Selasa, 18 Mei 2010

Gigit Adat

Oleh Luh Arik Sariadi

Nari namaku. Harus kutinggalkan rumahku. Rumah yang isinya kedok bagi penggosip. Aku terbiasa mendengar gosip tentang si anu dan si ini. Selanjutnya yang kudengar adalah gosip tentang keluargaku. Gosip tentang berbagai hal yang memilukan tentang penggusuran tanah mertuaku.
Gosip melalui celah yang tidak lagi bisa menghamburkan cahaya. Gosip begitu saja menyebarkan kata-kata di antara tetangga yang terlalu lama terombang-ambing oleh kata reformasi. Gosip tidak henti-hentinya berpikir untuk mengacaukan keamanan. Gosip juga merampas waktu istirahat tidur siang. Rasanya tidak ada lagi waktu, kecuali untuk bergosip.
***
Mulanya yang digosipkan adalah tentang kehadiran keluargaku di desa Yeh Tegeh. Sudah bertahun-tahun kami menetap di tanah ini. Sejak gunung agung meletus, eh, sejak jaman PKI tahun 1965. Kebetulan kakekku bukan orang yang diberi garis merah. Keluargaku bergaris kuning karena sungsunganku bergaris kuning. Aku dan keluargaku adalah warga pendatang yang mengabdi di sebuah puri dengan bendera kuning. Di mata warga kakekku sangat baik karena berusaha berputih senyum di hadapan Ratu. Kakekku mendapat kepercayaan kira-kira sudah 25 tahun. Saat itu, barangkali aku belum lahir. Dengan bantuan kakekku, puri selalu menyantuni orang-orang tua yang miskin atau sengaja dimiskinkan oleh penguasa.
Puri tempatku bermain, tempatku memiling bunga rumput kapas. Aku bermain-main dengan lumpur di antara sapi yang dicamuk. Pekerjaanku menangkap belalang dan segera menyantapnya mentah-mentah. Ada beberapa kawan yang geli melihat aksiku, tetapi aku harus tetap melakukannya karena aku harus menjaga putik padi dari sengatan belalang.
Aku adalah cucu seorang abdi di rumah seorang pembesar di desa yang tampak kering. Musim kering, hanya di sawah Ratu Lingsir setetes air riang menghibur liat. Setiap tiga bulan, selalu memanen kelapa. Ah, aku hanya seorang cucu, tetapi tugasku adalah mengawasi warga yang datang dan berpura-pura ingin membantu. Abdi-abdi tidak rela kalau pekerjaannya diambil alih oleh seorang warga dari luar puri. Makanya, aku selalu berjaga dengan membawa cerita bahwa yang mendekati puri saat panen kelapa akan ditembak oleh Ratu. Aku merasa tanah itu adalah tanah keluargaku karena kami sepanjang hari menghabiskan setiap detik dengan alam itu.
Ratu, lelaki tua dengan kepala licin. Ia mengusap-usap rumah kumisnya yang kosong belanga. Kalau ia sudah datang, aku pun akan bersembunyi di balik kain nenekku. Anak-anak kecil sebayaku, teman SD-ku serentak tidak menyentuh apapun di puri. Itu semata-mata karena aku yang menyebar gosip bahwa kami yang ketahuan mengambil sesuatu dari puri akan ditembak. Eh, itu juga aku dengar dari kata kakek ketika terdengar suara senapan angin meletus di angkasa.
Usiaku 25 tahun. Sekarang aku telah berhenti menjadi penggosip di rumahku. Tiba saatnya kami digosipkan. Aku, bapakku, ibuku, nenekku, mertuaku, dan teman-temanku yang mampir selalu menjadi siaran ulang di setiap gang. Aku tidak tahu, apa yang mereka bisikkan. Aku tidak bisa ikut menjadi penggosip karena terakhir aku mendengar bahwa mertuaku terlibat penggelapan tanah desa. Kalau aku pulang dari tempatku memetik kangkung, mata mereka selalu pergi dan datang seenak hati dengan penuh benci. Ingin rasanya mengetahui apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Namun sia-sia, aku hanya seorang buruh pemetik kangkung di tepi sungai dekat muara kali di ujung laut.
