Kamis, 27 Januari 2011

Lakon Pendek, Ni Tunjung Biru

Ni Tunjung Biru
oleh Luh Arik Sariadi

Sebuah desa, Alaswana. Pepohonan adalah rumah bagi kehidupan. Burung-burung berkicau. Matahari menembus ilalang tidak pasti. Cacing hidup di tanah subur. Asap kayu baker sangat wangi menebarkan sunyi ke seluruh padukuhan. Inilah rumah bagi gadis-gadis yang tidak mungkin melangkah ke sekolah.

Ni Tunjung Biru anak pertama dari Ni Pucung dan I Sundih. Wajahnya cantik dan menawan banyak laki-laki. Namun, ada kebiasaan buruk yang dipertimbangkan oleh banyak laki-laki sehingga berpikir ulang untuk menerimanya sebagai pasangan seumur hidup. Ni Tunjung Biru selalu membawa bantal guling ke mana-mana. Bantal yang telah bertahun-tahun tidak pernah dicuci adalah kenangan yang paling indah baginya karena merupakan satu-satunya peninggalan ibunya sebelum meninggal.

Inilah kenangan, sulit dilupakan. Bantal Guling itu adalah pemberian ibu. Kawanan peri telah mengantarkannya hingga tidak mungkin diberikan kepada orang lain. Sebelum peri itu memberikan bantal itu, mereka menyeberangi sungai pikiran yang aralnya sangat dahsyat. Lalu, peri-peri itu menari di angkasa, alam mimpi yang tidak pernah terpecahkan.

Sound in stage. Ni Tunjung Biru bernyanyi di halaman dengan membawa bantal.
Ni Tunjung Biru : Pang ping pang, keladi gadang keladi kuning, ede ngejuk icing, icing enu bajang cerik. Salak likawana, timun likangina, galak ne luana, kimud ne muanina.

I Sundih : (DATANG DENGAN AMARAH) Sudah! Berhentilah bernyanyi yang bukan-bukan.
Ni Tunjung Biru : Bukan-bukan? Maksudnya?
I Sugih : Kamu sudah dewasa. Cobalah mencari kerja ke kota. Kamu bisa mencoba jadi pembantu, tukang empu, menjual canang, atau belajarnya menjahit baju. Jangan bernyanyi saja!
(MENARIK BANTAL) Apa lagi ini! Ini bantal!
Ni Tunjung Biru : Tidak! Ini ibuku!
I Sundih : (BERUSAHA MENENANGKAN) Yah! Sudahlah. Kembalilah. Ibumu sudah tiada. Kini kau hidup dengan ayah dan kau sudah dewasa. Jangan berpikir yang bukan-bukan lagi.

DATANG TEMAN-TEMANnya yang akan berangkat ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Betapa senang hati mereka mendapat kesempatan untuk bersekolah. Sementara Tunjung Biru tak mau disekolahkan karena ayahnya malu kalau-kalau anaknya jadi bahan tertawaan karena selalu membawa bantal guling kemanapun perginya.

