tahun lalu. Setengah tahun lalu, ia meminta ibu mertuanya yang ada di Bali untuk tinggal bersama mereka.
Seperti menonton telenovela atau sinetron, aku bertugas mencatat laporan Suartini.
“Pak, saya sering kehilangan sendok makan. Saya sangat kesal.” kata Suartini sambil menggaruk rambutnya yang kriting dan dipotong pendek.
“Sendok makan?” tanyaku memperdalam laporannya.
“Ya, sendok makan yang terbuat dari stainlis….besi pernekel…oh, sendok makan plastik juga pernah hilang.” katanya seperti derasnya air terjun di atas bukit Tandor.
“Jadi, begitu….”aku merasa sangat aneh. Seorang perempuan yang hanya sebagai ibu rumah tangga melaporkan kehilangan sendok makan.
“Wah, Bapak pasti tidak percaya? Saya juga tidak percaya. Awalnya saya tidak mau melaporkan hal ini kepada polisi. Saya sudah tahu bagaimana polisi.”
“Maaf, Nyonya….hati-hati bicara!” kata bawahanku yang sedang mengetik setiap pernyataan Suartini.
“Catat saja dulu apapun yang disampaikan Nyonya Suartini.” kataku dengan menahan keraguan laporan Suartini. Aku adalah abdi negara. Aku harus mencatat setiap laporan yang diajukan oleh masyarakat. “Maaf, Nyonya…katakan saja apa yang ingin dilaporkan!”
“Pak, saya awalnya tidak percaya akan kehilangan sendok makan terus menerus. Saya sudah pusing memikirkannya sendiri.”
“Memangnya, di rumah dengan siapa Nyonya tinggal?” tanyaku untuk melengkapi laporan.
“Saya tinggal dengan suami, dua anak, yang satu sudah SD kelas 2, yang satunya lagi sudah kelas 4 SD. Oh, aku tinggal juga dengan seorang mertua itu sudah kukatakan, dan sesekali datang orang yang membantuku untuk mencuci, dia datang dua atau tiga kali dalam seminggu.” jawabnya tanpa henti. Perempuan selalu begitu, cerewetnya sama dengan istriku. Walau istriku agak lebih kurus dan lebih cantik, cerewetnya sama. Satu pertanyaan dijawab dengan panjang lebar.
“Apa ada yang Nyonya curigai?”
“Kalau saya curiga kepada mereka, saya tidak akan melaporkan hal ini kepada Bapak. Saya pasti akan memotong tangannya.”
Aku menasihati perempuan itu agar tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum. Memotong tangan seseorang tentu akan dijerat hukum. Ah, tetapi bahkan istriku sendiri sering mengucapkan ancaman-ancaman kepadaku, walau aku penegak hukum. Aku selalu ingat ancaman-ancaman kepadaku saat bertugas keluar kota. Istriku mengancam akan memotong kakiku, mencungkil mataku, memukul kepalaku, menggorok leherku, bahkan memotong alat kelaminku. Aku tahu itu hanya kecemburuan seorang istri kepada suaminya.
Aku adalah penegak hukum, tidak mungkin aku menyakiti atau melaporkan istriku sendiri hanya karena aku diancam. Aku tahu istriku sangat mencintaiku. Kecemburuannya sangat beralasan saat ada berita di televisi atau koran bahwa seorang anggota kepolisian kepergok di kamar hotel dengan wanita idaman lain. Aku juga memahami ketakutan istriku karena banyak polisi dililit utang gara-gara terlibat judi. Bahkan, teman akrabku sendiri yang bertugas sebagai polantas digugat cerai istrinya gara-gara terlibat narkoba dan perdagangan perempuan. Jadi, jika istriku sering mengancamku, aku tidak akan melaporkannya ke polisi. Selama ini aku telah meyakinkan istriku bahwa aku penegak hukum.
Sama seperti memperlakukan istriku, kuminta juga bawahanku untuk tidak menulis ancaman Suartini.
“Nyonya, apakah suami Anda sudah tahu kehilangan ini?”
“Ya, dia tahu. Saya mengadu kepadanya tentang sendok-sendok yang hilang.”
“Lalu bagaimana tanggapan suami Anda?”
