Minggu, 22 Agustus 2010

Batu Kecilku di Culik



Sebutir batu kecil menggelinding ke tanah kering waktu perjalanku belum usai. Tak ada yang bisa kuingat hari ini, kecuali kerinduanku kepadamu. Menghilang dalam perjalananku, kau pun hanya menghentakkan suara kecil. Entah suara pecah atau suara kegirangan. Barangkali aku terlalu angkuh untuk mengatakan bahwa pendengaranku telah kembali. Aku sangat menyesal kali kau pergi. Kepadamu, kusampaikan agar kau kembali sebelum kau dewasa oleh gerak yang asing.
Batu kecilku, setelah kau menabrak bukit kering pada musim dingin ini. Kearah itu akan kucari dirimu. Kau tentu ingat, bukit selalu membawamu ke laut. Berapa kali kau terpental dari laut hingga kembali ke bukit kering. Pada musim ini kau berada di gumukan debu barangkali. Siang hari, kau pasti sesak sebab tiada pohon lagi yang meneduhimu, bahkan ilalang di pinggir jalan itu telah terbakar. Ia tiada gairah tumbuh pada musim ini. Kau pasti susah mengingat kenangan kita di antara belalang yang kebingungan mencari rumput untuk meretas suatu pagi.
Kini, sudah kau lewati tiga pergantian musim. Kau pasti mual berputar-putar ke laut dan ke bukit. Inilah saatnya kau tersentuh oleh doa bukit itu. Daun kering telah ditiup gumamku dan akupun selama ini kebingungan menentukan arah agar cepat menemukanmu. Ada seekor burung mengabarkan bahwa burung yang lain telah menelanmu secara tidak sengaja, maka kucoba menolak perjalanan yang diagendakan cuaca.
Setiap burung pun beramai-ramai melawat geraknya di angkasa sembari menelisik bukit. Mereka berjanji menemukan jejakmu. Batu kecilku, ini bukit terakhir yang bisa kujamah sebab di seantro perjalananku, bukit-bukit telah runtuh. Bukit ini sudah teramat kering untuk digali dalam mencarimu. Bukit ini telah kehilangan teman-temannya, kijang dan semak-semak. Sejak penculikanmu, bukannya aku lelah mencarimu, tetapi di bukit ini kau kutunggu. Kau akan tersentuh. Kau bisa bersemayam di antara gerombolan debu supaya waktu pergantian musim, bukit ini kokoh menyapa berapa mesin yang lewat dan menyapu kawanan penghuni bukit. Dan, aku bergegas jatuh menyatu ke tanah-tanah supaya kau bisa rekat bersama biji-biji yang selama musim dingin bersembunyi pada putiknya. Gerombolan itu akan membuat kita terdiam dan tersentuh untuk mengubahnya menjadi taman.

Di Dahan Bukit



Oleh Luh Arik Sariadi

Tubuh membuat cahaya punya langkah
Berapa dada pernah mendekap dan
Hancurkan garis yang membentangkan kilaunya
Kini hati itu telah menjulangkan gunung
hingga tiada tepi lagi di lautan emosi

Karang-karang di air yang riak itu
telah jadi bukit-bukit kecil yang pecahkan badai sajak malam
Esok karang pun terbias jadi serbuk pasir karena air

Aku dan lututmu tenggelam
Ringkih melacak laut
Aku dan bibirmu lirih
Memilih kata-kata emosi di dahan bukit