Selasa, 01 November 2016

Cerpen Raudhia

Menjadi Tekstur di Kertas Double Folio
Karya Raudhia Azhary Nurmadina

Malam semakin kusut. Tugas-tugas di atas meja berhamburan karena sebuah double folio putih di meja belajarku yang harus kutulisi. Malam semakin larut dalam kesepian yang begitu mendekap. Air yang ditebar bulan perlahan menyusup di jendela mungil kamarku.
Aku nyaris tidak berani menatap lebih lama lagi double folio yang kini tengah duduk di atas meja belajarku. Double folio yang masih suci dengan warna putih yang melindungi tubuhnya harus kuiisi dengan bolpoint. Aku menggenggam erat berbagai kisah pada jemariku. Jemariku kaku dibuatnya. Entah apa yang harus kutulis di dalam double folio sebab terlalu banyak cerita yang hendak keluar secara bersamaan. Aku sungguh gelisah memikirkan kata demi kata yang harus kurangkai untuk mengenakkan beberapa peristiwa dalam selembar kertas. Apabila kertas itu sudah terisi penuh, akan ada harapan besar orangtuaku yang aku hancurkan. Akan ada noda hitam yang begitu besar mencoreng nama besar keluargaku akibat double folio itu.
Kenangan pahit itu kembali menggelayuti pikiranku. Kenangan yang membuat hidupku berasa tak berarti lagi kini. Sejenak aku kembali ke masa-masa itu.
 ***
Namaku Calista Angel Hadinata. Teman-temaku sering memanggilku dengan Angel. Aku salah satu siswi SMA di sekolah ternama di kota ini. Aku bisa masuk di sekolah itu bukan suatu kebetulan, tetapi karena sejak SMP dulu atau bahkan ketika di bangku sekolah dasar aku merupakan salah satu siswa berprestasi. Beberapa kali sekolah mempercayaiku untu mengikuti berbagai jenis lomba dan aku sering menggondol piala demi piala untuk sekolahku tercinta.
Aku memiliki orangtua, pengusaha sukses di kotaku. Dari kerja keras yang mereka tunjukkan membuatku menjadi manusia yang selalu bekerja keras untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik lagi. Walaupun mama dan papaku merupakan pengusaha ternama, tetapi tak lantas membuat mereka menjadi orangtua yang kurang memberikan kasih sayang terhadap putri semata wayangnya. Setiap malam mulai menunjukkan dirinya, kedua orangtuaku selalu menyempatkan waktu untuk makan malam bersamaku. Di tengah kesibukan bisnis yang membayangi hari mereka, mereka selalu berpesan terhadapku agar selalu bisa menjadi putri kebangaan mereka. Dengan keyakinan aku selalu mendengarkan perkataan mereka untukku.
Entah berapa kicau burung yang terekam di telingaku, entah berapa kali sudah lonceng berbunyi untuk memanggilku kembali ke dalam kelas, dan entah berapa tepuk tangan menyambutku saat namaku disebut di lapangan upacara sebagai siswa berprestasi. Aku tengah berada di masa-masa tersibuk dalam mengenyam penididikan jengjang SMP. Bagaimana tidak, selain sibuk mermpersiapkan diri untuk menghadapi UN siswa-siswi kelas IX juga tengah terbebani agar nilai UN mereka bisa memuaskan sehingga bisa membantu mereka untuk masuk ke sekolah yang mereka impikan. Aku juga tengah giat berusaha untuk dapat masuk ke sekolahan yang sudah aku impikan sejak dulu.
“Hasil tertinggi Ujian Nasional tahun 2017 di SMP Harapan Karawang, sekaligus menjadi nilai tertinggi kedua tingkat nasional diraih siswa atas nama Calista Angel Hadinata dengan total raihan nilai 39,00.”
Aku tidak percaya dan amat bahagia ketika mendengar namaku disebutkan oleh kepala sekolah. Hal itu sontak membuat hatiku seolah membentangkan pelangi yang begitu indah di dalam bola mataku.  Yah dengan hasil gemilang, membuatku menutup pendidikanku di jenjang SMP dengan manis atau bahkan dengan sangat manis. “Terimaksih Tuhan.” kuucapkan dengan terharu.
