Jumat, 03 September 2010

Kota Senyum



Oleh Luh Arik Sariadi

Sari, kuperkenalkan namaku kepada setiap senyum bahagia. Hari Selasa, seorang laki-laki datang ke rumahku. Ia dari kota, kota Senyum. Lelaki bermata tajam datang dari kota itu hendak mencari pengantinnya di desa yang kering ini. Desaku sangat kering hingga setiap bunga yang berhasil melewati musim kemarau tumbuh dengan bunga beraneka nama dan beribu kumbang berebut mengisap madunya. Hanya angin yang tiba-tiba menyelamatkan bunga dari kumbang sebab madu telah tumbuh menjadi biji dan jatuh ke tanah. Yang jatuh itu akan bahagia karena tumbuh lagi. Namun yang terhisap sebelum pembuahan, madunya telah hilang. Manisnya telah lenyap. Hanya tubuhlah yang tampak memberinya semangat bertahan melewati musim. Dan, akulah kembang itu, terhisap saat malam menyergap lalat-lalat. Esoknya, jejak-jejak lalat itu tak habis terhapus selama dua, tiga, bahkan belasan cuaca yang telah mengubah kota Senyum menjadi sebuah dongeng.
”Kota Senyum, pasir putih dan ombak yang teguh membanting angin,” kata Tut De. Saat aku memperkenalkan diri, ia banyak bercerita tentang kota itu. Ia pernah berjanji akan mengantarku melihat kotanya. Tidak ada dermaga, tetapi banyak orang berlabuh di kota itu. Tidak ada perahu di pantai kota itu, tetapi banyak kelompok masyarakat mengail uang di sana. Tidak ada sampan yang terikat di pohon-pohon tua, tetapi sepasang kekasih sering bertekad menerjang laut menuju impian. Tidak ada ruang kosong di pasir-pasir, tetapi pantai itu telah jadi rumah bagi jiwa-jiwa yang bebas. Berbagai senyum yang terjerat air laut pasang menyatu di tepi-tepi gelap, dan teriaknya membuat kota itu lebih dikenal sebagai kota senyum, entahlah.
Di kota itu, bocah-bocah kecil tak perlu menadahkan tangannya untuk mendapatkan uang dari orang yang punya rezeki lebih. Bocah-bocah kecil boleh bertugas sebagai sebuah strobery pada segelas juss. Mereka boleh berlarian menghamburkan pasir di kota itu.
Kota Senyum menyediakan berbagai merk minuman dari berbagai negeri. Tut De terus bercerita tentang kota kelahirannya. Ia sangat fanatik terhadap softdrink. Hanya satu perusahaan yang dipercayai menghasilkan minuman yang membasuh bibir tebalnya. Itu semata-mata karena ayahnya bekerja di perusahaan itu. Bukan, karena ia mencintai produk dalam negeri atau ingin mengikuti anjuran iklan di televisi yang dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Agnes Monica atau Luna Maya. Hah, dia pastinya seorang yang fanatik!
”Kalung-kalung yang dijual di kota itu adalah kalung-kalung yang bisa memberi faedah. Bisa membuat orang sukses. Aura setiap pemakainya akan terpancar binal. Kamu boleh membeli kalung yang terbuat dari karang-karang, nanti aku yang bayar,” katanya pelan sembari mengenduskan hidung saat kusuguhkan secangkir kopi. Aku belum menjawab tawarannya, belum bilang bersedia ikut ke kotanya atau tidak, tidak menganggukkan kepala saat ditawari cerita kalung.
”Wangi farfum yang melekat di tubuhmu, serupa serpihan angin tatkala para dewi mencuci rambut di telaga di kotaku,” bisiknya menggoda aku yang sedang berpikir dan menimbang-nimbang tawarannya.
***
Ia mengatakan diriku seperti bayi, bahkan berkali-kali menyebutku bayi. Katanya itu panggilan sayang untukku. ”Yi...Yi...” Memangnya mengapa bayi itu? Kami tidak bersahabat lagi. Tut De lebih memilih menghinaku lewat SMS. Kalau kami bertemu, Tut De selalu berbicara yang indah-indah. Ia sangat cerdas. Ia tahu semua lorong di kota Senyum. Dengan lesung pipinya, aku tidak pernah menamparnya meski ia selalu mengucapkan kata-kata aneh di SMS atau surat. Saat bertemu, aku selalu suka ucapannya. Manis! Namun, aku tidak boleh tergoda lagi.
Sekali lagi aku mengatakan dalam hatiku bahwa aku tidak suka disebut bayi. Aku seorang sarjana. Aku punya banyak relasi. Aku bekerja dengan tanggung jawab. Aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan sangat cepat dan tepat. Jika atasanku menugaskan aku untuk melakukan penelitian di kelas yang aku ajar, aku bisa menyelesaikannya. Berkali-kali aku telah memperoleh juara menulis penelitian tindakan kelas sehingga mampu mengharumkan nama sekolah tempatku bekerja. Aku telah pula mengantarkan siswa-siswaku dalam olimpiade-olimpiade dan mereka selalu mendapat juara, meski tidak selalu mendapat juara I. Waktu ada sertifikasi guru honor, aku mendapat nilai yang paling besar. Fortofolio yang aku kumpulkan dengan sungguh-sungguh tidak diragukan lagi. Semua sertifikat dan piagam penghargaan aku dapatkan dengan kerja keras. Penilai, satupun tidak membubuhkan kata ”palsu” pada fortofolioku. Semuanya asli! Jadi, apa aku bayi?
Makanya aku tidak mengerti mengapa Tut De selalu menatapku sebagai bayi. Kata bayi diucapkan sambil tertawa sangat menyesakkan bagiku. Dan, aku memilih berpisah darinya meski hanya pisah ranjang. Di ranjang yang berbeda pada rumah yang sama, kami selalu SMS-an. Tak pernah ada dialog langsung. Hubungan kami renggang.
Setiap malam, setelah ia datang dari pekerjaannya mengejar target berita, ia tidak pernah lupa kirim SMS tentang kota Senyum, kota kelahirannya yang sempurna. Aku selalu tertarik dengan kota Senyum karena semenjak menikah dengannya, sekalipun aku tidak pernah diajak berkunjung ke kota itu.
Kami berdebat tentang kota Senyum dan selalu berakhir dengan amarah. Aku tidak suka ia menceritakan kota itu lagi karena kota itu seperti imajinasi saja.
Aku punya niat bertanya tentang kota Senyum ke setiap orang di kantorku. Karena aku hanya ingin mengecek keberadaan kota itu, aku betul-betul berlaga bodoh kepada orang-orang.
”Pak Gusti, kota Senyum itu seperti apa?” tanyaku kepada soulmate-ku. Paling tidak dialah orang yang paling dekat denganku untuk sementara. Aku percaya ia akan memberiku jawaban yang sebenarnya dan pasti sangat lengkap. Pak Gusti, sering membantuku dalam menyelesaikan tugas-tugasku di sekolah. Barangkali karena usianya yang sangat besar, ia tahu banyak hal. Pengalamannya banyak. Ia sering dikirim ke kota metropolitan untuk mengikuti pelatihan. Putra sulungnya juga bertugas di kepolisian. Pasti Pak Gusti mengetahui kota Senyum.
”Kota Senyum pasti mengenalku, hingga kamu tanya itu kepadaku, bukan?” tanyanya memberi jawaban atas pertanyaanku.
”Yah, saya tidak tahu, mengapa Pak tanya lagi ke saya?”
”Ha-ha, jadi tidak tahu kota itu?”
”Tidak.”
”Betul-betul tidak tahu?”
”Betul.”
“Pak hanya tahu kota itu pernah menjadi kota terlarang. Pemerintah pusat pernah melarang setiap orang yang hendak pergi ke kota itu. Pemerintah menyiarkan bahwa ada wabah di kota itu.”
”Wabah?” tanyaku heran dan betul-betul heran. Selama aku membicarakan kota itu bersama Tut De, suamiku, dia tidak pernah menceritakan bahwa kota itu pernah kena wabah. Lantas, aku bertanya-tanya mengapa Tut De tidak pernah menceritakannya. Mengapa memangnya wabah itu tidak diceritakan. Itukah sebabnya, Tut De tidak pernah membawaku ke kota Senyum?
”Pak, sekarang saya ada jam mengajar. Nanti saya bertanya lagi. Tidak keberatan kan?”
“Tentu.”