“Dia tidak pernah punya waktu untuk pengaduan. Dia sangat sibuk. Dia pergi jam enam pagi. Dia bekerja sepanjang hari. Ketika petang dia datang dan tidak mau diganggu. Dia capek ngitung uang. Oh ya, Bapak belum tanya apa pekerjaan suami saya.”
“Ya, benar. Di mana suami Anda bekerja?”
“Di bank.”
“Oh…jadi suami Nyonya tidak menanggapi kehilangan itu?” tanyaku.
“Dia tidak peduli sama Anda?” lanjut bawahanku sebelum Suartini sempat menjawab.
“ Eh….Pak. Jangan salah. Walau dia kelihatannya cuek, dia sangat sayang kepada saya. Setiap saya mengeluh, suami saya pasti memenuhi segala keinginan saya. Apapun yang saya minta.”
“Kalau begitu, minta saja apa yang hilang sekarang. Jangan dilaporkan.” bawahanku menasihati Suartini, tetapi aku menghentikannya karena aku penegak hukum.
“Tuan, polisi yang sangat saya hormati…saya ingin mengetahui siapa pencuri sendok-sendok saya. Kalau mau beli tentu saya bisa membeli.”
“Maaf, Nyonya… Itu bagian dari penyidikan.” kataku untuk melindungi bawahanku. Bagaimanapun juga aku memang harus mengumpulkan banyak pernyataan yang bisa menguatkan perkataan Suartini.
Suartini pasrah. Aku mengusut suaminya yang menyayanginya, membelikan rumah beserta taman yang indah. Perabot rumah tangga yang selalu diganti tiap tahun. Sebagai seorang pegawai bank, mestinya dia memahami ekonomi. Tidak baik menyayangi istri dengan memenuhi segala kebutuhan material. Itu akan membuatnya kesulitan. Kemewahan yang diberikan oleh suaminya, akan menjadi pertanyaan yang menyulitkan pada masa sekarang. Suaminya bisa saja diselidiki apakah dia korupsi atau punya usaha lain atau warisan yang membuatnya selalu hidup mewah. Ah, apa guna aku mempertanyakan kemewahan itu?
Mungkin sebagai laki-laki, aku tidak semujur suami Suartini yang bisa memberikan apapun yang diinginkan istriku. Kemewahan, kemegahan, dan kekayaan tidak pernah kuberikan kepada istriku. Istriku selalu mempertanyakan rasa cintaku kepadanya. Selayaknya anggota polisi lainnya, selalu bisa memanjakan istrinya, menyuruh istrinya berhenti bekerja dan hanya menunggui anak-anaknya. Sungguh berbeda denganku, aku tidak meminta istriku berhenti bekerja sebagai penjarit baju. Itu kulakukan karena istriku menyukai pekerjaan itu dan beguna juga untuk menambah penghasilan tambahan. Sambil menjarit baju, istriku bisa mengawasi rumah, bisa menjaga anak-anak, dan terutama mendidik anak-anakku.
“Pak, jangan tanya lagi….saya sudah bilang, gaji suami saya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami, jadi untuk apa saya bekerja?” jawab Suartini saat kutanya kemana ia setiap hari.
“Jadi, Nyonya tidak pernah keluar rumah?”
“Benar.” perempuan itu mengipas-ngipaskan koran yang diambilnya dari menjaku.
“Jadi, mengapa bisa sendok makan Nyonya hilang? Memangnya apa saja yang Nyonya lakukan sampai tidak bisa menjaga sendok makan?” tanya bawahanku sambil mengetik.
“Bapak, lihatlah tukang ketik Bapak. Betapa kurang ajar dia! Apa perlu saya jelaskan sampai ke hal-hal yang kecil.”
“Maaf, kami harus melengkapi laporan Nyonya.”
Benarlah Suartini menjadi perempuan yang sangat gendut. Melihatnya, sama sekali aku tidak tertarik. Dia melebihi montok. Pipinya terlalu banyak lemak. Kulitnya banyak selulit. Pantas saja suaminya tidak pernah peduli dengannya dan lebih memilih menyayanginya dengan kemewahan.
“Sudah jelas bahwa saya kehilangan dan polisi harus membantu saya untuk menemukan pencurinya.” katanya sambil mendelikan mata tetapi dengan suara berat.