Lonceng di SMP digantikan dengan bel listrik. Setiap tanda masuk sekolah bel secara otomatis memperdengarkan nyanyian Indonesia Raya dan  mars sekolahku. Masa putih biruku telah usai dan beralih ke masa putih abu. Bila sebelumnya aku melewati hari-hariku bersama kedua orangtuaku, kini aku memtuskan belajar hidup mandiri yakni memilih untuk hidup dan tinggal seorang diri. Aku memilih untuk kost bukan karena kedua orangtuaku sudah tak sayang lagi denganku, tetapi karena aku ingin bisa berlatih mandiri. Bila sebelumnya segala kebutuhanku sehari-hari disiapkan oleh bibi, di tempat kostku, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Tak hanya itu aku juga ingin keluar dari zona nyaman yang selama ini membelenggu diriku.
Aku mulai melewati hai-hariku dengan menjadi anak kost. Ternyata hidup sendiri itu tidak semudah yang ada dalam benakku, tetapi hal itu tak lantas membuatku menyerah. Justru hal itu membuatku lebih bersemangat meraih prestasi.
Aku punya teman baru bernama Jorji. Aku dengannya sudah seperti seorang saudara walaupun kami belum lama kenal. Kami selalu bersama mengikuti berbagai kegiatan OSIS. Tak hanya itu saja, Tuhan juga seolah punya skenario yang amat indah. Aku dan Jorji tak hanya menjadi teman di sekolah saja, tetapi di kost pun kita masih berteman dekat karena letak kamar kami bersebelahan. Aku dengannya juga mulai berbagi kisah satu sama lainnya. Kami juga saling menceritakan salah satu rahasia. Aku begitu nyaman bila bercerita dengannya. Aku seperti mendapatkan saudara. Dengan adanya Jorji aku bisa berjalan kaki menuju sekolah sambil memungut sampah plastik di sepanjang jalan yang kami lalui. Kami memungut sampah hanya untuk datang tepat waktu ke sekolah, sebab kami berangkat terlalu pagi karena tidak ada kegiatan di tempat kost.  Karena itulah, aku dan Jorji dinobatkan sebagai siswa pecinta lingkungan oleh sekolahku.
Seiring dengan berjalannya waktu, masa SMA tidak sepenuhnya menjadi masa-masa yang indah. Aku mulai merasakan suatu titik jenuh. Aku mulai bosan dengan kegiatan yang aku lakukan seperti, belajar dan terus belajar agar nilaiku bisa memuaskan dan tetap bisa menjadi kebanggan kedua orangtuaku. Tak hanya jenuh dengan kegiatanku saja, namun masalah yang serius mulai muncul. Bisnis kedua orangtuaku perlahan mulai goyah dan menurun. Persaingan antar negara semakin sulit. Setiap orang bisa bekerja dan membuka usaha di negeri orang. Tampaknya, papaku tidak siap dengan segala itu. Keperluan mamaku juga sudah tidak bisa dipenuhi lagi dengan usaha carut marut. Mama dan papaku sedang resah dengan permasalahan, aku pun resah dengan kemandirian semu. Aku hanya pindah tempat tidur, sementara biaya hidup masih ditanggung orangtuaku. Dengan kehancuran bisnis papaku, aku mulai menyadari bahwa aku tidak pernah belajar mandiri.
Aku mulai menjadi seorang manusia yang tak lagi memiliki suatu tujuan hidup yang harus diperjuangkan. Aku sibuk memikirkan usaha yang bisa menghasilkan uang, tetapi aku tidak pernah mencobanya karena tidak begitu yakin akan berhasil. Aku mulai malas belajar dan nilai-nilaiku mulai turun secara drastis. Aku tidak mempedulikan itu lagi. Aku merasa orangtuaku sudah tidak sayang lagi kepadaku sebab mama dan papa tidak mengirimkan uang yang cukup untuk uang saku di sekolah ternama.
Aku mulai menceritakan segala hal yang aku rasakan kepada Jorji. Jorji dengan setianya mendengarkan segala keluh kesahnya. Dadaku sesak karena tidak kuasa menjalani hidup. Jorji mendekapku dengan kasih sayang. Setiap hari, semakin keras sesak dadaku. Rasanya hanya dekapan Jorji yang mampu melenyapkan penderitaan.
Jorji mengetuk pintu, aku membuka pintu dan membiarkan dirinya mendekapku. Jorji mejelaskan bahwa dirinya tidak ada apa-apanya. Yang sesungguhnya adalah segelas air yang dicampur obat, dan air itulah yang menenangkanku, sebab sehabis didekap oleh Jorji, aku selalu diminta minum segelas air. Aku menjadi pecandu yang sudah tidak puas dengan campuran air dan obat terlarang. Aku memerlukan obat dengan dosis yang lebih banyak lagi. Aku meminta Jorji memberiku obat yang lebih banyak untuk menghilangkan sesak dan gelisah. Jorji memperkenalkan suatu alat yang bisa membuatku merasa lupa dan sedikit lebih tenang dalam menjalani segala masalah yang ada di dalam hidupku.