Sejak itulah, pertemuanku semakin intens dengan Pak Gusti. Kami membicarakan kota Senyum setiap ada waktu. Bahkan, Pak Gusti bersedia meluangkan waktu istirahatnya untuk menamaniku membahas kota Senyum. Seusai menjemput istrinya, ia datang ke lapangan tenis. Aku ingin tahu banyak tentang kota Senyum, makanya aku segera membeli seragam olah raga dan alat-alat tenis. Aku menunda pekerjaan sore yang bisanya aku kerjakan setelah istirahat siang. Aku bermain sedikit saja. Aku bukan olahragawan. Alasanku bermain tenis hanya ingin mengetahui kota Senyum. Nanti setelah aku tahu kota senyum, aku tidak akan berolahraga lagi.
Menjadi olahragawan sangat berat. Aku lebih suka duduk di depan laptop dan menjelajahi dunia maya. Aku tak pernah takut terkena penyakit pinggang, alat pencernaan atau penyakit-penyakit yang menyertai kebiasaan duduk lama di depan laptop. Dan, selama ini aku sangat senang dengan hidup karena aku punya dunia baru. Aku tidak perlu takut kehilangan orang-orang yang berada di dekatku. Hah, kalau saja dunia maya bisa menjelaskan keberadaan dan keadaan kota Senyum, tentu aku tidak perlu menjadi olahragawan. Aku tidak perlu mengeluh sakit pinggang atau sakit pergelangan karena memukul bola yang berat. Belakangan, aku menyesal mengapa aku membuang waktu untuk menegangkan ototku. Membuang gaji honorku untuk membeli peralatan olahraga. Dan, membiarkan aku terlibat dalam gosip-gosip yang menyakitkan.
Menurut mereka, aku perebut suami orang! Aku dijauhi oleh orang-orang yang selama ini kuajak membuat proposal untuk memperoleh dana block grant yang diperuntukkan bagi pengembangan sekolah menengah kejuruan. Kepala sekolah juga telah memperingatkanku dengan nada ancaman. Katanya ada yang melaporkan gerak-gerikku. Kepala sekolah tahu semuanya yang tidak mungkin semua benar. Karierku betul-betul diujung tanduk!
Malam-malam, saat aku bermimpi untuk kali pertama pada tidurku suatu hari, suamiku SMS.
”Sudah kau kunjungi kota Senyum itu?”
”Mana mungkin? Kau hanya punya cerita, tetapi tidak pernah mengantarku ke sana.” jawabku kepadanya dengan tanda seru lebih dari sepuluh.
”Masak?”
”Maksudmu?”
”Bukannya kamu punya lelaki tua sekarang?”
”Lelaki tua? Untuk apa?”
”Jadi, kau punya lelaki tua?”
”Siapa maksudmu?”
”Hah,” jawabnya tiga huruf.
Aku seperti seekor tupai yang dicemooh oleh senapan angin. Aku tidak mungkin menggedor pintu kamarnya malam-malam. Aku telah berjanji tidak akan menemuinya kalau belum menemukan kota Senyum itu.
”Hentikan guyonan yang mengacaukan itu!” jawabku.
”Bukannya kamu yang mengacaukan segalanya!”
”Ya? Oh, baiklah lebih baik aku tidur supaya tidak lagi mengacaukanmu!” jawabku kesal.
”Ya sudah. Mimpikan lelaki tua itu ya, Yi!”
Aku semakin tidak bisa tidur. Ia menyebutku Yi lagi. Aku benci sebutan itu. Lagi, aku memikirkan siapa lelaki tua yang dimaksud suamiku. Apakah yang dimaksud Pak Gusti? Hah, kepada siapa harus kuceritakan bahwa yang kucari dari Pak Gusti hanyalah kota Senyum. Bukan cinta atau kasih sayangnya. Untuk hal kasih dan sayang, aku tidak butuh lagi. Aku telah mendapatkannya dari dunia maya. Bahkan, aku tidak perlu lagi belaian suamiku. Aku telah kenyang dibelai oleh imaji-imaji kota Senyum.
Ah, akhirnya aku merasa perlu menjelaskan kepada suamiku. Setelah lewat tengah malam. Aku sms suamiku lagi, tetapi dengan kata-kata berkulit mauku biar dia tahu bahwa aku sangat ingin bersamanya ke kota Senyum.
”Beberapa dada mendekapku dengan nafas. Betapa kulitku ditusuk ribuan penghuni dunia. Ada cahaya, jejak yang ditinggalkan di mataku. Tidak ada bisikan kecuali tertutupnya pintu-pintu menuju ranjang pengantin.”
Esoknya, Tut De menjawab, ”Kau bahagia bukan?”
Jawaban macam apa itu. Dipikiranku ia tidak lebih dari lelaki bodoh yang tidak mengerti perasaan perempuan. Aku pikir gajinya lebih dari cukup untuk mengantarku ke kota Senyum. Hah, itu hanya impian yang siasia. Aku betul-betul diperlakukan seperti bayi.
Mbok Luh Komang, perempuan pertama dan orang kesekian yang kutanyai tentang kota Senyum. Mungkin dia lebih mengerti perasaan perempuan yang tidak pernah menyepelekan setiap hal. Namun, aku tidak bisa terlalu berharap. Meski ia perempuan, ia hanya seorang tukang cuci pakaian. Aku telah lama mengenalnya. Ia selalu datang ke rumahku untuk mencuci pakaian suamiku. Karena ia pembantu suamiku, aku tidak mau ia tahu aku. Namun, ia menyerahkan satu juta uang yang didapat dari saku pakaian suamiku. Sejak itu, aku mulai membuka diri untuknya. Barangkali ia bisa menceritakan kota Senyum.
”Mbok Luh, selama ini aku sesekali lihat kamu berbincang-bincang dengan suamiku.”
”Tidak, Bu. Saya tidak ada apa-apa dengan suami ibu. Saya hanya tukang cuci.” Katanya menghentikan ucapanku.
”Hei, aku belum selesai bicara.”
”Bu, saya punya suami yang sering mengantar saya kemari. Jangan khawatir. Lagi saya sudah monopos.”
“Ya...Tapi saya hanya ingin menanyakan satu hal. Yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu di tempat ini.”
”Apa itu?”
”Mbok Luh tahu kota Senyum?”
”Ya.”
”Jadi tahu?”
”Ya. Bu Sari memang harus sering tersenyum. Terutama kepada suami.”
”Hah, itu bukan maksudku. Yang kumaksud sebuah kota yang dihuni oleh manusia.”
”Ya.. itu maksud saya, Bu. Ibu seperti seorang bayi di sebuah kota Senyum seperti yang disebut-sebut Bapak.”
“Apa yang kamu ketahui tentang bayi dari suamiku?” Aku bertanya sangat marah. Seolah Mbok Luh Komang tahu segalanya. Aku benar-benar merasa suamiku telah membicarakanku kepada semua orang. Itu lagi-lagi penghinaan.
”Bapak sering menyebut-nyebut nama Ibu sendirian di ruang bacanya, ‘bayi manisku’ begitu katanya,” jawab Mbok Luh Komang.
“Ah, kau bohong! Dia itu sering menghinaku! Bayi! Bayi! Apa itu?”
“Bayi itu simbol. Ia sebuah realitas yang sangat terangdan jelas membawa sifat kemakhlukan dan keinsanian. Kepolosan. Ketelanjangan. Dan, keapaadaan.”
Aku merasa menjadi sangat mulia ketika Mbok Luh Komang mengatakan hal itu. Aku tidak percaya kata-katanya. Lagi pula suamiku tidak menunjukkan ia menyukaiku. Buktinya, ia tidak pernah mengantarku menuju ke kota Senyum. Dan biarlah kami berpisah karena ia pembohong.
Mbok Luh Komang meski meyakinkanku bahwa suamiku memujaku dengan menyebutku bayi, sungguh aku tidak akan terpengaruh dengan keputusanku pisah ranjang sampai ia mewujudkan impianku.
”Betul, Bu. Bapak menyebut Ibu dengan mesra, ’bayiku’ begitu berulang-ulang.”
”Bayiku! Bayiku! Bayiku!” kataku mencemooh katanya. Di dalam hatiku aku memang terbuai setelah Mbok Luh menjelaskan arti bayi. Menurutnya, bayi itu sebuah realitas, bakal keindahan, kehidupan, dan masa depan manusia. Bayi itu asasi dan paling dasar. Bayi ketakbersalahan. Seorang bayi menyimpan keutamaan manusia. Ada harapan yang bercokol menumbuhkan manusia secara asasi. Manusia tidak mungkin menjadi manusia jika tidak menyimpan harapan. Hanya itu caranya menutupi kebohongan? Dia merayuku? Kapan dia bawa aku ke kota Senyum?
”Bayi itu benih harapan.” katanya, eh maksudku kata temanku yang cerdas, eh kata kekasihku yang selalu menemaniku sepanjang hari di kamar yang gelap, kota senyum yang tidak terkira indahnya.

Sukasada, Juni 2009

Minggu, 22 Agustus 2010

Batu Kecilku di Culik



Sebutir batu kecil menggelinding ke tanah kering waktu perjalanku belum usai. Tak ada yang bisa kuingat hari ini, kecuali kerinduanku kepadamu. Menghilang dalam perjalananku, kau pun hanya menghentakkan suara kecil. Entah suara pecah atau suara kegirangan. Barangkali aku terlalu angkuh untuk mengatakan bahwa pendengaranku telah kembali. Aku sangat menyesal kali kau pergi. Kepadamu, kusampaikan agar kau kembali sebelum kau dewasa oleh gerak yang asing.
Batu kecilku, setelah kau menabrak bukit kering pada musim dingin ini. Kearah itu akan kucari dirimu. Kau tentu ingat, bukit selalu membawamu ke laut. Berapa kali kau terpental dari laut hingga kembali ke bukit kering. Pada musim ini kau berada di gumukan debu barangkali. Siang hari, kau pasti sesak sebab tiada pohon lagi yang meneduhimu, bahkan ilalang di pinggir jalan itu telah terbakar. Ia tiada gairah tumbuh pada musim ini. Kau pasti susah mengingat kenangan kita di antara belalang yang kebingungan mencari rumput untuk meretas suatu pagi.
Kini, sudah kau lewati tiga pergantian musim. Kau pasti mual berputar-putar ke laut dan ke bukit. Inilah saatnya kau tersentuh oleh doa bukit itu. Daun kering telah ditiup gumamku dan akupun selama ini kebingungan menentukan arah agar cepat menemukanmu. Ada seekor burung mengabarkan bahwa burung yang lain telah menelanmu secara tidak sengaja, maka kucoba menolak perjalanan yang diagendakan cuaca.
Setiap burung pun beramai-ramai melawat geraknya di angkasa sembari menelisik bukit. Mereka berjanji menemukan jejakmu. Batu kecilku, ini bukit terakhir yang bisa kujamah sebab di seantro perjalananku, bukit-bukit telah runtuh. Bukit ini sudah teramat kering untuk digali dalam mencarimu. Bukit ini telah kehilangan teman-temannya, kijang dan semak-semak. Sejak penculikanmu, bukannya aku lelah mencarimu, tetapi di bukit ini kau kutunggu. Kau akan tersentuh. Kau bisa bersemayam di antara gerombolan debu supaya waktu pergantian musim, bukit ini kokoh menyapa berapa mesin yang lewat dan menyapu kawanan penghuni bukit. Dan, aku bergegas jatuh menyatu ke tanah-tanah supaya kau bisa rekat bersama biji-biji yang selama musim dingin bersembunyi pada putiknya. Gerombolan itu akan membuat kita terdiam dan tersentuh untuk mengubahnya menjadi taman.