Ni Selut : Delem sangut merdah tualen, medem bangun ngamah dogen.
Tunjung, kamu tidak jadi berangkat ke kota? Mengapa masih di halaman? Mana baju-bajumu? Ada baiknya kamu belajar lagi ke kota. aku dengar ada SMK yang memberi beasiswa. Kamu tidak tertarik?
Ni Tunjung Biru : Kamu pikir aku tidak tertarik? Tentu aku tertarik, tetapi harus bagaimana? ayah meragukan niatku. Dia takut kalau-kalau aku diejek teman-teman karena selalu membawa bantal ini.
Ni Godam : Aduh, Tunjung. Ayahmu memang benar masa bantal ini kau bawa terus? Malu-maluin aja!
Ni Tunjung Biru : Malu? Ini sudah seperti ibuku. tidak mungkin kubuang di rumah.
I Sundih : Begitulah kebiasaannya! Kalau bukan karena aku setia terhadap istriku, tentu kutinggal menikah lagi anak ini! Tak kusangka anak ini tidak berguna. Membawa bantal saja! Perempuan apa? Kelihatan malasnya! Mana mungkin paman mau menyekolahkan dia? Semoga ada lelaki yang tertarik kepadanya. sudah 12 laki-laki yang meliriknya, tetapi belum satupun yang mau menjadikannya istri. Usia segini, mestinya nikah saja supaya cepat menjadi orang. Menjadi istri. Menjadi ibu. Baru namanya perempuan.
Ni Godam : Tunggu-tunggu, Paman. Paman meragukan keperempuanan anak Paman? Sudah jelas-jelas dia perempuan tercantik di desa ini. Tersiar kecantikannya ke desa-desa tetangga. suaranya merdu menjadi dirindukan oleh siapapun yang mendengarnya. Masih juga tidak pecaya bahwa dia perempuan? Waduh, kalau saya jadi dia, saya akan madu para lelaki.
Ni Selut : Alah kamu! sukanya mengoleksi laki-laki saja. Sekarang sudah ada lima laki-laki yang kau permainkan. Kalau sampai ke kota mau berapa lagi?
Ni Godam : Lagi sepuluhlah.
I Sundih : Ah, sudahlah. Cepatlah kalian berangkat. Bis Kota akan segera datang jam 3 sore. Jangan sampai gara-gara perempian ini (MENUNJUK NI Tunjung Biru) kalian gagal di kota. sudah jangan pikirkan perempuan ini! Biar kucarikan saja pasangannya.
I Sugag : Swastiastu, We. (LANGSUNG MENATAP NI TUNJUNG) Wow, perempuan yang cantik! Ini baru betina Bali! Peliatne kadi kidang. Rarike medon intaran. Seledetne kadi tatit. Latine barak ngatirah. Wow, gigine kadi danta. Aduh ratu! Praraine nyampuah mulan purnama.
I Sundih : Ya... Benar. Ini anak Paman.
I Sugag : Saya masih belum percaya, We. aduh, jerijine halus musuh bakung. Jriji rurus mengancan. Betekane mamudak. Aduh. Pasti bukan anak We ini.
I Sundih : Langsung saja. Kalau kamu suka, cobalah dekati dia. Dia susah didekati. Kalau berhasil, langsung kau bawa ke desamu. Jadikan istimu. Terserah sana saja.
I Sugag : Ow... jadi langsung wlcome to my parades gitu? Okey....okey...

I SUNDIH pergi. Teman-temannya pun bergegas.
I Sugag : Kau dengar Tunjung? Ayahmu telah menyerahkan kamu sepenuhnya. aku sudah tahu banyak tentnag kamu. Sangat cantik, tetapi agak galak katanya. Tidak masalah. Yang penting happy. Setiap hari kamu masih boleh membawa bantal itu, tetapi kalau aku mau bobok ma kamu, kamu cukup peluk aku.... yayaya....
Ni Tunjung Biru : Jaga ucapanmu!
Don sela gadang-gadang, kikihang nyuh anggo urab, Dong de girang-girang, kayang bangke ing ngidaang ngadab.

I Sugag : Menantang kau!
Batis balang pegat besik, kena pandan ibi poan, Anak bajang inget mekaik, bilang dandan nagih diman.
Ah. jangan bertele-tele!

I Sugag tidak merasa merayu lagi. Ia ingin segera membawa Ni tunjung pergi ke rumahnya. Tiada pilihan bagi Ni tunjung, selain pergi dari rumah. Namun, teman-temannya sudah berangkat. Dia tergesa-gesa pergi. Tidak lupa pamitan kepada ayahnya dengan berteriak.

Ni Tunjung Biru : Bape! Saya akan sekolah di SMK. Saya akan pilih jurusan bangunan. Saya mau jadi arsitek. Bawalah bantal saya sampai saya kembali. Saya akan cari suami sendiri. Bape! Jangan khawatir! Bukankah saya sangat cerdas seperti yang bape katakan! Masalah uang, saya yakin bisa mengatasinya dengan benyanyi! Sekarang peganglah lelaki jorok itu supaya tidak bisa mengejar saya!

I Sundih sangat sayang anaknya. Karena benar bantal itu sudah tidak dibawa oleh anaknya, maka percayalah dia kepada anaknya. I Sugag dipegang hingga tidak bisa mengejarnya.
I Sundih : A nice dream is a nice beam.
I Sugag : Wow, We good English. Nice to meet you…

Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar