Kamis, 27 Januari 2011

Lakon Pendek, Nung...Neng...

Nung…Neng…
Lakon Pendek untuk Monolog
karya Luh Arik Cahaya

LANGIT TERUS MENERUS GELAP DAN GELAP ITU JUGA YANG MEMUDARKAN CAHAYA, MAHASISWA (20 TAHUN) YANG KEBETULAN MENGADAKAN PENELITIAN TENTANG KISAH JAYAPRANA- LAYON SARI DI DESANYA SENDIRI . HUJAN TURUN RINTIK-RINTIK MEMBASAHI SPANDUK-SPANDUK YANG DIPASANG SAAT HUJAN KEMARIN. SPANDUK-SPANDUK YANG BERTULISKAN SLOGAN-SLOGAN CALON KEPALA DESA, BEBERAPA TELAH JATUH KARENA SEMALAM HUJAN LEBAT DISERTAI ANGIN KENCANG MENGGOYANGKANNYA SAMPAI ALING. DENGAN SEMANGAT NASIONALISME YANG TINGGI TERHADAP BANGSA INI, CAHAYA MENCOBA MEMASANG KEMBALI SPANDUK ITU. BAGINYA, APAPUN PARTAI CALON KEPALA DESANYA KELAK, TETAPLAH KEPALA DESA ITU SEORANG PEMIMPIN. KALAU SUDAH TERPILIH, PASTILAH KEPALA DESA ITU MEMANG BENAR ORANG YANG DISEGANI DAN DIPERCAYA MAMPU MEMBAWA DESA INI MENJADI LEBIH BAIK.

LAMP FADE IN
CAHAYA MENGEJA LIRIK LAGU YANG SEDANG DITELITINYA.
CAHAYA : Nyoman Jayaprana,
prasida suba anake buka Nyoman ngalih ane madan jatu karma
apan ragan Nyomane suba madan pradnyan
sing sandang liu anake buka gelah miteketin
Gelisin Nyoman....
Hujan yang lebat ini pertanda apa Hyang Widhi? Berminggu-minggu hamba di sini meninggalkan pekerjaan untuk meneliti. Mungkinkah Hyang Kuasa tidak merestui penelitian hamba? MEMASANG SPANDUK PADA KAYU. Saya sangat paham bahwa memang sudah menjadi kewajiban saya membuat skripsi ini. Oleh karena itu, saya harus tulus melakukannya. Hamba tahu Tuhan. Akan tetapi, tidak mungkin hamba terlalu lama di sini. Desa ini tidak punya apa-apa untuk orang seperti saya yang hendak memperbaiki hidup demi masa depan. Ayah hamba walau bersusah payah bekerja menjadi pencari aren, tetap saja uang yang dikumpulkannya tidak cukup untuk biaya sekolah hamba di kota.
Tuhanku, hamba kurang paham, mengapa desaku ini semakin mundur saja. Seperti sudah hilang semua kehidupan di desa ini.
Spanduk-spanduk sudah dipasang untuk meramaikan pemilihan kepala desa, tetapi tetap saja desa ini sepi. Di kota, spanduk-spanduk dipasang itu berarti akan ada pesta besar. Lalu, banyak manajer menawarkan penyanyi atau penari agar bisa memeriahkan pesta itu. Kalau pesta besar, tentu semua orang sudah tahu, bahwa semua seniman yang kondang akan diundang. Semua dapat pekerjaan. Ada yang membuat hiasan panggung, ada yang latihan menari, ada yang mempersiapkan makanan, dan semua itu dilakukan di sekotar spanduk yang dipasang. Para pedagang kecil akan berjualan walau dipungut biaya keamanan. Kalau sekarang saya menghadapi desa seperti ini? Tentu saya tidak betah berlama-lama di desa, AGAK MALU-MALU walaupun sesungguhnya saya dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Di kota, walau saya hanya bekerja sebagai penjaga cafe, saya mampu membayar kuliah sendiri, bahkan lebih dari cukup hingga saya bisa mengontrak rumah kecil di pinggir kota. Sekarang, saya pulang untuk meneliti Jayaprana-Layon Sari yang sering diceritakan dalam Sendratari. Sebetulnya, saya tidak begitu tertarik menggarap skripsi ini, tetapi saya merasa harus menelitinya karena saya harus memiliki rasa cinta terhadap daerah. Itu kata dosen saya. Tentu orang tua saya mengetahui bahwa saya selalu menghalalkan segala cara yang tidak merudikan orang untuk meraih kesuksesas saya. Maka itu, orang tua saya sependapat dengan saya.
AGAK KECEWA. Saya sudah tidak pacaran selama sepuluh tahun untuk karier saya, jadi... tidak mungkin saya membiarkan desa yang sepi ini menggagalkan karier saya. Saya ingin punya ijazah sarjana, lalu saya akan mendapatkan pekerjaan yang disukai oleh hati nurani saya. AGAK ANGKUH. Tapi, hati nurani saya paling pantang dihina.
BLACK OUT