Di Dahan Bukit



Oleh Luh Arik Sariadi

Tubuh membuat cahaya punya langkah
Berapa dada pernah mendekap dan
Hancurkan garis yang membentangkan kilaunya
Kini hati itu telah menjulangkan gunung
hingga tiada tepi lagi di lautan emosi

Karang-karang di air yang riak itu
telah jadi bukit-bukit kecil yang pecahkan badai sajak malam
Esok karang pun terbias jadi serbuk pasir karena air

Aku dan lututmu tenggelam
Ringkih melacak laut
Aku dan bibirmu lirih
Memilih kata-kata emosi di dahan bukit

Rabu, 26 Mei 2010

Kota Senyum

Oleh Luh Arik Sariadi

Sari, kuperkenalkan namaku kepada setiap senyum bahagia. Hari Selasa, seorang laki-laki datang ke rumahku. Ia dari kota, kota Senyum. Lelaki bermata tajam datang dari kota itu hendak mencari pengantinnya di desa yang kering ini. Desaku sangat kering hingga setiap bunga yang berhasil melewati musim kemarau tumbuh dengan bunga beraneka nama dan beribu kumbang berebut mengisap madunya. Hanya angin yang tiba-tiba menyelamatkan bunga dari kumbang sebab madu telah tumbuh menjadi biji dan jatuh ke tanah. Yang jatuh itu akan bahagia karena tumbuh lagi. Namun yang terhisap sebelum pembuahan, madunya telah hilang. Manisnya telah lenyap. Hanya tubuhlah yang tampak memberinya semangat bertahan melewati musim. Dan, akulah kembang itu, terhisap saat malam menyergap lalat-lalat. Esoknya, jejak-jejak lalat itu tak habis terhapus selama dua, tiga, bahkan belasan cuaca yang telah mengubah kota Senyum menjadi sebuah dongeng.
”Kota Senyum, pasir putih dan ombak yang teguh membanting angin,” kata Tut De. Saat aku memperkenalkan diri, ia banyak bercerita tentang kota itu. Ia pernah berjanji akan mengantarku melihat kotanya. Tidak ada dermaga, tetapi banyak orang berlabuh di kota itu. Tidak ada perahu di pantai kota itu, tetapi banyak kelompok masyarakat mengail uang di sana. Tidak ada sampan yang terikat di pohon-pohon tua, tetapi sepasang kekasih sering bertekad menerjang laut menuju impian. Tidak ada ruang kosong di pasir-pasir, tetapi pantai itu telah jadi rumah bagi jiwa-jiwa yang bebas. Berbagai senyum yang terjerat air laut pasang menyatu di tepi-tepi gelap, dan teriaknya membuat kota itu lebih dikenal sebagai kota senyum, entahlah.
Di kota itu, bocah-bocah kecil tak perlu menadahkan tangannya untuk mendapatkan uang dari orang yang punya rezeki lebih. Bocah-bocah kecil boleh bertugas sebagai sebuah strobery pada segelas juss. Mereka boleh berlarian menghamburkan pasir di kota itu.
Kota Senyum menyediakan berbagai merk minuman dari berbagai negeri. Tut De terus bercerita tentang kota kelahirannya. Ia sangat fanatik terhadap softdrink. Hanya satu perusahaan yang dipercayai menghasilkan minuman yang membasuh bibir tebalnya. Itu semata-mata karena ayahnya bekerja di perusahaan itu. Bukan, karena ia mencintai produk dalam negeri atau ingin mengikuti anjuran iklan di televisi yang dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Agnes Monica atau Luna Maya. Hah, dia pastinya seorang yang fanatik!
”Kalung-kalung yang dijual di kota itu adalah kalung-kalung yang bisa memberi faedah. Bisa membuat orang sukses. Aura setiap pemakainya akan terpancar binal. Kamu boleh membeli kalung yang terbuat dari karang-karang, nanti aku yang bayar,” katanya pelan sembari mengenduskan hidung saat kusuguhkan secangkir kopi. Aku belum menjawab tawarannya, belum bilang bersedia ikut ke kotanya atau tidak, tidak menganggukkan kepala saat ditawari cerita kalung.
”Wangi farfum yang melekat di tubuhmu, serupa serpihan angin tatkala para dewi mencuci rambut di telaga di kotaku,” bisiknya menggoda aku yang sedang berpikir dan menimbang-nimbang tawarannya.
***
Ia mengatakan diriku seperti bayi, bahkan berkali-kali menyebutku bayi. Katanya itu panggilan sayang untukku. ”Yi...Yi...” Memangnya mengapa bayi itu? Kami tidak bersahabat lagi. Tut De lebih memilih menghinaku lewat SMS. Kalau kami bertemu, Tut De selalu berbicara yang indah-indah. Ia sangat cerdas. Ia tahu semua lorong di kota Senyum. Dengan lesung pipinya, aku tidak pernah menamparnya meski ia selalu mengucapkan kata-kata aneh di SMS atau surat. Saat bertemu, aku selalu suka ucapannya. Manis! Namun, aku tidak boleh tergoda lagi.
Sekali lagi aku mengatakan dalam hatiku bahwa aku tidak suka disebut bayi. Aku seorang sarjana. Aku punya banyak relasi. Aku bekerja dengan tanggung jawab. Aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan sangat cepat dan tepat. Jika atasanku menugaskan aku untuk melakukan penelitian di kelas yang aku ajar, aku bisa menyelesaikannya. Berkali-kali aku telah memperoleh juara menulis penelitian tindakan kelas sehingga mampu mengharumkan nama sekolah tempatku bekerja. Aku telah pula mengantarkan siswa-siswaku dalam olimpiade-olimpiade dan mereka selalu mendapat juara, meski tidak selalu mendapat juara I. Waktu ada sertifikasi guru honor, aku mendapat nilai yang paling besar. Fortofolio yang aku kumpulkan dengan sungguh-sungguh tidak diragukan lagi. Semua sertifikat dan piagam penghargaan aku dapatkan dengan kerja keras. Penilai, satupun tidak membubuhkan kata ”palsu” pada fortofolioku. Semuanya asli! Jadi, apa aku bayi?
Makanya aku tidak mengerti mengapa Tut De selalu menatapku sebagai bayi. Kata bayi diucapkan sambil tertawa sangat menyesakkan bagiku. Dan, aku memilih berpisah darinya meski hanya pisah ranjang. Di ranjang yang berbeda pada rumah yang sama, kami selalu SMS-an. Tak pernah ada dialog langsung. Hubungan kami renggang.
Setiap malam, setelah ia datang dari pekerjaannya mengejar target berita, ia tidak pernah lupa kirim SMS tentang kota Senyum, kota kelahirannya yang sempurna. Aku selalu tertarik dengan kota Senyum karena semenjak menikah dengannya, sekalipun aku tidak pernah diajak berkunjung ke kota itu.
Kami berdebat tentang kota Senyum dan selalu berakhir dengan amarah. Aku tidak suka ia menceritakan kota itu lagi karena kota itu seperti imajinasi saja.
Aku punya niat bertanya tentang kota Senyum ke setiap orang di kantorku. Karena aku hanya ingin mengecek keberadaan kota itu, aku betul-betul berlaga bodoh kepada orang-orang.
”Pak Gusti, kota Senyum itu seperti apa?” tanyaku kepada soulmate-ku. Paling tidak dialah orang yang paling dekat denganku untuk sementara. Aku percaya ia akan memberiku jawaban yang sebenarnya dan pasti sangat lengkap. Pak Gusti, sering membantuku dalam menyelesaikan tugas-tugasku di sekolah. Barangkali karena usianya yang sangat besar, ia tahu banyak hal. Pengalamannya banyak. Ia sering dikirim ke kota metropolitan untuk mengikuti pelatihan. Putra sulungnya juga bertugas di kepolisian. Pasti Pak Gusti mengetahui kota Senyum.
”Kota Senyum pasti mengenalku, hingga kamu tanya itu kepadaku, bukan?” tanyanya memberi jawaban atas pertanyaanku.
”Yah, saya tidak tahu, mengapa Pak tanya lagi ke saya?”
”Ha-ha, jadi tidak tahu kota itu?”
”Tidak.”
”Betul-betul tidak tahu?”
”Betul.”
“Pak hanya tahu kota itu pernah menjadi kota terlarang. Pemerintah pusat pernah melarang setiap orang yang hendak pergi ke kota itu. Pemerintah menyiarkan bahwa ada wabah di kota itu.”
”Wabah?” tanyaku heran dan betul-betul heran. Selama aku membicarakan kota itu bersama Tut De, suamiku, dia tidak pernah menceritakan bahwa kota itu pernah kena wabah. Lantas, aku bertanya-tanya mengapa Tut De tidak pernah menceritakannya. Mengapa memangnya wabah itu tidak diceritakan. Itukah sebabnya, Tut De tidak pernah membawaku ke kota Senyum?
