Jumat, 03 September 2010

Kota Senyum



Oleh Luh Arik Sariadi

Sari, kuperkenalkan namaku kepada setiap senyum bahagia. Hari Selasa, seorang laki-laki datang ke rumahku. Ia dari kota, kota Senyum. Lelaki bermata tajam datang dari kota itu hendak mencari pengantinnya di desa yang kering ini. Desaku sangat kering hingga setiap bunga yang berhasil melewati musim kemarau tumbuh dengan bunga beraneka nama dan beribu kumbang berebut mengisap madunya. Hanya angin yang tiba-tiba menyelamatkan bunga dari kumbang sebab madu telah tumbuh menjadi biji dan jatuh ke tanah. Yang jatuh itu akan bahagia karena tumbuh lagi. Namun yang terhisap sebelum pembuahan, madunya telah hilang. Manisnya telah lenyap. Hanya tubuhlah yang tampak memberinya semangat bertahan melewati musim. Dan, akulah kembang itu, terhisap saat malam menyergap lalat-lalat. Esoknya, jejak-jejak lalat itu tak habis terhapus selama dua, tiga, bahkan belasan cuaca yang telah mengubah kota Senyum menjadi sebuah dongeng.
”Kota Senyum, pasir putih dan ombak yang teguh membanting angin,” kata Tut De. Saat aku memperkenalkan diri, ia banyak bercerita tentang kota itu. Ia pernah berjanji akan mengantarku melihat kotanya. Tidak ada dermaga, tetapi banyak orang berlabuh di kota itu. Tidak ada perahu di pantai kota itu, tetapi banyak kelompok masyarakat mengail uang di sana. Tidak ada sampan yang terikat di pohon-pohon tua, tetapi sepasang kekasih sering bertekad menerjang laut menuju impian. Tidak ada ruang kosong di pasir-pasir, tetapi pantai itu telah jadi rumah bagi jiwa-jiwa yang bebas. Berbagai senyum yang terjerat air laut pasang menyatu di tepi-tepi gelap, dan teriaknya membuat kota itu lebih dikenal sebagai kota senyum, entahlah.
Di kota itu, bocah-bocah kecil tak perlu menadahkan tangannya untuk mendapatkan uang dari orang yang punya rezeki lebih. Bocah-bocah kecil boleh bertugas sebagai sebuah strobery pada segelas juss. Mereka boleh berlarian menghamburkan pasir di kota itu.
Kota Senyum menyediakan berbagai merk minuman dari berbagai negeri. Tut De terus bercerita tentang kota kelahirannya. Ia sangat fanatik terhadap softdrink. Hanya satu perusahaan yang dipercayai menghasilkan minuman yang membasuh bibir tebalnya. Itu semata-mata karena ayahnya bekerja di perusahaan itu. Bukan, karena ia mencintai produk dalam negeri atau ingin mengikuti anjuran iklan di televisi yang dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Agnes Monica atau Luna Maya. Hah, dia pastinya seorang yang fanatik!
”Kalung-kalung yang dijual di kota itu adalah kalung-kalung yang bisa memberi faedah. Bisa membuat orang sukses. Aura setiap pemakainya akan terpancar binal. Kamu boleh membeli kalung yang terbuat dari karang-karang, nanti aku yang bayar,” katanya pelan sembari mengenduskan hidung saat kusuguhkan secangkir kopi. Aku belum menjawab tawarannya, belum bilang bersedia ikut ke kotanya atau tidak, tidak menganggukkan kepala saat ditawari cerita kalung.
”Wangi farfum yang melekat di tubuhmu, serupa serpihan angin tatkala para dewi mencuci rambut di telaga di kotaku,” bisiknya menggoda aku yang sedang berpikir dan menimbang-nimbang tawarannya.
***
Ia mengatakan diriku seperti bayi, bahkan berkali-kali menyebutku bayi. Katanya itu panggilan sayang untukku. ”Yi...Yi...” Memangnya mengapa bayi itu? Kami tidak bersahabat lagi. Tut De lebih memilih menghinaku lewat SMS. Kalau kami bertemu, Tut De selalu berbicara yang indah-indah. Ia sangat cerdas. Ia tahu semua lorong di kota Senyum. Dengan lesung pipinya, aku tidak pernah menamparnya meski ia selalu mengucapkan kata-kata aneh di SMS atau surat. Saat bertemu, aku selalu suka ucapannya. Manis! Namun, aku tidak boleh tergoda lagi.