DI HADAPAN CAHAYA, LAMPU HEMAT LISTRIK DENGAN WARNA PUTIH MENJADIKANNYA CAHAYA. BULAN BERULANG-ULANG DILAMAR OLEH KAWANAN KELELAWAR. RUMAH YANG MELINDUNGI CAHAYA DIKELILINGI KELELAWAR YANG GELISAH MENUNGGU JAWABAN BULAN. CAHAYA BERNYANYI UNTUK MENCARI ARAH AGAR TERANG SEMUA GELAP. KALI INI LAGU DICIPTAKANNYA UNTUK ORANG-ORANG YANG MENGHINANYA.
Nung....Neng....Nung...Neng....
Dug....dug...deg..dug...deg....gembel
Basa lalah, basa genep
maakah basang seneb
Yen moros, base pamor
Men boros, saje ngenyor
CAHAYA : Hidup itu sangat sederhana. Aku pikir desa ini telah mati. Ternyata baru menjelang ajal. Aku saja yang terlambat menyadari. Desa ini lebih ramai dari perkiraanku. Pepohonan yang menasihati burung-burung, kupikir mampu juga menyentuh hati penduduk supaya damai berada di tempat ini. Huh, ternyata....Empat tahun kutinggalkan, desa ini seperti kota saja. Ada juga preman. Terikan kelelawar pada malam hari tidak seganas teriakanku, tetapi tidak juga ada yang mendengarku. Teryata aku salah menilai. Hanya karena aku memungut selembar sepanduk dan memasangnya kembali, aku dinilai memihak entah siapa. Entah berhadapan dengan siapa aku ini? Aktivis seperti aku, selalu lolos dalam pengejaran intel, kini desaku sendiri yang berkhianat, menyandraku karena dianggap mampu mengubah iklim politik di desa ini. Ah, kalian salah! Aku tidak bekerja untuk hal-hal sepele seperti ini! Aku bekerja untuk hal-hal besar! Untuk tenaga kerja! Untuk hubungan kebudayaan! Untuk kesenian! Utamanya untuk kemanusiaan! Kalian dengar?

CAHAYA MENCOBA MENEROBOS DINDING KAMAR YANG GELAP. CAHAYA BERTERIAK SEMAKIN KERAS SUPAYA KELELAWAR JUGA BERTERIAK DAN ORANG-ORANG DI DESA ITU MENDENGAR BAHWA DIRINYA BERADA ENTAH DI MANA.

BLACK OUT Selesai

Lakon Pendek, Ni Tunjung Biru

Ni Tunjung Biru
oleh Luh Arik Sariadi

Sebuah desa, Alaswana. Pepohonan adalah rumah bagi kehidupan. Burung-burung berkicau. Matahari menembus ilalang tidak pasti. Cacing hidup di tanah subur. Asap kayu baker sangat wangi menebarkan sunyi ke seluruh padukuhan. Inilah rumah bagi gadis-gadis yang tidak mungkin melangkah ke sekolah.

Ni Tunjung Biru anak pertama dari Ni Pucung dan I Sundih. Wajahnya cantik dan menawan banyak laki-laki. Namun, ada kebiasaan buruk yang dipertimbangkan oleh banyak laki-laki sehingga berpikir ulang untuk menerimanya sebagai pasangan seumur hidup. Ni Tunjung Biru selalu membawa bantal guling ke mana-mana. Bantal yang telah bertahun-tahun tidak pernah dicuci adalah kenangan yang paling indah baginya karena merupakan satu-satunya peninggalan ibunya sebelum meninggal.