”Pak, sekarang saya ada jam mengajar. Nanti saya bertanya lagi. Tidak keberatan kan?”
“Tentu.”
Sejak itulah, pertemuanku semakin intens dengan Pak Gusti. Kami membicarakan kota Senyum setiap ada waktu. Bahkan, Pak Gusti bersedia meluangkan waktu istirahatnya untuk menamaniku membahas kota Senyum. Seusai menjemput istrinya, ia datang ke lapangan tenis. Aku ingin tahu banyak tentang kota Senyum, makanya aku segera membeli seragam olah raga dan alat-alat tenis. Aku menunda pekerjaan sore yang bisanya aku kerjakan setelah istirahat siang. Aku bermain sedikit saja. Aku bukan olahragawan. Alasanku bermain tenis hanya ingin mengetahui kota Senyum. Nanti setelah aku tahu kota senyum, aku tidak akan berolahraga lagi.
Menjadi olahragawan sangat berat. Aku lebih suka duduk di depan laptop dan menjelajahi dunia maya. Aku tak pernah takut terkena penyakit pinggang, alat pencernaan atau penyakit-penyakit yang menyertai kebiasaan duduk lama di depan laptop. Dan, selama ini aku sangat senang dengan hidup karena aku punya dunia baru. Aku tidak perlu takut kehilangan orang-orang yang berada di dekatku. Hah, kalau saja dunia maya bisa menjelaskan keberadaan dan keadaan kota Senyum, tentu aku tidak perlu menjadi olahragawan. Aku tidak perlu mengeluh sakit pinggang atau sakit pergelangan karena memukul bola yang berat. Belakangan, aku menyesal mengapa aku membuang waktu untuk menegangkan ototku. Membuang gaji honorku untuk membeli peralatan olahraga. Dan, membiarkan aku terlibat dalam gosip-gosip yang menyakitkan.
Menurut mereka, aku perebut suami orang! Aku dijauhi oleh orang-orang yang selama ini kuajak membuat proposal untuk memperoleh dana block grant yang diperuntukkan bagi pengembangan sekolah menengah kejuruan. Kepala sekolah juga telah memperingatkanku dengan nada ancaman. Katanya ada yang melaporkan gerak-gerikku. Kepala sekolah tahu semuanya yang tidak mungkin semua benar. Karierku betul-betul diujung tanduk!
Malam-malam, saat aku bermimpi untuk kali pertama pada tidurku suatu hari, suamiku SMS.
”Sudah kau kunjungi kota Senyum itu?”
”Mana mungkin? Kau hanya punya cerita, tetapi tidak pernah mengantarku ke sana.” jawabku kepadanya dengan tanda seru lebih dari sepuluh.
”Masak?”
”Maksudmu?”
”Bukannya kamu punya lelaki tua sekarang?”
”Lelaki tua? Untuk apa?”
”Jadi, kau punya lelaki tua?”
”Siapa maksudmu?”
”Hah,” jawabnya tiga huruf.
Aku seperti seekor tupai yang dicemooh oleh senapan angin. Aku tidak mungkin menggedor pintu kamarnya malam-malam. Aku telah berjanji tidak akan menemuinya kalau belum menemukan kota Senyum itu.
”Hentikan guyonan yang mengacaukan itu!” jawabku.
”Bukannya kamu yang mengacaukan segalanya!”
”Ya? Oh, baiklah lebih baik aku tidur supaya tidak lagi mengacaukanmu!” jawabku kesal.
”Ya sudah. Mimpikan lelaki tua itu ya, Yi!”
Aku semakin tidak bisa tidur. Ia menyebutku Yi lagi. Aku benci sebutan itu. Lagi, aku memikirkan siapa lelaki tua yang dimaksud suamiku. Apakah yang dimaksud Pak Gusti? Hah, kepada siapa harus kuceritakan bahwa yang kucari dari Pak Gusti hanyalah kota Senyum. Bukan cinta atau kasih sayangnya. Untuk hal kasih dan sayang, aku tidak butuh lagi. Aku telah mendapatkannya dari dunia maya. Bahkan, aku tidak perlu lagi belaian suamiku. Aku telah kenyang dibelai oleh imaji-imaji kota Senyum.
Ah, akhirnya aku merasa perlu menjelaskan kepada suamiku. Setelah lewat tengah malam. Aku sms suamiku lagi, tetapi dengan kata-kata berkulit mauku biar dia tahu bahwa aku sangat ingin bersamanya ke kota Senyum.
”Beberapa dada mendekapku dengan nafas. Betapa kulitku ditusuk ribuan penghuni dunia. Ada cahaya, jejak yang ditinggalkan di mataku. Tidak ada bisikan kecuali tertutupnya pintu-pintu menuju ranjang pengantin.”
Esoknya, Tut De menjawab, ”Kau bahagia bukan?”
Jawaban macam apa itu. Dipikiranku ia tidak lebih dari lelaki bodoh yang tidak mengerti perasaan perempuan. Aku pikir gajinya lebih dari cukup untuk mengantarku ke kota Senyum. Hah, itu hanya impian yang siasia. Aku betul-betul diperlakukan seperti bayi.
Mbok Luh Komang, perempuan pertama dan orang kesekian yang kutanyai tentang kota Senyum. Mungkin dia lebih mengerti perasaan perempuan yang tidak pernah menyepelekan setiap hal. Namun, aku tidak bisa terlalu berharap. Meski ia perempuan, ia hanya seorang tukang cuci pakaian. Aku telah lama mengenalnya. Ia selalu datang ke rumahku untuk mencuci pakaian suamiku. Karena ia pembantu suamiku, aku tidak mau ia tahu aku. Namun, ia menyerahkan satu juta uang yang didapat dari saku pakaian suamiku. Sejak itu, aku mulai membuka diri untuknya. Barangkali ia bisa menceritakan kota Senyum.
”Mbok Luh, selama ini aku sesekali lihat kamu berbincang-bincang dengan suamiku.”
”Tidak, Bu. Saya tidak ada apa-apa dengan suami ibu. Saya hanya tukang cuci.” Katanya menghentikan ucapanku.
”Hei, aku belum selesai bicara.”
”Bu, saya punya suami yang sering mengantar saya kemari. Jangan khawatir. Lagi saya sudah monopos.”
“Ya...Tapi saya hanya ingin menanyakan satu hal. Yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu di tempat ini.”
”Apa itu?”
”Mbok Luh tahu kota Senyum?”
”Ya.”
”Jadi tahu?”
”Ya. Bu Sari memang harus sering tersenyum. Terutama kepada suami.”
”Hah, itu bukan maksudku. Yang kumaksud sebuah kota yang dihuni oleh manusia.”
”Ya.. itu maksud saya, Bu. Ibu seperti seorang bayi di sebuah kota Senyum seperti yang disebut-sebut Bapak.”
“Apa yang kamu ketahui tentang bayi dari suamiku?” Aku bertanya sangat marah. Seolah Mbok Luh Komang tahu segalanya. Aku benar-benar merasa suamiku telah membicarakanku kepada semua orang. Itu lagi-lagi penghinaan.
”Bapak sering menyebut-nyebut nama Ibu sendirian di ruang bacanya, ‘bayi manisku’ begitu katanya,” jawab Mbok Luh Komang.
“Ah, kau bohong! Dia itu sering menghinaku! Bayi! Bayi! Apa itu?”
“Bayi itu simbol. Ia sebuah realitas yang sangat terangdan jelas membawa sifat kemakhlukan dan keinsanian. Kepolosan. Ketelanjangan. Dan, keapaadaan.”
Aku merasa menjadi sangat mulia ketika Mbok Luh Komang mengatakan hal itu. Aku tidak percaya kata-katanya. Lagi pula suamiku tidak menunjukkan ia menyukaiku. Buktinya, ia tidak pernah mengantarku menuju ke kota Senyum. Dan biarlah kami berpisah karena ia pembohong.
Mbok Luh Komang meski meyakinkanku bahwa suamiku memujaku dengan menyebutku bayi, sungguh aku tidak akan terpengaruh dengan keputusanku pisah ranjang sampai ia mewujudkan impianku.
”Betul, Bu. Bapak menyebut Ibu dengan mesra, ’bayiku’ begitu berulang-ulang.”
”Bayiku! Bayiku! Bayiku!” kataku mencemooh katanya. Di dalam hatiku aku memang terbuai setelah Mbok Luh menjelaskan arti bayi. Menurutnya, bayi itu sebuah realitas, bakal keindahan, kehidupan, dan masa depan manusia. Bayi itu asasi dan paling dasar. Bayi ketakbersalahan. Seorang bayi menyimpan keutamaan manusia. Ada harapan yang bercokol menumbuhkan manusia secara asasi. Manusia tidak mungkin menjadi manusia jika tidak menyimpan harapan. Hanya itu caranya menutupi kebohongan? Dia merayuku? Kapan dia bawa aku ke kota Senyum?
”Bayi itu benih harapan.” katanya, eh maksudku kata temanku yang cerdas.