Aku adalah penegak hukum, pastilah akan membantunya. Aku harus mengumpulkan informasi yang mengarah ke pelakunya.
“Maaf, Nyonya, mari kita lanjutkan lagi. Apakah ibu pernah bertanya ke mertua tentang sendok makan?”
“Pernah. Dia tidak pernah makan menggunakan sendok makan. Dia hanya menggunakan jari-jarinya untuk makan. Jadi, menurut saya dia bukan pelakunya.”
“Ya, mungkin saja. Tapi bagaimana tanggapan mertua ibu ketika ditanya?”
“Dia bilang pasti ada yang mencuri sendoknya dan kami tidak tahu. Mungkin rumah kami terlalu luas sehingga kami berdua tidak bisa mengawasinya sepanjang hari.”
“Itu kata Nyonya apa kata mertua Nyonya?” jawabku memastikan.
“Sebenarnya itu pernyataanku. Maaf, aku benar-benar malu dengan pernyataan mertuaku. Masak dia bilang sendok-sendok itu dimakan tikus. Setiap malam terdengar suara tikus mengunyah sendok. Itu tentu tidak masuk akal.”
Mungkin saja benar kata mertua Suartini. Di dunia modern, makhluk-makhluk diciptakan untuk menunjukkan matangnya teknologi. Bisa saja tikus-tikus itu buatan manusia. Bekerja tengah malam saat orang-orang tertidur, tanpa meninggalkan jejak bekas gigitannya. Bisa saja. Tidak! Itu tidak benar.
Aku penegak hukum. Aku tidak boleh berpikir aneh-aneh dan aku harus mengumpulkan bukti yang benar-benar meyakinkan. Tikus mana yang harus ditangkap kalaupun benar tikus memang pelakunya? Tentu aku akan menjadi bahan tertawaan, sebab terlalu banyak tikus. Ada tikus yang tubuhnya kecil dengan ekor pendek. Ada tikus bertubuh besar dengan bulu yang sudah rontok. Ada tikus yang suka di got sehingga sulit dikenali karena tubuhnya dipenuhi lumpur. Dan apakah menangkap tikus menjadi tugas polisi?
“Nah, Bapak tidak percaya kan? Saya juga tidak percaya. Manalah ada tikus makan sendok?”
“Maaf, Nyonya, biarkan saya mengumpulkan laporan dengan cermat. Coba ceritakan apalagi yang dikatakan mertua Anda!”
“Oh, jadi Bapak percaya bahwa ada tikus makan sendok di rumah kami?”
Aku diam, dalam benakku memang tidak mungkin. Namun, aku seorang penegak hukum. Aku tidak bisa menyembunyikan pernyataan sekecil apapun itu. Bila tidak berarti, itu tidak masalah. Bagiku, data harus lengkap barulah kita bisa menangkap seseorang dan memeriksanya. Seorang polisi juga harus punya insting untuk mencium keberadaan pencuri sendok makan itu. Namun, apa yang bisa kulakukan?
Perempuan di depanku, Suartini tidak pernah berpikir bahwa mertuanya yang mencuri sendok makan. Mertuanya sudah tua dan tidak makan dengan sendok. Tidak punya sanak saudara lainnya di Bali yang bisa dihadiahi oleh-oleh sendok makan. Anak perempuannya yang menikah ke Solo sudah mapan, jadi tidak mungkin mengambil dia memmengambil sendok untuk anak sulungnya. Anak keduanya menikah di Jakarta di sebuah rumah makan, jelaslah tidak memerlukan sendok makan untuk majikannya. Rumah makan tempatnya bekerja sudah banyak menggunakan sendok-sendok mahal, lalu apa di rumahnya tidak punya sendok makan? Pasti punya. Jadi, tuduhan yang mengarah ke mertuanya tidak ada alasannya.
Satu orang yang datang dua kali atau tiga kali dalam seminggu adalah pencuci baju di rumah Suartini yang besar. Orang ini perlu dicurigai. Apalagi tubuhnya kurus yang menandakan kurang makan. Rumahnya juga sangat kecil, memiliki empat orang anak yang usianya berdekatan. Suaminya tidak bekerja tetap. Hanya sesekali suaminya pergi menjadi buruh pengangkut pasir. Untuk makan dengan jumlah anggota yang sangat banyak, pastilah memerlukan uang yang banyak. Dia bisa saja mencuri sendok lalu menjualnya dengan harga murah saat pulang menuju ke rumahnya. Aku sangat yakin pencuci baju itu pelakunya.