Sekali lagi aku mengatakan dalam hatiku bahwa aku tidak suka disebut bayi. Aku seorang sarjana. Aku punya banyak relasi. Aku bekerja dengan tanggung jawab. Aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan sangat cepat dan tepat. Jika atasanku menugaskan aku untuk melakukan penelitian di kelas yang aku ajar, aku bisa menyelesaikannya. Berkali-kali aku telah memperoleh juara menulis penelitian tindakan kelas sehingga mampu mengharumkan nama sekolah tempatku bekerja. Aku telah pula mengantarkan siswa-siswaku dalam olimpiade-olimpiade dan mereka selalu mendapat juara, meski tidak selalu mendapat juara I. Waktu ada sertifikasi guru honor, aku mendapat nilai yang paling besar. Fortofolio yang aku kumpulkan dengan sungguh-sungguh tidak diragukan lagi. Semua sertifikat dan piagam penghargaan aku dapatkan dengan kerja keras. Penilai, satupun tidak membubuhkan kata ”palsu” pada fortofolioku. Semuanya asli! Jadi, apa aku bayi?
Makanya aku tidak mengerti mengapa Tut De selalu menatapku sebagai bayi. Kata bayi diucapkan sambil tertawa sangat menyesakkan bagiku. Dan, aku memilih berpisah darinya meski hanya pisah ranjang. Di ranjang yang berbeda pada rumah yang sama, kami selalu SMS-an. Tak pernah ada dialog langsung. Hubungan kami renggang.
Setiap malam, setelah ia datang dari pekerjaannya mengejar target berita, ia tidak pernah lupa kirim SMS tentang kota Senyum, kota kelahirannya yang sempurna. Aku selalu tertarik dengan kota Senyum karena semenjak menikah dengannya, sekalipun aku tidak pernah diajak berkunjung ke kota itu.
Kami berdebat tentang kota Senyum dan selalu berakhir dengan amarah. Aku tidak suka ia menceritakan kota itu lagi karena kota itu seperti imajinasi saja.
Aku punya niat bertanya tentang kota Senyum ke setiap orang di kantorku. Karena aku hanya ingin mengecek keberadaan kota itu, aku betul-betul berlaga bodoh kepada orang-orang.
”Pak Gusti, kota Senyum itu seperti apa?” tanyaku kepada soulmate-ku. Paling tidak dialah orang yang paling dekat denganku untuk sementara. Aku percaya ia akan memberiku jawaban yang sebenarnya dan pasti sangat lengkap. Pak Gusti, sering membantuku dalam menyelesaikan tugas-tugasku di sekolah. Barangkali karena usianya yang sangat besar, ia tahu banyak hal. Pengalamannya banyak. Ia sering dikirim ke kota metropolitan untuk mengikuti pelatihan. Putra sulungnya juga bertugas di kepolisian. Pasti Pak Gusti mengetahui kota Senyum.
”Kota Senyum pasti mengenalku, hingga kamu tanya itu kepadaku, bukan?” tanyanya memberi jawaban atas pertanyaanku.
”Yah, saya tidak tahu, mengapa Pak tanya lagi ke saya?”
”Ha-ha, jadi tidak tahu kota itu?”
”Tidak.”
”Betul-betul tidak tahu?”
”Betul.”
“Pak hanya tahu kota itu pernah menjadi kota terlarang. Pemerintah pusat pernah melarang setiap orang yang hendak pergi ke kota itu. Pemerintah menyiarkan bahwa ada wabah di kota itu.”
”Wabah?” tanyaku heran dan betul-betul heran. Selama aku membicarakan kota itu bersama Tut De, suamiku, dia tidak pernah menceritakan bahwa kota itu pernah kena wabah. Lantas, aku bertanya-tanya mengapa Tut De tidak pernah menceritakannya. Mengapa memangnya wabah itu tidak diceritakan. Itukah sebabnya, Tut De tidak pernah membawaku ke kota Senyum?
”Pak, sekarang saya ada jam mengajar. Nanti saya bertanya lagi. Tidak keberatan kan?”
“Tentu.”