Inilah kenangan, sulit dilupakan. Bantal Guling itu adalah pemberian ibu. Kawanan peri telah mengantarkannya hingga tidak mungkin diberikan kepada orang lain. Sebelum peri itu memberikan bantal itu, mereka menyeberangi sungai pikiran yang aralnya sangat dahsyat. Lalu, peri-peri itu menari di angkasa, alam mimpi yang tidak pernah terpecahkan.

Sound in stage. Ni Tunjung Biru bernyanyi di halaman dengan membawa bantal.
Ni Tunjung Biru : Pang ping pang, keladi gadang keladi kuning, ede ngejuk icing, icing enu bajang cerik. Salak likawana, timun likangina, galak ne luana, kimud ne muanina.

I Sundih : (DATANG DENGAN AMARAH) Sudah! Berhentilah bernyanyi yang bukan-bukan.
Ni Tunjung Biru : Bukan-bukan? Maksudnya?
I Sugih : Kamu sudah dewasa. Cobalah mencari kerja ke kota. Kamu bisa mencoba jadi pembantu, tukang empu, menjual canang, atau belajarnya menjahit baju. Jangan bernyanyi saja!
(MENARIK BANTAL) Apa lagi ini! Ini bantal!
Ni Tunjung Biru : Tidak! Ini ibuku!
I Sundih : (BERUSAHA MENENANGKAN) Yah! Sudahlah. Kembalilah. Ibumu sudah tiada. Kini kau hidup dengan ayah dan kau sudah dewasa. Jangan berpikir yang bukan-bukan lagi.

DATANG TEMAN-TEMANnya yang akan berangkat ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Betapa senang hati mereka mendapat kesempatan untuk bersekolah. Sementara Tunjung Biru tak mau disekolahkan karena ayahnya malu kalau-kalau anaknya jadi bahan tertawaan karena selalu membawa bantal guling kemanapun perginya.

Ni Selut : Delem sangut merdah tualen, medem bangun ngamah dogen.
Tunjung, kamu tidak jadi berangkat ke kota? Mengapa masih di halaman? Mana baju-bajumu? Ada baiknya kamu belajar lagi ke kota. aku dengar ada SMK yang memberi beasiswa. Kamu tidak tertarik?
Ni Tunjung Biru : Kamu pikir aku tidak tertarik? Tentu aku tertarik, tetapi harus bagaimana? ayah meragukan niatku. Dia takut kalau-kalau aku diejek teman-teman karena selalu membawa bantal ini.
Ni Godam : Aduh, Tunjung. Ayahmu memang benar masa bantal ini kau bawa terus? Malu-maluin aja!
Ni Tunjung Biru : Malu? Ini sudah seperti ibuku. tidak mungkin kubuang di rumah.
I Sundih : Begitulah kebiasaannya! Kalau bukan karena aku setia terhadap istriku, tentu kutinggal menikah lagi anak ini! Tak kusangka anak ini tidak berguna. Membawa bantal saja! Perempuan apa? Kelihatan malasnya! Mana mungkin paman mau menyekolahkan dia? Semoga ada lelaki yang tertarik kepadanya. sudah 12 laki-laki yang meliriknya, tetapi belum satupun yang mau menjadikannya istri. Usia segini, mestinya nikah saja supaya cepat menjadi orang. Menjadi istri. Menjadi ibu. Baru namanya perempuan.
Ni Godam : Tunggu-tunggu, Paman. Paman meragukan keperempuanan anak Paman? Sudah jelas-jelas dia perempuan tercantik di desa ini. Tersiar kecantikannya ke desa-desa tetangga. suaranya merdu menjadi dirindukan oleh siapapun yang mendengarnya. Masih juga tidak pecaya bahwa dia perempuan? Waduh, kalau saya jadi dia, saya akan madu para lelaki.
Ni Selut : Alah kamu! sukanya mengoleksi laki-laki saja. Sekarang sudah ada lima laki-laki yang kau permainkan. Kalau sampai ke kota mau berapa lagi?
Ni Godam : Lagi sepuluhlah.
I Sundih : Ah, sudahlah. Cepatlah kalian berangkat. Bis Kota akan segera datang jam 3 sore. Jangan sampai gara-gara perempian ini (MENUNJUK NI Tunjung Biru) kalian gagal di kota. sudah jangan pikirkan perempuan ini! Biar kucarikan saja pasangannya.
I Sugag : Swastiastu, We. (LANGSUNG MENATAP NI TUNJUNG) Wow, perempuan yang cantik! Ini baru betina Bali! Peliatne kadi kidang. Rarike medon intaran. Seledetne kadi tatit. Latine barak ngatirah. Wow, gigine kadi danta. Aduh ratu! Praraine nyampuah mulan purnama.
I Sundih : Ya... Benar. Ini anak Paman.
I Sugag : Saya masih belum percaya, We. aduh, jerijine halus musuh bakung. Jriji rurus mengancan. Betekane mamudak. Aduh. Pasti bukan anak We ini.
I Sundih : Langsung saja. Kalau kamu suka, cobalah dekati dia. Dia susah didekati. Kalau berhasil, langsung kau bawa ke desamu. Jadikan istimu. Terserah sana saja.
I Sugag : Ow... jadi langsung wlcome to my parades gitu? Okey....okey...