“Tidak! Tidak mungkin. Bukan dia.” kata Suartini.
“Nyonya, mengapa tidak mungkin?”
“Dia sudah bekerja sejak saya masih muda. Dia pernah bekerja di rumah ibu saya. Lalu, karena kejujurannya, dia minta ikut ke sini bersama keluarganya. Suamiku memberinya uang kontrakan pertama di sebuah rumah kecil. Kami sangat baik kepadanya.”
“Maaf, Nyonya…kadang-kadang kebaikan tidak selalu berbalas. Banyak kasus terjadi seperti itu. Majikan yang baik, pembantunya jahat dan menipu. Kasus seperti ini sangat sering terjadi di daerah ini. Coba ingat-ingat dulu, hal-hal yang mencurigakan tentang pencuci baju itu!”
“Tidak. Walaupun dia miskin, dia tidak pernah mencuri sedikit pun di rumah saya.”
“Baiklah. Kita lanjutkan penyidikan. Setiap ada pencurian, apa ada orang yang datang ke rumah selain orang-orang yang sudah tadi Anda sebutkan, Nyonya?”
“Tidak. Tidak ada siapapun yang datang ke rumah. Pintu gerbang rumah kami sangat tertutup. Bahkan hewan-hewan padang rumput di Tandor tidak akan datang. Kami juga adalah keluarga pendatang yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat. Maaf, saya kesulitan bergaul dengan masyarakat. Saya memiliki trauma yang berlebihan. Setiap ada orang kumal, dengan handuk dekil yang digulung di kepala, saya ketakutan. Saya berpikir dia punya ilmu hitam yang akan membuat sakit yang aneh-aneh pada tubuh saya.”
Di rumah semegah yang digambarkan Suartini, dia tidak punya pengaman lingkungan rumah, rumahnya juga tidak dilengkapi CCTV. Walaupun orang luar tidak bisa masuk ke rumahnya, bisa saja mereka mencuri sendok pada malam hari dan mengendap-endap.
“Baiklah….kami sudah catat laporan Nyonya, kami akan menyelidikinya.” kataku sambil bersalaman dengan Suartini. Betapa keras tangannya. Keringat di tangannya sangat menjijikkan. Aku tidak bisa melupakan pernah bersalaman dengannya. Itu membuatku selalu berdoa agar tidak bertemu dia lagi. Ah, tetapi selama kasus ini belum terungkap, dia akan selalu datang dan mempertanyakan kinerja kepolisian. Aku adalah lulusan terbaik, tidak akan mengabaikan setiap laporan.
***
Aku penegak hukum. Aku mengintai selama sebulan rumah Suartini tetapi tidak ada orang yang mencurigakan keluar masuk rumahnya. Pagi, siang, dan malam bawahanku mengintai rumahnya. Tidak ada pencuri yang masuk dengan mengendap-endap. Tidak ada asap yang mengepul sebagai media untuk menghilang dan muncul lagi seperti kedatanan jin atau setan. Rumah Suartini begitu damai, hanya ada tawa anak-anaknya saat mereka sudah pulang sekolah. Suaminya selalu bekerja dan tidak ada keanehan. Namun, tetap saja Suartini melaporkan kehilangan sendok.
Aku polisi, bertugas sebagai abdi negara yang harus menegakkan hukum. Sebulan tidak berhasil kutemukan pencurinya, akan kutambah lagi penjagaan secara sembunyi-sembunyi. Aku tidak mau nama baikku tercemar hanya karena pencuri sendok. Aku menjadi biasa keluar masuk rumah Suartini. Aku bahkan merasa bahwa keluarganya seperti keluargaku sendiri. Mertua Suartini memang sangat ramah, baik, walau kadang-kadang memiliki cerita yang aneh-aneh tentang sendok makan.
“Berhentilah datang ke rumahku! Sendok-sendok itu sudah hilang, mau diapakan lagi?” kata suami Suartini.