Sukasada, Juni 2009

Selasa, 18 Mei 2010

Gigit Adat

Oleh Luh Arik Sariadi

Nari namaku. Harus kutinggalkan rumahku. Rumah yang isinya kedok bagi penggosip. Aku terbiasa mendengar gosip tentang si anu dan si ini. Selanjutnya yang kudengar adalah gosip tentang keluargaku. Gosip tentang berbagai hal yang memilukan tentang penggusuran tanah mertuaku.
Gosip melalui celah yang tidak lagi bisa menghamburkan cahaya. Gosip begitu saja menyebarkan kata-kata di antara tetangga yang terlalu lama terombang-ambing oleh kata reformasi. Gosip tidak henti-hentinya berpikir untuk mengacaukan keamanan. Gosip juga merampas waktu istirahat tidur siang. Rasanya tidak ada lagi waktu, kecuali untuk bergosip.
***
Mulanya yang digosipkan adalah tentang kehadiran keluargaku di desa Yeh Tegeh. Sudah bertahun-tahun kami menetap di tanah ini. Sejak gunung agung meletus, eh, sejak jaman PKI tahun 1965. Kebetulan kakekku bukan orang yang diberi garis merah. Keluargaku bergaris kuning karena sungsunganku bergaris kuning. Aku dan keluargaku adalah warga pendatang yang mengabdi di sebuah puri dengan bendera kuning. Di mata warga kakekku sangat baik karena berusaha berputih senyum di hadapan Ratu. Kakekku mendapat kepercayaan kira-kira sudah 25 tahun. Saat itu, barangkali aku belum lahir. Dengan bantuan kakekku, puri selalu menyantuni orang-orang tua yang miskin atau sengaja dimiskinkan oleh penguasa.
Puri tempatku bermain, tempatku memiling bunga rumput kapas. Aku bermain-main dengan lumpur di antara sapi yang dicamuk. Pekerjaanku menangkap belalang dan segera menyantapnya mentah-mentah. Ada beberapa kawan yang geli melihat aksiku, tetapi aku harus tetap melakukannya karena aku harus menjaga putik padi dari sengatan belalang.
Aku adalah cucu seorang abdi di rumah seorang pembesar di desa yang tampak kering. Musim kering, hanya di sawah Ratu Lingsir setetes air riang menghibur liat. Setiap tiga bulan, selalu memanen kelapa. Ah, aku hanya seorang cucu, tetapi tugasku adalah mengawasi warga yang datang dan berpura-pura ingin membantu. Abdi-abdi tidak rela kalau pekerjaannya diambil alih oleh seorang warga dari luar puri. Makanya, aku selalu berjaga dengan membawa cerita bahwa yang mendekati puri saat panen kelapa akan ditembak oleh Ratu. Aku merasa tanah itu adalah tanah keluargaku karena kami sepanjang hari menghabiskan setiap detik dengan alam itu.
Ratu, lelaki tua dengan kepala licin. Ia mengusap-usap rumah kumisnya yang kosong belanga. Kalau ia sudah datang, aku pun akan bersembunyi di balik kain nenekku. Anak-anak kecil sebayaku, teman SD-ku serentak tidak menyentuh apapun di puri. Itu semata-mata karena aku yang menyebar gosip bahwa kami yang ketahuan mengambil sesuatu dari puri akan ditembak. Eh, itu juga aku dengar dari kata kakek ketika terdengar suara senapan angin meletus di angkasa.
Usiaku 25 tahun. Sekarang aku telah berhenti menjadi penggosip di rumahku. Tiba saatnya kami digosipkan. Aku, bapakku, ibuku, nenekku, mertuaku, dan teman-temanku yang mampir selalu menjadi siaran ulang di setiap gang. Aku tidak tahu, apa yang mereka bisikkan. Aku tidak bisa ikut menjadi penggosip karena terakhir aku mendengar bahwa mertuaku terlibat penggelapan tanah desa. Kalau aku pulang dari tempatku memetik kangkung, mata mereka selalu pergi dan datang seenak hati dengan penuh benci. Ingin rasanya mengetahui apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Namun sia-sia, aku hanya seorang buruh pemetik kangkung di tepi sungai dekat muara kali di ujung laut.
Ada teman sekelasku waktu di SD mengatakan bahwa keluargaku tersiar sebagai keluarga korup. Aku bimbang, dari mana gosip itu merebak? Katanya lagi, aku adalah sisa-sisa kekuasaan Ratu. Duh, Ratu, perca apa yang kau siapkan untuk keringat kami? Baunya tidak ketahuan, tetapi rasanya pedas dan melumat hati keluargaku? Di dunia ini, kau adalah pahlawan, nian hilang usiamu, kuasamu pudar.
”Pak, maaf nggih. Saya dari pihak desa adat hanya ingin mendata tanah yang Bapak tempati”, kata pesuruh desa.
Ayahku segera memangilku. Ia memintaku memfotokopi sebuah kuitansi. ”Foto kopi di koperasi desa.” suruh ayahku di hadapan pesuruh desa.
Aku bergegas menuju ke tempat yang direkomendasikan. Aku membacanya. Yang digandakan adalah kuitansi pembelian hak guna pakai yang ditandatangani oleh mertua dan bapakku. Jumlah nominalnya adalah enam juta rupiah. Jumlah itu tercantum untuk membeli hak guna pakai sebuah tanah. Aku tahu bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah yang di atasnya berdiri sebuah dapur dan kamar mandi. Sekarang tanah itu telah menjadi dapur yang mewah dan kandang peternakan dua ekor babi. Ayahku mempermaknya untuk calon menantunya dan untuk lapangan pekerjaan baru diusia tua.
Aku sudah selesai menggandakan kuitansi itu. Petugas desa itu segera pergi dengan selembar kuitansi yang palsu. Aku bertanya kepada ayahku, ternyata ayahku menolak memberi keterangan. Yang sendu hanya gelisah dari tetanggaku. Mereka mungkin saja menguping pembicaraan ayahku. Atau sekadar membaca percakapan mata dan bibir tanpa suara. Aku berpura-pura tidak tahu agar ada yang bergosip lagi ke rumahku, tetapi sia-sia. Mereka tidak mau lagi berbagi kata dengan keluargaku, apalagi bercerita tentang tanah mertuaku.
Aku Nari, seorang penari joged mulanya, selanjutnya disebut pemetik kangkung setiap sore. Aku dinikahi oleh seorang anak pedagang batu permata. Yang memakai cincin bermata besar di kesepuluh jarinya adalah mertuaku. Ia satu-satunya orang tua yang kaya cincin. Kalau makan ia selalu pakai sendok. Sepeninggal suamiku aku tetap menuntun seorang anakku di rumah mertuaku. Kalau ada yang mencari urusannya lebih penting dari makan. Yang datang memang saudagar tanah. Mertuaku tidak suka berbisnis di dalam rumah. Ia lebih memilih dibonceng dan dibawa keluar oleh tamunya. Entah ke mana. Ia kembali dengan pisang goreng untuk anakku.
Tamu biasanya datang siang hari. Ayahku adalah tamu yang datang malam hari. Ayahku pun datang bukan kehendak hatinya. Sebelumnya mertuaku memintaku untuk menyampaikannya kepada ayahku. Karena itulah ayahku datang. Malam tidak biasa menerima tamu. Malam tidak ada bisnis di mertuaku. Malam adalah waktu santai di ranjang penyalin.
”Duduk,” kata mertuaku.
Ayahku duduk. Ia menyuruhku membuat kopi.
Kali ini aku tidak ingin kehilangan gosip. Aku ingin tahu apa yang dibicarakan oleh kedua lelaki. Aku takut kalau aku ingin dipulangkan ke rumah orang tuaku karena semalam aku telah menerima tawaran menari lagi. Sebelum meninggal karena sakit, suamiku tidak keberatan asalkan untuk anak kami, tetapi siapa tahu mertuaku keberatan.
”De, kemarin aku mendengar bahwa pesuruh desa datang ke rumahmu. Ada apa dia?” gerutu mertuaku kepada ayahku.
Ayahku gugup. Ayahku lebih muda daripada mertuaku, kira-kira sepuluh tahun. ”Saya tidak tahu, eee”
”Tidak tahu bagaimana? Aku dengar kamu sendiri yang menemani pesuruh desa itu di ruang tamu, benar?”
”Ya benar. Eh, saya tidak tahu dari mana ia tahu kalau saya telah membeli sebidang tanah Bli”
”Maksudnya, mereka sedang menyelidiki tanah itu?”
”Ya. Mereka meminta kuitansi. Mang!” Segera ayahku memanggilku. ”Belikan Bapak rokok”, katanya. Aku pergi.
Warung-warung tutup. Hanya ada mini market yang buka. Aku memohon agar bisa membeli sebatang rokok di sana. Dengan sedikit memelas, ada seorang pemuda juga membantuku memohon agar diizinkan membeli sebatang saja. Hah, aku harus membeli sebungkus. Kunsumtif! Dengan sengol kanan dan senggol kiri, ya, aku dikasi sebatang rokok oleh pemuda itu. Aku masih memikirkan apa yang sedang dibicarakan dua lelaki tua di rumahku. Aku segera pulang. Ayah sudah tidak ada. Kata mertuaku aku terlalu lama membeli rokok. Aku segera tidur.
Keesokan harinya, kepala desa, kelian desa, dan datang melipun keluargaku. Wartawan dari Bali, dari Jawa, bahkan wartawan yang berbahasa Inggris mengambil foto dan sempat meminta keterangan. Mertuaku digelandang beramai-ramai. Katanya mertuaku sering menjual tanah desa semasa Ratu Lingsir hidup. Ayahku juga digelandang. Rumah yang membesarkanku telah disita desa.
Penduduk tampaknya tidak heran. Rupanya mereka tahu bahwa ayahku dan mertuaku adalah abdi setia Ratu lingsir. Mereka mengatakan bahwa Ratu Lingsir pernah melakukannya kepada kepala desa kami yang sekarang. Ada yang mengatakan hukum karma pala. Ada pula yang mengatakan bahwa kepala desa yang sekarang adalah keluarga yang diberi garis merah, jadi bukan rahasia lagi kalau kami digelandang juga, diperlakukan sama seperti ketika aku kecil. Ketika aku menarik danyur dan melarang kawan lain, terutama teman sekelasku untuk menyentuh seutas danyur sekalipun.
”Ini perlakuan tidak adil. Adat sudah tidak adil! Aku lebih baik pindah agama!” kata mertuaku. Watawan merekam dengan baik momen itu. Dengan ekspresi marah luar biasa, fotonya pasti jelek. Terus saja mereka menggelandang keduanya. Ada beberapa kaur desa yang membuka segel untukku.
Beberapa tiga puluh menit peristiwa penting telah terjadi di desaku, penangkapan ayah dan mertuaku. Di pangkuanku, tangis tak habis-habis. Koran lokal bergambar foto mertuaku dan orang yang tidak kukenal terlihat di halaman pertama. Judulnya adalah Gigit Adat: Sedia Jual Tanah.”
Namaku Nari, kebetulan aku adalah seorang penari, idaman para penduduk desa, karena itu aku tidak digelandang ke penjara. Namun, aku tidak tahu bagimana besok ketika di leherku bercokol kalung dari sisa-sisa daging kekuasaan Ratu dan darahku terlihat kuning, karena itu aku harus pergi dari puing-puing kata mertua dan ayahku, ”Pindah Agama” untuk sekadar mempertimbangkan barangkali.

Tukadmungga,2008

Kamis, 13 Mei 2010

Resapan Air ke Akarmu

Senantiasa kau ulurkan tanganmu. Sejenak kau panggil aku sembari menutup mata. Kau tampak malu. Aku melihat sulurmu meliuk-liuk dan menerkamku. Aku seperti bulan. PAdahal, aku matahari yang bisa membakarmu kapanpun jika aku mengkhendaki. Seperti bulan, aku mendinginkanmu. Kau semakin bertingkah tidak wajar. Kau bernyanyi walau menggigil. Seoralh-olah kau tidak punya derita. Wajahmu dingin. Alismu tampak lebih sedikit dari biasanya yang kulihat. Matamu semakin sipit, tetapi bukan karena kau kepanasan. Kau kedinginan. Bibirmu tampak putih. Lekuk tubuhmu semakin jelas, sebab kau menyanyi sambil menari saat dingin menyergapmu saat kau malu. Aku mungkin salah memperkirakan. Aku tahu kau tidak malu. Akulah yang salah menilai. Aku menganggap diriku matahari, teapi kau lebih bijak, menganggapku hanya sungai kecil yang mengirim resapan air ke akarmu. Sulur yang manis, terima kasih kau titipkan lukamu kepada dingin.

Sabtu, 08 Mei 2010

Keanehan Ekspansi Cinta

Menahanmu hanyalah pekerjaan sia-sia. Kau bisa katakan aku meninggalkanmu untuk sebuah tujuan, "Berbahagia dengan sulur-sulur lain." Aku hanya diam dan menahan derita sejak kau anggap aku hanya ingin mengunyahmu. Sementara itu, kau diam-diam melunakkan lidahku yang lumpuh dan tidak mungkin berkata lagi. Tentang cintamu yang kau katakan, sungguh, aku percaya. Tentang cintaku yang kukeram dalam mulut gigil ini, aku muram. Pada masa-masa yang telah kau siapkan untuk bersiul, aku cukup mendengar. Walau demikian, ku meniup di dalam perut. Sesaat lagi kau ku sentak, ku ajak memetik sulur-sulur cinta. Itulah ekspansi yang bisa kujanjikan untukmu. Esok kau akan lihat, aku tidak berlayar bersama orang lain. Hanya kau yang kuminta menemaniku, menatap sulur-sulur cinta yang merimbunkan benua baru.

Keajaiban Dunia Cinta

Sudah tidak ada waktu menjemputmu. Aku hanya ingin bermain-main dengan dedaunan yang sejak sore telah tertangkap cahaya senja. Aku mungkin terlalu sibuk mengintaimu. Mataku sampai tidak berkedip. Aku yakin kau bisa tertangkap oleh kedua tanganku. Itulah sebabnya aku duduk di bawah sebuah pohon, sambil merenggut akar-akar yang muncul ke permukaan tanah. Aku ingin tahu, apa kau benar-benar lenyap bersamaan dengan hadirnya malam di mataku? Yang kutahu, keajaiban dunia cinta telah mengantarkanku kepada kedipan mata terakhirku. Itulah waktu yang paling menjanjikan bagi kita, terang dan gelap. Kau membuat aku tidak bisa menjemputmu, sebab teramat nikmat aku menatapmu. Kau menari-nari di antara debu yang terjungkal ke tipuan gelap. Lantas, itulah suatu hari yang membuatku bahagia.