I SUNDIH pergi. Teman-temannya pun bergegas.
I Sugag : Kau dengar Tunjung? Ayahmu telah menyerahkan kamu sepenuhnya. aku sudah tahu banyak tentnag kamu. Sangat cantik, tetapi agak galak katanya. Tidak masalah. Yang penting happy. Setiap hari kamu masih boleh membawa bantal itu, tetapi kalau aku mau bobok ma kamu, kamu cukup peluk aku.... yayaya....
Ni Tunjung Biru : Jaga ucapanmu!
Don sela gadang-gadang, kikihang nyuh anggo urab, Dong de girang-girang, kayang bangke ing ngidaang ngadab.

I Sugag : Menantang kau!
Batis balang pegat besik, kena pandan ibi poan, Anak bajang inget mekaik, bilang dandan nagih diman.
Ah. jangan bertele-tele!

I Sugag tidak merasa merayu lagi. Ia ingin segera membawa Ni tunjung pergi ke rumahnya. Tiada pilihan bagi Ni tunjung, selain pergi dari rumah. Namun, teman-temannya sudah berangkat. Dia tergesa-gesa pergi. Tidak lupa pamitan kepada ayahnya dengan berteriak.

Ni Tunjung Biru : Bape! Saya akan sekolah di SMK. Saya akan pilih jurusan bangunan. Saya mau jadi arsitek. Bawalah bantal saya sampai saya kembali. Saya akan cari suami sendiri. Bape! Jangan khawatir! Bukankah saya sangat cerdas seperti yang bape katakan! Masalah uang, saya yakin bisa mengatasinya dengan benyanyi! Sekarang peganglah lelaki jorok itu supaya tidak bisa mengejar saya!

I Sundih sangat sayang anaknya. Karena benar bantal itu sudah tidak dibawa oleh anaknya, maka percayalah dia kepada anaknya. I Sugag dipegang hingga tidak bisa mengejarnya.
I Sundih : A nice dream is a nice beam.
I Sugag : Wow, We good English. Nice to meet you…

Selesai.

Monolog

MURDA
Naskah monolog karya Luh Arik Sariadi

SEORANG LAKI-LAKI, MURDA, BERUSIA (20 TAHUN) DENGAN SEBUAH TOPI DI TANGANNYA TERLIHAT GELISAH. SINAR MATAHARI YANG DIAYUN-AYUN OLEH DEDAUNAN, SESEKALI MENYENTUH BOLA MATANYA YANG MENATAP JAUH KE DEPAN. WALAU TAMPAK RAPI, DENGAN DASI, STELAN KEMEJA YANG SERASI DENGAN CELANA, LELAKI ITU MEMPERLIHATKAN KAKI YANG GEMETAR. SAAT BERBICARA, TERDENGAR SUARANYA TERUNTAI DENGAN RAGU-RAGU. DI DEPAN MATANYA, SANGAT JELAS JALAN LEBAR MEMISAHKANNYA DENGAN PANDANGANNYA. HANYA POHON DI ATAS TUBUHNYA YANG MAMPU MENGURANGI KERINGAT YANG MENGUCUR DARI PELIPISNYA, SEBAB DI DEPAN SANA, MENJULANG GEDUNG-GEDUNG TINGGI.