“Tuan, kami sudah melakukan pengintaian selama sebulan, tetapi walaupun begitu kami tidak akan menyerah. Beri kami waktu, Tuan!”
“Sudah! Cukup!”
“Tuan, kami tahu bahwa kami bekerja agak lambat, tetapi kami tidak ingin gegabah.” Aku mencoba menjelaskan kepada suami Suartini. Tetapi dia sangat marah kepadaku. Sebagai penegak hukum, aku tidak akan mudah menyerah sebelum berhasil menangkap orang yang membuat kekacauan. Aku sebenarnya malu karena tidak mampu menangkap pencuri sendok itu.
“Cukup! Hentikan penyelidikan ini! Kalian tidak perlu mencari lagi, karena pelakunya ada di tempat ini.”
Kami berpandang-pandangan penuh tanya. Siapa di antara kami yang mencuri sendok. Suartini menunjukkan wajah penasaran dengan menyingsingkan baju dasternya ke atas. Ah, apa yang ingin dilakukannya? Dia pikir dengan menunjukkan pahanya dia akan berhasil membuat orang mengaku. Mertua Suartini mengambil sapu lidi dan bawang merah yang ditusukkan di ujung sapu lidi. Menurutnya,  sapu itu akan mampu menunjukkan roh jahat yang telah mengacaukan kedamaian rumah anak laki satu-satunya.
“Aku! Aku lah yang mencuri sendok makan di rumah ini!”
“Mengapa? Bukanya kamu yang selalu membelikan sendok makan kepadaku? Lalu mengapa mengambilnya kembali?” kata Suartini mendekati suaminya.
“Karena aku sayang kamu. Aku tidak bisa membelikan apa-apa lagi. Aku begitu menikmati pencurian itu. dan aku merasa bangga ketika kau bahagia karena sendokmu kembali lagi.”
Apa yang bisa kulakukan? Apakah aku harus menegakkan hukum? Aku adalah polisi lulusan terbaik pada angkatanku. Tetapi aku tidak bisa menghukum suami Suartini. Motif yang menyebabkannya melakukan kejahatan hanya karena cinta dan rasa sayangnya kepada Suartini. Lagi, pula dia sudah dimaafkan oleh istrinya, jadi biarlah kasus ini kututup walaupun aku tidak akan mendapat keharuman nama lagi.
Oleh Luh Arik Sariadi
Jangan Terlalu Diributkan

Sarining  duduk menghitung uang. Sarining  pilah uang sesuai dengan nilainya dan dirapikan sesuai dengan gambarnya. Uang sepuluh ribu lebih awal dikumpulkan dengan posisi kepala pahlawan yang sama. Dihitung jumlahnya masih terlalu sedikit untuk membeli rumah. Besok Sarining  harus bangun pagi lagi untuk mengumpulkan uang.
***
Perjalanan Sarining sebagai pedagang parfum sering kali dianggap bukan pekerjaan oleh mertuanya. Pagi hari setelah memasak dan menyiapkan bekal kerja untuk suaminya, Sarining langsung memakai pakaian rapi dan bersolek agar terlihat lebih cantik. Langkah kakinya ke luar rumah mungkin sudah diintai oleh Samiasih, mertuanya. Maka setelah Sarining pergi, mertuanya pun bergegas ke rumah tetangga untuk menceritakan ketidaknyamanan hubungan mereka, menantu dan mertua.
Lima tahun setelah menikah, Sarining hanya mampu memberi dua orang putri kepada suaminya. Rumah mereka menjadi sangat ramai dengan gelak tawa anak keduanya. Sesekali Andini, anak pertamanya bertingkah seolah-olah dia telah dewasa untuk mengurus Misani, anak kedua Sarining. Sarining mempercayakan kedua anaknya kepada mertua. Karena itulah, Sarining menjadi topik pembicaraan di setiap rumah warga.
“Saya seperti tidak punya menantu. Punya anak laki-laki satu, eh malah menikah dengan wanita jalang itu!” kata mertua Sarining menurut kata tetangga. Sarining sudah terbiasa mendengar laporan dan cerita tetangga. Sayangnya, ia tidak mudah percaya kalau bukan mertuanya sendiri yang mengatakan. Bukankah saat ia menikah, mertuanya turut hadir dan tampak bahagia dengan pernikahannya. Jadi, masa bodoh saja ia terhadap kata-kata mereka.