Sejak itulah, pertemuanku semakin intens dengan Pak Gusti. Kami membicarakan kota Senyum setiap ada waktu. Bahkan, Pak Gusti bersedia meluangkan waktu istirahatnya untuk menamaniku membahas kota Senyum. Seusai menjemput istrinya, ia datang ke lapangan tenis. Aku ingin tahu banyak tentang kota Senyum, makanya aku segera membeli seragam olah raga dan alat-alat tenis. Aku menunda pekerjaan sore yang bisanya aku kerjakan setelah istirahat siang. Aku bermain sedikit saja. Aku bukan olahragawan. Alasanku bermain tenis hanya ingin mengetahui kota Senyum. Nanti setelah aku tahu kota senyum, aku tidak akan berolahraga lagi.
Menjadi olahragawan sangat berat. Aku lebih suka duduk di depan laptop dan menjelajahi dunia maya. Aku tak pernah takut terkena penyakit pinggang, alat pencernaan atau penyakit-penyakit yang menyertai kebiasaan duduk lama di depan laptop. Dan, selama ini aku sangat senang dengan hidup karena aku punya dunia baru. Aku tidak perlu takut kehilangan orang-orang yang berada di dekatku. Hah, kalau saja dunia maya bisa menjelaskan keberadaan dan keadaan kota Senyum, tentu aku tidak perlu menjadi olahragawan. Aku tidak perlu mengeluh sakit pinggang atau sakit pergelangan karena memukul bola yang berat. Belakangan, aku menyesal mengapa aku membuang waktu untuk menegangkan ototku. Membuang gaji honorku untuk membeli peralatan olahraga. Dan, membiarkan aku terlibat dalam gosip-gosip yang menyakitkan.
Menurut mereka, aku perebut suami orang! Aku dijauhi oleh orang-orang yang selama ini kuajak membuat proposal untuk memperoleh dana block grant yang diperuntukkan bagi pengembangan sekolah menengah kejuruan. Kepala sekolah juga telah memperingatkanku dengan nada ancaman. Katanya ada yang melaporkan gerak-gerikku. Kepala sekolah tahu semuanya yang tidak mungkin semua benar. Karierku betul-betul diujung tanduk!
Malam-malam, saat aku bermimpi untuk kali pertama pada tidurku suatu hari, suamiku SMS.
”Sudah kau kunjungi kota Senyum itu?”
”Mana mungkin? Kau hanya punya cerita, tetapi tidak pernah mengantarku ke sana.” jawabku kepadanya dengan tanda seru lebih dari sepuluh.
”Masak?”
”Maksudmu?”
”Bukannya kamu punya lelaki tua sekarang?”
”Lelaki tua? Untuk apa?”
”Jadi, kau punya lelaki tua?”
”Siapa maksudmu?”
”Hah,” jawabnya tiga huruf.
Aku seperti seekor tupai yang dicemooh oleh senapan angin. Aku tidak mungkin menggedor pintu kamarnya malam-malam. Aku telah berjanji tidak akan menemuinya kalau belum menemukan kota Senyum itu.
”Hentikan guyonan yang mengacaukan itu!” jawabku.
”Bukannya kamu yang mengacaukan segalanya!”
”Ya? Oh, baiklah lebih baik aku tidur supaya tidak lagi mengacaukanmu!” jawabku kesal.
”Ya sudah. Mimpikan lelaki tua itu ya, Yi!”
Aku semakin tidak bisa tidur. Ia menyebutku Yi lagi. Aku benci sebutan itu. Lagi, aku memikirkan siapa lelaki tua yang dimaksud suamiku. Apakah yang dimaksud Pak Gusti? Hah, kepada siapa harus kuceritakan bahwa yang kucari dari Pak Gusti hanyalah kota Senyum. Bukan cinta atau kasih sayangnya. Untuk hal kasih dan sayang, aku tidak butuh lagi. Aku telah mendapatkannya dari dunia maya. Bahkan, aku tidak perlu lagi belaian suamiku. Aku telah kenyang dibelai oleh imaji-imaji kota Senyum.
Ah, akhirnya aku merasa perlu menjelaskan kepada suamiku. Setelah lewat tengah malam. Aku sms suamiku lagi, tetapi dengan kata-kata berkulit mauku biar dia tahu bahwa aku sangat ingin bersamanya ke kota Senyum.
”Beberapa dada mendekapku dengan nafas. Betapa kulitku ditusuk ribuan penghuni dunia. Ada cahaya, jejak yang ditinggalkan di mataku. Tidak ada bisikan kecuali tertutupnya pintu-pintu menuju ranjang pengantin.”
Esoknya, Tut De menjawab, ”Kau bahagia bukan?”
Jawaban macam apa itu. Dipikiranku ia tidak lebih dari lelaki bodoh yang tidak mengerti perasaan perempuan. Aku pikir gajinya lebih dari cukup untuk mengantarku ke kota Senyum. Hah, itu hanya impian yang siasia. Aku betul-betul diperlakukan seperti bayi.
Mbok Luh Komang, perempuan pertama dan orang kesekian yang kutanyai tentang kota Senyum. Mungkin dia lebih mengerti perasaan perempuan yang tidak pernah menyepelekan setiap hal. Namun, aku tidak bisa terlalu berharap. Meski ia perempuan, ia hanya seorang tukang cuci pakaian. Aku telah lama mengenalnya. Ia selalu datang ke rumahku untuk mencuci pakaian suamiku. Karena ia pembantu suamiku, aku tidak mau ia tahu aku. Namun, ia menyerahkan satu juta uang yang didapat dari saku pakaian suamiku. Sejak itu, aku mulai membuka diri untuknya. Barangkali ia bisa menceritakan kota Senyum.
”Mbok Luh, selama ini aku sesekali lihat kamu berbincang-bincang dengan suamiku.”
”Tidak, Bu. Saya tidak ada apa-apa dengan suami ibu. Saya hanya tukang cuci.” Katanya menghentikan ucapanku.
”Hei, aku belum selesai bicara.”
”Bu, saya punya suami yang sering mengantar saya kemari. Jangan khawatir. Lagi saya sudah monopos.”
“Ya...Tapi saya hanya ingin menanyakan satu hal. Yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu di tempat ini.”
”Apa itu?”
”Mbok Luh tahu kota Senyum?”
”Ya.”
”Jadi tahu?”
”Ya. Bu Sari memang harus sering tersenyum. Terutama kepada suami.”
”Hah, itu bukan maksudku. Yang kumaksud sebuah kota yang dihuni oleh manusia.”
”Ya.. itu maksud saya, Bu. Ibu seperti seorang bayi di sebuah kota Senyum seperti yang disebut-sebut Bapak.”
“Apa yang kamu ketahui tentang bayi dari suamiku?” Aku bertanya sangat marah. Seolah Mbok Luh Komang tahu segalanya. Aku benar-benar merasa suamiku telah membicarakanku kepada semua orang. Itu lagi-lagi penghinaan.
”Bapak sering menyebut-nyebut nama Ibu sendirian di ruang bacanya, ‘bayi manisku’ begitu katanya,” jawab Mbok Luh Komang.
“Ah, kau bohong! Dia itu sering menghinaku! Bayi! Bayi! Apa itu?”
“Bayi itu simbol. Ia sebuah realitas yang sangat terangdan jelas membawa sifat kemakhlukan dan keinsanian. Kepolosan. Ketelanjangan. Dan, keapaadaan.”
Aku merasa menjadi sangat mulia ketika Mbok Luh Komang mengatakan hal itu. Aku tidak percaya kata-katanya. Lagi pula suamiku tidak menunjukkan ia menyukaiku. Buktinya, ia tidak pernah mengantarku menuju ke kota Senyum. Dan biarlah kami berpisah karena ia pembohong.
Mbok Luh Komang meski meyakinkanku bahwa suamiku memujaku dengan menyebutku bayi, sungguh aku tidak akan terpengaruh dengan keputusanku pisah ranjang sampai ia mewujudkan impianku.
”Betul, Bu. Bapak menyebut Ibu dengan mesra, ’bayiku’ begitu berulang-ulang.”
”Bayiku! Bayiku! Bayiku!” kataku mencemooh katanya. Di dalam hatiku aku memang terbuai setelah Mbok Luh menjelaskan arti bayi. Menurutnya, bayi itu sebuah realitas, bakal keindahan, kehidupan, dan masa depan manusia. Bayi itu asasi dan paling dasar. Bayi ketakbersalahan. Seorang bayi menyimpan keutamaan manusia. Ada harapan yang bercokol menumbuhkan manusia secara asasi. Manusia tidak mungkin menjadi manusia jika tidak menyimpan harapan. Hanya itu caranya menutupi kebohongan? Dia merayuku? Kapan dia bawa aku ke kota Senyum?
”Bayi itu benih harapan.” katanya, eh maksudku kata temanku yang cerdas, eh kata kekasihku yang selalu menemaniku sepanjang hari di kamar yang gelap, kota senyum yang tidak terkira indahnya.

Sukasada, Juni 2009