Murda terpaksa tersenyum.
MURDA : Kelak akan kutuliskan namaku di depan gedung ini. Mamina Mall akan kuganti menjadi Murda Mall.Di sebelah gedung besar ini, aku akan membuat pusat hiburan yang berisi kolam ikan lumba-lumba. Anak-anak akan bermain di sana. Para orang tua bisa menunggu di kursi-kursi yang terbuat dari kayu yang telah dihangatkan dengan asap pembakaran kayu cendana. Ah, aku jamin tidak akan ada remaja atau pasangan kekasih yang belum menikah ada di tempat ini. Aku akan mempersyaratkan foto kopi KTP agar pegawaiku yakin benar bahwa yang bekunjung ke kolam ikan adalah pasangan suami istri yang mengantar anaknya. Yah, tidak ada maksudku membatasi pengunjung karena membeda-bedakan status. Melainkan aku hanyaingin memastikan bahwa anak-anak sangat bahagia berada di sekitar kolam renang. Aku akan jual tiket dengan harga terjangkau bagi orang-orang yang kurang mampu, asalkan mereka membawa surat keterangan tidak mampu dari desa atau lurah. (DUDUK DAN MELEMPARKAN BATU KESEBERANG JALAN) Jadi, tidak ada masalah bagiku untuk menyantuni orang-orang yang kurang mampu. Aku bisa mencarikan dana dari kunjungan orang-orang kaya. Aku pastikan pula bahwa usahaku tidak hangat-hangat tai ayam! Maka itu, wahai orang-orang kaya yang saya muliakan, Anda jangan meragukan kesungguhan saya dalam melayani Anda! Anda tentu mendapat pelayanan spesial karena Anda orang kaya. Agar pegawaiku mengenali Anda sebagai orang kaya, masuklah melalui jalan sana (MENUNJUKKAN SEBUAH JALAN LORONG)! Lihatlah, bola lampu itu tidak akan pernah mati sebagai pertanda Anda sangat disambut di taman kami. Supaya Anda merasa nyaman, Anda bisa memesan kartu gesek yang bisa mengenalkan Anda dengan pengenal costemer. Bola mata anda akan tergambar di kartu itu. Sidik jari Anda juga akan tercatat dengan alat khusus yang didatangkan dari Amerika. Mmmm....Anda tentu tahu, produk Amerika sangat terkenal. Force! Force! Yah, kira-kira begitu. INGAT BAHWA DIRINYA HANYA MENGKHAYAL, MURDA KEMBALI BERSEDIH. Sayangnya, aku hanya bukan siapa-siapa yang saat ini ditolak menjadi sopir pribadi pemilik Mall. Kupikir aku bisa diterima sebagai sopir sebab aku sudah punya ijazah lengkap sampai ijazah SMK. Ternyata aku kalah bersaing dengan seorang anak buruh dari pelosok desa, dengan penampilan kumuh, seperti tidak berpendidikan. MELEMPAR SAMPAH PLASTIK KE ARAH MALL. Katanya, dia lebih cocok sebagai sopir. Padahal, aku merasa aku lebih cocok. Lihat saja Mall itu begitu megah, tentu membutuhkan sopir yang pandai berpenampilan seperti aku. Yang membuatku kecewa, seorang satpam mengolok-olokku! Katanya aku kurang jujur! Dasar! Sok tahu! Padahal di dalam aku hanya menyalakan sebatang rokok saat menunggu giliran dipanggil. Saat dipanggil, aku segera mematikan rokok dan segera menyapa direktur itu dengan bahasa Inggris. Good Morning... I am Murda. Please, begitu kataku. Lalu aku duduk. Belum bicara apa-apa, lelaki itu sudah meminta aku keluar. MENGIKUTI GAYA BICARA DIREKTUR YANG LEMBUT Maaf, saya tidak bisa menerima saudara karena saya orang Indonesia yang kebetulan lahir dari rahim orang Belanda, tetapi saya mencintai bangsa saya dan saya telah mengamati saudara, bahwa Saudara lebih cocok jadi manajer daripada sopir. Penampilan Saudara menarik dan bahasa Inggris Saudara sangat bagus.

KETIKA MURDA MASIH MENGELUH, TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA RIBUT DARI KEJAUHAN. KELOMPOK MAHASISWA AKAN MELINTASI JALAN INI, SEBAB TERDENGAR SUARA MEREKA YANG BERULANG-ULANG MENYEBUT. Hidup KPK! Hidup KPK! Sudah saatnya kita berantas KPK! GEDUNG KPK HANYA SEKITAR SEPULUH LANGKAH DARI MALL. MURDA LARI MENJAUHI SUARA ITU KARENA TIDAK MAU IKUT TERLIBAT DEMONSTRASI.
MURDA : Huh! Mahasiswa bodoh! Mau saja bicara untuk orang lain! Apa mereka tidak punya perut seperti aku? LARI SAMBIL BERTERIAK KE ARAH MALL SETELAH MELEMPAR BATU KE MALL. Woi, satpam! Bilang pada direkturmu bahwa kawan-kawanku telah datang karena kalian menolakku menjadi sopir!

MAHASISWA YANG BERAPI-API MELAKUKAN DEMONSTRASI, TIBA-TIBA BERHENTI KARENA TERDENGAR SUARA KACA PECAH, DAN MELIHAT MURDA LARI MENJAUHI MALL. SEORANG MAHASISWA TAHU BAHWA MURDA PELAKUNYA. AKHIRNYA MURDA DIKEROYOK OLEH KELOMPOK MAHASISWA.

Selesai

Nyoman Taman

Nyoman Taman
Karya Luh Arik Sariadi

Kemarau membawa nyamuk-nyamuk mencari tempat yang lebih nyaman, sama seperti Nyoman Taman yang senantiasa menginginkan tempat-tempat yang nyaman. Membersihkan bale kangin adalah pekerjaan yang memberikan kenyamanan. Di rumah ini, ia hanya seorang pembantu rumah tangga, tetapi karena tugasnya telah dilakoni sejak berusia delapan tahun hingga ia berusia 17 tahun saat ini. Nyoman Taman tidak pernah mengeluh walau pekerjaannya hanya menyapu, megepel lantai, atau merapikan alat-alat upacara di bale kangin.
Bale kauh adalah tempat peristirahatan bagi para pembantu sebelum malam benar-benar memenangkan pertarungan atas waktu. Namun, senja enggan mengajak Nyoman Taman bertempur. Nyoman Taman telah terlelap sejak jam lima sore tadi. Tidak terasa, upacara tolak bala yang telah dilakukan keluarga besar Ratu Agung selama empat hari telah menguras energinya. Nyoman Taman sangat lelap di bale kangin.
Galang kangin, asap hitam mengepul dari bale kauh. Bau kayu terbakar menyusup ke hidungnya. Asap menebarkan sesak ke dada Nyoman Taman.
Nyoman Taman : Gerah. Musim kemarau ini benar-benar marah. Sasih keenem benar-benar murka. Gunung meletus tiada henti menebar teror. Lalu siapa yang diteror? Bukankah Ratu Agung telah melakukan upacara-upacara besar untuk menolak bala? Warga desa juga mengiringi upacara itu dengan bakti yang tulus. Lantas mengapa sawah-sawah seolah pasrah dengan kemarau? MENGINGATKAN DIRI Eh... Ampura Dewa Ratu...Bukan maksud hamba lega seluk. Hamba hanya heran... mengapa kemarau disertai dengan banjir? Tanah longsor telah menyeret pohon-pohon yang baru ditanam Ratu Agung bersama pemerintah. Ratu Agung sudah membuat larangan-larangan agar warga desa tidak merusak ambengan yang mengikat tanah. Di hulu-hulu sungai, di bukit-bukit, pohon-pohon besar telah diupacarai supaya dengan sekuat-kuatnya menjaga tanah. HERAN. Hem...hem... Banyak sekali yang menganggap Ratu Agung sebagai orang tua yang konyol. Orang-orang berpendidikan yang telah berhasil di perguruan tinggi, mencoba menawarkan teknik-teknik baru agar tanah Ratu Agung diperbukitan tidak longsor. Eh, Ratu Agung malah menertawai pemuda-pemuda yang menawarkan proposal. Apa boleh buat? Bukan perkara uang sebetulnya Ratu Agung sampai menolak pemuda-pemuda itu. Proposal yang diajukan itu memang angkanya miliaran. Berapa miliaran itu? Ah, masa bodo! Kalau biliar, saya tahu. Di ujung desa ini, ada kape (maksudnya cafe) yang buka dari jam 5 sore sampai.... Waduh, sampai jam berapa ya? Ratu Agung tidak bisa melarang-larang karena itu bukan tanahnya. Lagi pula, dari pembicaraan I Ratu dengan tamu-tamu, kape itu sudah pakai pereddam suara sehingga suaranya tidak akan mengganggu warga. TERSADAR Waduh-waduh... omonganku yang penting yang mana ya? INGAT Oh ya.... sebagai seorang pemudi... aku perlu menimbang-nimbang apakah harus terus bertahan menjadi pembantu di rumah yang besar ini TAKJUB atau harus pergi. Barangkali ada salah seorang sarjana yang mau dengan saya.... SELENGEKAN Ya, ampun... saya kan cantik, ayu... Mestinya perempuan secantik saya, sudah banyak laki-laki yang naksir, tetapi mengapa tidak? MENUNJUKKAN KUKU-KUKUNYA Padahal, aku bisanya mengihur orang, seperti dengan menari, menyanyi, atau bercerita.
MATA YANG MASIH KANTUK DAN UDARA YANG PANAS, MENYEBABKANNYA TIDAK BETAH TIDUR DI BALE. IA TURUN DAN MEREBAHKAN TUBUHNYA DI LANTAI.
Nyoman Taman : Kalau panas sudah tidak bisa ditahan begini, itu biasanya akan panas juga desa ini. Kepala desa biasanya ada masalah. Penduduk biasanya melarat, menderita penyakit koreng, sakit kepala, atau yang menyedihkan terkena congek. Entah mengapa penyakit itu datang pada orang-orang misikin. Tabik kulun, syukur saya diberi mengabdi di sini. Asal perut kenyang, ya sudah tenang. Mmhh... tapi kalau terus-menerus di sini, jangan-jangan aku jadi perawan tua. Tidak ada yang melirik lantaran misikin, pembantu. Eit...saya masih lebih beruntung daripada jadi tenaga kerja luar negeri... Yah, pokoknya syukur! TERKEJUT Waduh... kok tambah gerah ya? Asap dari mana yang menghasut hidungku untuk tidak tidur lagi? TERBATUK-BATUK Aduh, Dewa Ratu.... Ratu Agung.... PANIK. Rupanya kebakaran! Ratu Bhatara, bale dauh kebakaran!