Lagi pula, memang benar seperti kata tetangga bahwa Sarining selalu pergi saat suaminya tidak di rumah. Dandanannya menor, dengan lipstik dan rambut lurus terurai lepas. Sebagaimana layaknya penjaja dagangan, penampilan adalah hal yang sangat utama. Sarining juga memakai parfum yang sangat menyengat dan menebar pesona ke seluruh jalan yang dilaluinya. Namun, hanya karena itukah ia harus dibenci oleh mertuanya?
“Sarining berhias menor tidak tahu apa pekerjaannya. Ibu tidak pernah tahu apa pekerjaannya. Entah dia punya banyak uang atau tidak, ibu tidak tahu. Kalau dia punya uang banyak, mestinya dia sudah beli rumah dan tidak numpang lagi di sini.” kata mertuaku, sayangnya menurut tetangaku.
Menurut Sarining, rumah tangga sebaiknya tidak terpengaruh oleh kata-kata orang lain. Rumah tangga itu seperti perahu yang entah menyeberang ke pulau mana. Perahu akan terbawa ombak dan mencari pulau terindah yang diinginkan penumpangnya. Seberapa bisa dikayuh dayungnya menuju lautan, maka sebesar ombak pula permasalahan yang ada dan sedalam lautan pun ilmu ketenangan harus dipakai untuk mempertahankan hubungan itu.
“Sarining, kamu tahu kalau ibu mertuamu sangat kesal terhadapmu?” kata tetangga Sarining saat ia pulang dari berjualan. Ia lama berpikir. Apa yang telah membuat mertuanya kesal? Jangan-jangan ini hanya gosip yang ingin memecah belah kerukunan antara mertua dan menantu. Ini biasa terjadi di desa.
“Sarining, jangan diam saja! Tahu tidak kalau mertuamu sangat membencimu? Ah, kamu pasti berpikir untuk menyembunyikan permasalahan di antara kalian.” terus saja ibu Soma memojokkan Sarining dan mungkin berharap agar Sarining semakin kesal.
“Tidak tahu.” jawab Sarining datar. Dia penuh harapan agar kekesalan mertuanya benar-benar nyata. Apa yang dikatakan tetangga sebaiknya ditemukan pula pada wajah dan gerak-gerik mertuanya. Barulah ia akan bisa menjawab pertanyaan para tetangga.
“Sarining, mertuamu sudah keterlaluan. Dia menjelekkanmu hampir kepada semua orang di desa ini. Apakah kamu tidak merasakan kemarahannya?”
“Mengapa dia kesal? Saya tidak tahu.” kata Sarining dengan senyum agar yang diajak bicara merasa bahagia dengan informasi yang diberikan. Apalagi yang bisa dikatakan? Para tetangga selalu bercerita bahwa mertuanya sangat teramat benci kepadanya.
“Sarining, mertuamu kesal karena kamu pergi pagi pulang teramat sore, tapi sampai sekarang kamu belum pergi dari rumah mertuamu.”
“Oh, begitu.” Dijawab sederhana dan mungkin jawaban itu akan sangat menyakiti para penggosip. Ia yakin bahwa bukan itu penyebab mertuanya marah. Sarining tidak percaya kepada siapapun, kecuali mertuanya benar-benar marah dan menjerit kepadanya.
Rumah adalah surga bagi setiap orang. Rumah yang ditempati Sarining adalah hasil kerja keras mertuanya. Dengan berdagang kertas di pasar, mereka bisa membangun rumah dengan 4 kamar. Rumahnya sejuk. Di halaman tumbuh tinggi pohon mangga yang lebih tinggi dari atap. Bunga-bunga bermekaran di depan rumah saat musim kemarau. Kedua anak Sarining selalu menghabiskan waktu di halaman rumah. Seperti kakek dan neneknya, mereka tampak memiliki bakat berdagang, sepanjang hari mereka habiskan untuk menjadi pedagang dan pembeli. Mertua Sarining sangat sabar menghadapi kedua anak itu.
Tidak ada keluhan dari kedua putrinya tentang nenek atau kakeknya. Mereka berdua hanya menceritkan beberapa kelucuan kakeknya yang ompong dan agak susah bicara.
“Ibu, tahu tidak didi nenek tadi lepas saat tertawa.” kata Andini bercerita kepada Sarining.
“Memangnya mengapa kalian tertawa?” tanya Sarining.
“Itu, kakek menyanyi. Suaranya tidak keluar. Lidahnya begitu sulit digerakkan.” dengan suara cadel putri keduanya memberi jawaban.
“Oh, tapi kalian tidak boleh mengejek kakek nenek kalian. Mereka sudah tua. Kalian senang bermain dengan kakek nenek?”
“Ya, senang banget!” keduanya kompak menjawab. Lalu, diceritakan pula kakeknya yang terkena struk. Gerakan kakeknya yang terbatas di atas kursi roda membuat kedua putri Sarining merasa kasihan dan mengingatkan Sarining untuk selalu menjaga ayah mertuanya. Neneknya yang suka bernyanyi dan mengajari kedua putrinya juga sering diceritakan oleh anak sulungnya. Walau Sarining hanya sempat bercerita sebentar saja dengan anak-anaknya, dia tahu betapa penting mertuanya di mata kedua anaknya. Mereka berdua sangat berbahagia. Mereka juga makan dengan teratur. Tinggi badan mereka sesuai dengan anak-anak seumurnya. Apalagi yang perlu diragukan Sarining?
Sarining berusaha menyatukan satu persatu gosip yang didengar. Para tetangga mengatakan bahwa dirinya tidak sanggup membeli rumah karena penghasilannya terlalu sedikit. Sarining hanya penjual parfum keliling. Setiap rumah yang disinggahi selalu memiliki cerita tentang rumah tangga. Setiap ia memasuki rumah orang, ada saja yang mencurahkan hati untuk sekadar meringankan perasaan mereka tentang mertua, suami, atau anak mereka. Maka ketika para tetangga menyampaikan keluhan tentang mertuanya, dianggap saja sebagai cerita rumah tangga yang tidak perlu diulas kembali di rumahnya.
***
Sarining datang lebih awal dari suaminya. Hari ini ia merasa lebih lelah dari hari-hari sebelumnya. Anak-anaknya masih di kamar lain bersama nenek dan kakeknya. Sarining menghitung uang dan memilahnya berdasarkan catatan yang dimiliki. Ternyata, uang yang dimiliki masih terlalu sedikit untuk membeli rumah, bahkan untuk membayar uang muka rumah bersubsidi.
“Ning, tadi aku berhenti di warung depan. Bu Made bertanya ada masalah apa antara kamu dengan ibu?” tanya suaminya dari pintu yang menganga. Betapa terkejut Sarining mendapati suaminya telah datang dan ia tidak menyadari kedatangan suaminya. Sarining bergegas meletakkan uangnya di atas meja, lalu membuatkan kopi untuk suaminya.
Sarining merasa aneh karena suaminya pun bertanya seperti itu. Sarining merasa permasalahan itu semakin berat. Sarining mencoba menenangkan diri dan berharap tidak ada permasalahan yang antara mereka di rumah itu. Sarining sangat yakin tidak ada permasalahan antara dirinya dan mertuanya. Sarining tidak pernah merasa pernah membentak mertuanya. Ia juga tidak pernah mengeluhkan pola didik anaknya kepada mertuanya. Pola asuhnya sangat baik karena kedua putrinya telah tumbuh menjadi anak-anak yang santun. Tutur kata mereka sangat halus. Sarining sangat percaya tidak ada masalah apapun antara dia dengan mertuanya.
“Tidak ada.” jawab Sarining kepada suaminya yang sedang meneguk kopi.
“Jujur saja! Apa salah ibuku hingga begitu kejam kamu terhadap ibuku?”
“Apa maksudmu? Aku tidak pernah membenci kedua orangtuamu. Coba jelaskan mengapa aku harus punya masalah dengan ibumu?” Sarining melempar pertanyaan yang selama ini ditanyakan para tetangga dan disimpan baik-baik demi ketenangan rumah yang ditempati. Sarining menumpahkan semua kegelisahannya kepada suaminya. Sudah sejak bertahun-tahun dirinya mendapat pertanyaan dari tetangga dan itu tidak perlu diributkan.
“Aku tahu belum bisa membelikanmu rumah. Bahkan, aku tidak mengangsurkanmu rumah bersubsidi. Kamu tahu bukan, pekerjaanku sebagai kuli bangunan tidak cukup untuk disisihkan. Kamu sendiri bekerja tidak jelas dan aku tidak pernah mempermasalahkannya. Semua tetangga bertanya-tanya tentang pekerjaamu.”
“Lalu, apa kamu jawab?”
Suaminya telah menjelaskan dengan baik sebagaimana ia sebagai suami yang menghormati istrinya. Pekerjaannya hanya seorang penjual parfum keliling. Kepada tetangga telah dijelaskan kehidupan kami tidak ada permasalahan yang diributkan hingga kami saling membenci. Sarining sangat bahagia tinggal di rumah mertuanya. Dia bahagia melihat kedua putrinya tumbuh sehat di rumah itu. Sarining juga tidak pernah meminta untuk dibelikan rumah. Namun, kata-kata suaminya benar-benar membuatnya marah dan kesal, tapi dia tidak tahu kepada siapa dia marah.
“Kamu berjanji akan sehidup semati dan mampu hidup denganku. Ketika bunga yang kita pegang berdua dilempar ke langit, kau begitu yakin akan selalu bersamaku. Kau pun telah mempertimbangkan bahwa aku anak tunggal dan tidak mungkin berpisah dari kedua orangtuaku. Lantas, mengapa setiap rumah kau ceritai bahwa kita tidak mampu membeli rumah?” kata suaminya dengan tatapan yang penuh amarah.
Walau ucapannya tidak berteriak, dia tahu benar bahwa suaminya sangat marah. Sarining berusaha menyatukan setiap gosip yang didengar dari para tentangga. Tetangga sering mengatakan bahwa ia tidak membeli rumah karena penghasilannya tidak cukup. Itu benar. Sarining hanya heran mengapa suaminya ikut marah jika dirinya tidak punya uang untuk membeli rumah.  “Kalau kamu bosan denganku, pergi saja dari rumah ini!” kata suaminya yang membuat Sarining tersudut.
Dia baru sadar bahwa permasalahan di dalam rumah ini sudah semakin berat. Namun, dia tidak terlalu ribut. Dibiarkan suaminya marah. Sarining ingin tahu apa yang ada di hati suaminya. Siapa yang menebar gosip bahwa dirinya ingin dibelikan rumah. Siapa yang mengatakan dirinya ingin pergi dan berpisah dengan mertuanya. Ia hanya ingin mengumpulkan uang untuk membeli rumah sebagai investasi di masa tuanya. Dia ingin memiliki kos-kosan agar suatu hari nanti ketika dia tua, dia tidak berkeliling sepanjang jalan. Bahkan sudah terpikir olehnya tidak mungkin ketika ia tua ada yang mau membeli parfum. Apalagi telah dilihatnya kedua orangtuanya dalam keadaaan yang tidak baik. Ayah suaminya hanya berada di kursi roda, syukurlah ibu mertuanya merawat kedua anaknya sambil menjaga suaminya yang tidak berdaya. Dipikirkan oleh Sarining, hari tuanya nanti seperti apa?
Diambil kembali uang hasil penjualan parfumnya. Uang itu dibolak-balik sambil menunggu apalagi yang dikatakan suaminya. Sesekali ditatap suaminya yang sedang kesal. Dia tahu bahwa suaminya sangat menyayangi kedua orangtuanya. Namun, suaminya mungkin lupa bahwa kadang-kadang ibunya sering pikun karena beban hidupnya. Anaknya pernah bercerita bahwa neneknya sering berbicara tidak jelas dan menyanyi sangat keras. Suaminya mungkin lupa bahwa ibunya sering menceritakan ketakutannya kehilangan anak. Mungkin saja karena ketakutan itu telah menyusup dalam pikirannya, lalu ia selalu bercerita kepada para tetangga tentang keinginanku membeli rumah.
“Jangan terlalu diributkan. Aku tidak sedikitpun punya masalah dengan ibu. Walaupun kita punya rumah lagi, kita akan tetap tinggal di rumah ini.” kata Sarining sambil memastikan uangnya telah rapi sesuai gambar dan nilainya.
Oleh Luh Arik Sariadi