Setelah Jorji mengenalkan aku dengan alat dan benda itu, aku merasa menyatu dengan tubuhku, aku mendapatkan rasa yang begitu nyaman dan tenang. Tidak ada lagi orang yang bisa memengaruhiku. Hanya aku seorang yang bisa menenangkan diriku. Aku tidak lagi membutuhkan dekapan Jorji asalkan alat suntik dan obat itu ada bersamaku. Setelah aku menyintikkan obat itu di tanganku, maka tidak ada orang yang bisa menyakitiku. Aku sangat kuat bahkan jika mama dan papaku tidak bersama lagi, aku yakin bisa bertahan hidup.
Akan tetapi kekuatan itu tidak bertahan lama, aku aku menjadi manusia yang ketergantungan dengan alat dan benda itu. Bila aku tidak mengkonsumsi barang haram tersebut aku merasakan sakit kepala yang begitu luar biasa hebatnya, mendera di kepalaku bagai ledakan bom atom. Aku mulai melakukan apapun untuk mendapatkan kekuatanku kembali.
Dekap langkah kaki orang di luar kamar kostku samar-samar terdengar di kedua telingaku. Tanpa niat untuk memperdulikan suara itu, justru kulanjutkan tingkahku. Di dalam ruangan bagai surga untukku. Aku tengah itu sibuk berada di salah satu sudut kamar yang menajadi tempat favoritku, dengan kedua alat yang begitu berharga untuk hidupku. Dari kedua alat sederhana itu aku menggantungkan kebahagiaan di dalam hidupku. Ketika alat itu bersatu bersama tubuhku aku mendapatkan sesuatu yang sangat nikmat untuk kulitku dan lubang hidungku. Kedua alat tersebut adalah jarum suntik serta alat penghisap barang haram yang hampir dua setengah tahun ini kubawa  di dalam saku celana dalamku.
Jorji selalu membawakan obat itu dan memberi semenit dekapan. Aku tidak puas dengan dekapan itu karena sudah tidak berarti lagi. Aku meminta Jorji membawakan laki-laki lain untuk menyayangiku lebih darinya. Setiap laki-laki yang datang mendekapku selalu memberi kekuatan, tetapi aku ingin lebih. Untuk mendapat alat dan obat terlarang aku harus bersedia didekap oleh laki-laki yang tidak kukenal. “Bukankah aku memerlukan kasih sayang?” begitu pikirku untuk menyenangkan Jorji.
Aku tidak berprestasi lagi.  Beberapa kali  aku mengkonsumsi dan menggunakan barang haram tersebut di salah satu pojok kamar mandi sekolah yang menjadi tempat favoritku. Setiap jam istirahat tiba aku mulai beraksi dengan barang dan alat haram tersebut. Secara perlahan aku mulai menyuntikkan suatu cairan ke dalam tubuhku. Ketika cairan itu sudah menyatu dengan darah yang terdapat di dalam tubuhku, aku membawa diriku melayang dan melupakan masalah yang aku hadapi. Tak hanya sampai di sana, jika cairan itu sudah menyatu bersama nadiku, aku tidak takut lagi kalau guruku marah karena aku tidak bisa berhitung lagi. Aku lupa cara menyatukan huruf-huruf agar bisa kubaca. Aku perlahan mulai menebar bubuk dan kemudian menghirupnya menggunakan alat hirup mungil yang aku miliki hanya sekadar untuk melupakan bahwa diriku telah menjadi orang idiot. Hal yang aku rasakan setelah menghirup bubuk tersebut adalah aku tidak lagi melihat wajah mama dan papa yang sedang bertengkar. Aku juga lupa dengan wajar Jorji yang polos. Aku tidak bisa menyapa guru atau teman yang melintas di hadapanku. Aku merasa hidup sendiri dan bahagia. Aku tidak memerlukan orang lain, kecuali alat hisap dan alat suntik narkoba.
Suara sepatu kayu samar-samar mendekat, sekilas terdengar di telingaku dengan mengetuk-ngetuk lantai. Seorang wanita berperawakan cantik menggiringku ke ruang kepala sekolah.Sedikitpun aku tidak merasa malu digiring ke ruang kepala sekolah. Aku tidak melihat jelas wajah para guru. Yang kuingat hanya satu wajah polos, Jorji.  Seseorang yang sudah kuanggap bagaikan saudara sendiri. Hanya dia yang menyelamatkan aku dari penderitaan. Semua orang hanya mengejekku.