BLACK OUT
NYOMAN TAMAN HABIS DIPUKUL. KUKU-KUKU YANG DIISI CAT WARNA DAN SANGAR TERAWAT, KINI SUDAH DICABUTI OLEH PETUGAS KEPOLISIAN. WAJAHNYA YANG CANTIK MENJADI DIPENUHI TAMPARAN-TAMPARAN.
Nyoman Taman : Ternyata sama saja... Tenaga kerja luar negeri atau pun tidak sama saja. Apalagi menghadapi perempuan seperti saya yang selama ini tidak mempersiapkan diri untuk memperthankan diri. Saya tidak punya kemampuan bersilat, tidak punya ilmu kanoragan, saya bahkan tidak punya tabungan untuk membayar pengacara untuk mengadakan pembelaan. Uduh, Ratu Agung.... malang nasibku. Bukan salah saya jika kebakaran itu tidak menghanguskan saya. Ini adalah pertanda baik bagi puri karena pelayan seperti saya sudah selamat. Bukannya dimasukkan penjara seperti sekarang. Mana mungkin saya membakar teman-teman saya? Apa untungnya? Saya jauh lebih cantik dari mereka, jadi tidak mungkin saya iri hati kepada mereka. Saya sudah diperlakukan sebagai anak, mana mungkin melakukan penghianatan terhadap I Ratu. Kalaupun ada bekas bensin di sekitar bale kauh, masak saya yang membakar. Untuk beli rok saja saya tidak bisa, apalagi membeli bensin untuk bakar rumah? Harganya kan mahal, lagi pula langka. Pokoknya bukan saya yang melakukan. BERTERIAK. Pak Polisi! bukan saya pelakunya! Walaupun pada peristiwa itu saya tidak ada di bale dauh, saya ada di bale kangin. Waktu itu saya kelelahan hingga tidak terasa saya tidur pulas. Pak Polisi, coba selidiki orang lain! Di antara yang hidup, pasti masih berkeliaran pelakunya. Ratu Agung! Percayalah pada saya! Pasti ada yang ingin menghancurkan Ratu Agung karena Ratu Agung terlalu kaku! Siapa tahu ada orang yang sengaja membakar agar puri merasakan teror! Pak, walaupun saya hanya pembantu, tetapi saya banyak tahu tennag politik!
NYOMAN TAMAN TERUS BERTERIAK, TETAPI TIDAK ADA YANG PEDULI DENGANNYA.
SELESAI