Ada teman sekelasku waktu di SD mengatakan bahwa keluargaku tersiar sebagai keluarga korup. Aku bimbang, dari mana gosip itu merebak? Katanya lagi, aku adalah sisa-sisa kekuasaan Ratu. Duh, Ratu, perca apa yang kau siapkan untuk keringat kami? Baunya tidak ketahuan, tetapi rasanya pedas dan melumat hati keluargaku? Di dunia ini, kau adalah pahlawan, nian hilang usiamu, kuasamu pudar.
”Pak, maaf nggih. Saya dari pihak desa adat hanya ingin mendata tanah yang Bapak tempati”, kata pesuruh desa.
Ayahku segera memangilku. Ia memintaku memfotokopi sebuah kuitansi. ”Foto kopi di koperasi desa.” suruh ayahku di hadapan pesuruh desa.
Aku bergegas menuju ke tempat yang direkomendasikan. Aku membacanya. Yang digandakan adalah kuitansi pembelian hak guna pakai yang ditandatangani oleh mertua dan bapakku. Jumlah nominalnya adalah enam juta rupiah. Jumlah itu tercantum untuk membeli hak guna pakai sebuah tanah. Aku tahu bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah yang di atasnya berdiri sebuah dapur dan kamar mandi. Sekarang tanah itu telah menjadi dapur yang mewah dan kandang peternakan dua ekor babi. Ayahku mempermaknya untuk calon menantunya dan untuk lapangan pekerjaan baru diusia tua.
Aku sudah selesai menggandakan kuitansi itu. Petugas desa itu segera pergi dengan selembar kuitansi yang palsu. Aku bertanya kepada ayahku, ternyata ayahku menolak memberi keterangan. Yang sendu hanya gelisah dari tetanggaku. Mereka mungkin saja menguping pembicaraan ayahku. Atau sekadar membaca percakapan mata dan bibir tanpa suara. Aku berpura-pura tidak tahu agar ada yang bergosip lagi ke rumahku, tetapi sia-sia. Mereka tidak mau lagi berbagi kata dengan keluargaku, apalagi bercerita tentang tanah mertuaku.
Aku Nari, seorang penari joged mulanya, selanjutnya disebut pemetik kangkung setiap sore. Aku dinikahi oleh seorang anak pedagang batu permata. Yang memakai cincin bermata besar di kesepuluh jarinya adalah mertuaku. Ia satu-satunya orang tua yang kaya cincin. Kalau makan ia selalu pakai sendok. Sepeninggal suamiku aku tetap menuntun seorang anakku di rumah mertuaku. Kalau ada yang mencari urusannya lebih penting dari makan. Yang datang memang saudagar tanah. Mertuaku tidak suka berbisnis di dalam rumah. Ia lebih memilih dibonceng dan dibawa keluar oleh tamunya. Entah ke mana. Ia kembali dengan pisang goreng untuk anakku.
Tamu biasanya datang siang hari. Ayahku adalah tamu yang datang malam hari. Ayahku pun datang bukan kehendak hatinya. Sebelumnya mertuaku memintaku untuk menyampaikannya kepada ayahku. Karena itulah ayahku datang. Malam tidak biasa menerima tamu. Malam tidak ada bisnis di mertuaku. Malam adalah waktu santai di ranjang penyalin.
”Duduk,” kata mertuaku.
Ayahku duduk. Ia menyuruhku membuat kopi.
Kali ini aku tidak ingin kehilangan gosip. Aku ingin tahu apa yang dibicarakan oleh kedua lelaki. Aku takut kalau aku ingin dipulangkan ke rumah orang tuaku karena semalam aku telah menerima tawaran menari lagi. Sebelum meninggal karena sakit, suamiku tidak keberatan asalkan untuk anak kami, tetapi siapa tahu mertuaku keberatan.