“Apa yang kamu lakukan Angel?” tanya kepala sekolah.
“Tidak! Jangan panggil aku dengan sebutan Angel!”
Kudengar guru-guru berbisik-bisik, mungkin menganggapku gila. Aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin dipanggil dengan nama Angel. Kedua orangtuaku memberikanku nama Agel agar kelak aku juga bisa menjadi seorang “Angel” dalam kehidupan mereka. Namun, justru aku mempermalukan dan membuat kecewa keluargaku dan diriku sendiri. Aku bukan Angel lagi. Tidak ada orang yang berhak memanggil namaku. Hanya ketika Jorji datang, dia harus memberi nama baru kepadaku.
Jorji tidak datang ke ruangan ini. Aku telah diejek. Tampak bibir mereka monyong dan miring ke kanan dan ke kiri. Aku begitu jengkel, tetapi obat telah membuatku menjadi lebih tenang. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Sejenak, kudengar suara bel dengan lagu yang sangat indah memintaku masuk kelas. Aku berabjak dari tempatku duduk.
“Berhenti Angel!” kata kepala sekolah.
“Jangan panggil namaku!” jawabku dengan ketus.
“Lalu bagaimana kami memanggilmu?”
“Tidak usah dipanggil, aku mau belajar di kelas. Ibu guru Bahasa Indonesia sudah menungguku di kelas.”
Semua orang tertawa dan aku semakin marah kepada mereka karena telah menertawaiku yang sedang serius ingin belajar.
“Berhenti!” kata kepala sekolah yang duduk paling berbeda di atas kursi empuk.
Aku tidak berhenti. Para guru menangkapku.
“Ada yang berbeda dari kelakuanmu, kamu tahu itu?” kata kepala sekolah kepadaku saat kedua tanganku dipegang beramai-ramai.
“Berhenti bersekolah di sini atau kamu akan kami bawa ke polisi kalau tidak memperbaiki kelakuanmu!” kata kepala sekolah membisiki telingaku.
Aku ingat bahwa sekolah tidak boleh memcat siswanya dengan alasan apapun. Aku dengar dari rapat-rapat. Saat itu aku masih menjabat sebagai ketua OSIS dan kami mempersiapkan peralatan rapat juga mendokumentasikan kegiatan rapat. Aku paham maksud kepala sekolah bahwa sebelum aku dipecat, aku harus memundurkan diri.
***
Tanpa menunggu pemecatan surat dari sekolah, aku berinisiatif untuk menuliskan surat pengunduran diri. Mungkin benar kata mereka bahwa aku menyalahkan orang lain demi keinginanku sendiri. Mungkin aku hanya mengkhayal, sebab penyelidikan sekolah tidak menemukan apapun di kamar kostku, kecuali kamar yang berantakan, alat suntik dan obat terlarang. Namun, karena kepala sekolah tidak ingin sekolahku masuk koran, sungguh beruntung aku tidak dilaporkan ke polisi. Perjuangan yang sesungguhnya baru kumulai. Aku harus membuat surat pengunduran diri tanpa cerita yang mencemarkan nama baik sekolah, Jorji, atau orangtuaku.
Aku bingung harus menulis apa? Alasan apa yang harus kugunakan untuk memundurkan diri? Jika kukatakan bahwa orangtuaku sudah tidak sanggup membiyayai sekolahku, tentu sekolah akan memberiku beasiswa dan aku harus tetap sakau di kamar mandi setiap jam istirahat – jelas itu dilarang! Jika aku mengatakan bahwa aku bosan belajar di sekolah itu, tentu itu berarti ada yang tidak beres dengan sekolahku sehingga aku tidak betah belajar. Jika kukatakan bahwa aku malas belajar, tentu orangtuaku akan sangat bersedih karena hanya aku satu-satunya alasan mereka bertahan untuk tidak bercerai dan mereka punya harapan agar aku bisa memperkuat usaha mereka yang dimulai dari nol.
Aku rindu kisah lampau. Sayangnya, double folio telah menunggu sebuah kisah baru. Kisah apa yang harus kuceritakan kepada kepala sekolah, para guru, teman-temanku, dan kedua orangtuaku pada selembar surat pemunduran diri? Tidak ada kisah yang bisa kuceritakan sebagai alasan pemunduran diri. Wajahku kusut. Kisah itu larut menjadi te





SEKOLAH : SMK NEGERI 3 SINGARAJA
ALAMAT : JALAN HASANUDIN  SINGARAJA