”De, kemarin aku mendengar bahwa pesuruh desa datang ke rumahmu. Ada apa dia?” gerutu mertuaku kepada ayahku.
Ayahku gugup. Ayahku lebih muda daripada mertuaku, kira-kira sepuluh tahun. ”Saya tidak tahu, eee”
”Tidak tahu bagaimana? Aku dengar kamu sendiri yang menemani pesuruh desa itu di ruang tamu, benar?”
”Ya benar. Eh, saya tidak tahu dari mana ia tahu kalau saya telah membeli sebidang tanah Bli”
”Maksudnya, mereka sedang menyelidiki tanah itu?”
”Ya. Mereka meminta kuitansi. Mang!” Segera ayahku memanggilku. ”Belikan Bapak rokok”, katanya. Aku pergi.
Warung-warung tutup. Hanya ada mini market yang buka. Aku memohon agar bisa membeli sebatang rokok di sana. Dengan sedikit memelas, ada seorang pemuda juga membantuku memohon agar diizinkan membeli sebatang saja. Hah, aku harus membeli sebungkus. Kunsumtif! Dengan sengol kanan dan senggol kiri, ya, aku dikasi sebatang rokok oleh pemuda itu. Aku masih memikirkan apa yang sedang dibicarakan dua lelaki tua di rumahku. Aku segera pulang. Ayah sudah tidak ada. Kata mertuaku aku terlalu lama membeli rokok. Aku segera tidur.
Keesokan harinya, kepala desa, kelian desa, dan datang melipun keluargaku. Wartawan dari Bali, dari Jawa, bahkan wartawan yang berbahasa Inggris mengambil foto dan sempat meminta keterangan. Mertuaku digelandang beramai-ramai. Katanya mertuaku sering menjual tanah desa semasa Ratu Lingsir hidup. Ayahku juga digelandang. Rumah yang membesarkanku telah disita desa.
Penduduk tampaknya tidak heran. Rupanya mereka tahu bahwa ayahku dan mertuaku adalah abdi setia Ratu lingsir. Mereka mengatakan bahwa Ratu Lingsir pernah melakukannya kepada kepala desa kami yang sekarang. Ada yang mengatakan hukum karma pala. Ada pula yang mengatakan bahwa kepala desa yang sekarang adalah keluarga yang diberi garis merah, jadi bukan rahasia lagi kalau kami digelandang juga, diperlakukan sama seperti ketika aku kecil. Ketika aku menarik danyur dan melarang kawan lain, terutama teman sekelasku untuk menyentuh seutas danyur sekalipun.
”Ini perlakuan tidak adil. Adat sudah tidak adil! Aku lebih baik pindah agama!” kata mertuaku. Watawan merekam dengan baik momen itu. Dengan ekspresi marah luar biasa, fotonya pasti jelek. Terus saja mereka menggelandang keduanya. Ada beberapa kaur desa yang membuka segel untukku.
Beberapa tiga puluh menit peristiwa penting telah terjadi di desaku, penangkapan ayah dan mertuaku. Di pangkuanku, tangis tak habis-habis. Koran lokal bergambar foto mertuaku dan orang yang tidak kukenal terlihat di halaman pertama. Judulnya adalah Gigit Adat: Sedia Jual Tanah.”
Namaku Nari, kebetulan aku adalah seorang penari, idaman para penduduk desa, karena itu aku tidak digelandang ke penjara. Namun, aku tidak tahu bagimana besok ketika di leherku bercokol kalung dari sisa-sisa daging kekuasaan Ratu dan darahku terlihat kuning, karena itu aku harus pergi dari puing-puing kata mertua dan ayahku, ”Pindah Agama” untuk sekadar mempertimbangkan barangkali.

Tukadmungga,2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar