Kamis, 27 Januari 2011

Lakon Pendek, Nung...Neng...

Nung…Neng…
Lakon Pendek untuk Monolog
karya Luh Arik Cahaya

LANGIT TERUS MENERUS GELAP DAN GELAP ITU JUGA YANG MEMUDARKAN CAHAYA, MAHASISWA (20 TAHUN) YANG KEBETULAN MENGADAKAN PENELITIAN TENTANG KISAH JAYAPRANA- LAYON SARI DI DESANYA SENDIRI . HUJAN TURUN RINTIK-RINTIK MEMBASAHI SPANDUK-SPANDUK YANG DIPASANG SAAT HUJAN KEMARIN. SPANDUK-SPANDUK YANG BERTULISKAN SLOGAN-SLOGAN CALON KEPALA DESA, BEBERAPA TELAH JATUH KARENA SEMALAM HUJAN LEBAT DISERTAI ANGIN KENCANG MENGGOYANGKANNYA SAMPAI ALING. DENGAN SEMANGAT NASIONALISME YANG TINGGI TERHADAP BANGSA INI, CAHAYA MENCOBA MEMASANG KEMBALI SPANDUK ITU. BAGINYA, APAPUN PARTAI CALON KEPALA DESANYA KELAK, TETAPLAH KEPALA DESA ITU SEORANG PEMIMPIN. KALAU SUDAH TERPILIH, PASTILAH KEPALA DESA ITU MEMANG BENAR ORANG YANG DISEGANI DAN DIPERCAYA MAMPU MEMBAWA DESA INI MENJADI LEBIH BAIK.

LAMP FADE IN
CAHAYA MENGEJA LIRIK LAGU YANG SEDANG DITELITINYA.
CAHAYA : Nyoman Jayaprana,
prasida suba anake buka Nyoman ngalih ane madan jatu karma
apan ragan Nyomane suba madan pradnyan
sing sandang liu anake buka gelah miteketin
Gelisin Nyoman....
Hujan yang lebat ini pertanda apa Hyang Widhi? Berminggu-minggu hamba di sini meninggalkan pekerjaan untuk meneliti. Mungkinkah Hyang Kuasa tidak merestui penelitian hamba? MEMASANG SPANDUK PADA KAYU. Saya sangat paham bahwa memang sudah menjadi kewajiban saya membuat skripsi ini. Oleh karena itu, saya harus tulus melakukannya. Hamba tahu Tuhan. Akan tetapi, tidak mungkin hamba terlalu lama di sini. Desa ini tidak punya apa-apa untuk orang seperti saya yang hendak memperbaiki hidup demi masa depan. Ayah hamba walau bersusah payah bekerja menjadi pencari aren, tetap saja uang yang dikumpulkannya tidak cukup untuk biaya sekolah hamba di kota.
Tuhanku, hamba kurang paham, mengapa desaku ini semakin mundur saja. Seperti sudah hilang semua kehidupan di desa ini.
Spanduk-spanduk sudah dipasang untuk meramaikan pemilihan kepala desa, tetapi tetap saja desa ini sepi. Di kota, spanduk-spanduk dipasang itu berarti akan ada pesta besar. Lalu, banyak manajer menawarkan penyanyi atau penari agar bisa memeriahkan pesta itu. Kalau pesta besar, tentu semua orang sudah tahu, bahwa semua seniman yang kondang akan diundang. Semua dapat pekerjaan. Ada yang membuat hiasan panggung, ada yang latihan menari, ada yang mempersiapkan makanan, dan semua itu dilakukan di sekotar spanduk yang dipasang. Para pedagang kecil akan berjualan walau dipungut biaya keamanan. Kalau sekarang saya menghadapi desa seperti ini? Tentu saya tidak betah berlama-lama di desa, AGAK MALU-MALU walaupun sesungguhnya saya dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Di kota, walau saya hanya bekerja sebagai penjaga cafe, saya mampu membayar kuliah sendiri, bahkan lebih dari cukup hingga saya bisa mengontrak rumah kecil di pinggir kota. Sekarang, saya pulang untuk meneliti Jayaprana-Layon Sari yang sering diceritakan dalam Sendratari. Sebetulnya, saya tidak begitu tertarik menggarap skripsi ini, tetapi saya merasa harus menelitinya karena saya harus memiliki rasa cinta terhadap daerah. Itu kata dosen saya. Tentu orang tua saya mengetahui bahwa saya selalu menghalalkan segala cara yang tidak merudikan orang untuk meraih kesuksesas saya. Maka itu, orang tua saya sependapat dengan saya.
AGAK KECEWA. Saya sudah tidak pacaran selama sepuluh tahun untuk karier saya, jadi... tidak mungkin saya membiarkan desa yang sepi ini menggagalkan karier saya. Saya ingin punya ijazah sarjana, lalu saya akan mendapatkan pekerjaan yang disukai oleh hati nurani saya. AGAK ANGKUH. Tapi, hati nurani saya paling pantang dihina.
BLACK OUT

DI HADAPAN CAHAYA, LAMPU HEMAT LISTRIK DENGAN WARNA PUTIH MENJADIKANNYA CAHAYA. BULAN BERULANG-ULANG DILAMAR OLEH KAWANAN KELELAWAR. RUMAH YANG MELINDUNGI CAHAYA DIKELILINGI KELELAWAR YANG GELISAH MENUNGGU JAWABAN BULAN. CAHAYA BERNYANYI UNTUK MENCARI ARAH AGAR TERANG SEMUA GELAP. KALI INI LAGU DICIPTAKANNYA UNTUK ORANG-ORANG YANG MENGHINANYA.
Nung....Neng....Nung...Neng....
Dug....dug...deg..dug...deg....gembel
Basa lalah, basa genep
maakah basang seneb
Yen moros, base pamor
Men boros, saje ngenyor
CAHAYA : Hidup itu sangat sederhana. Aku pikir desa ini telah mati. Ternyata baru menjelang ajal. Aku saja yang terlambat menyadari. Desa ini lebih ramai dari perkiraanku. Pepohonan yang menasihati burung-burung, kupikir mampu juga menyentuh hati penduduk supaya damai berada di tempat ini. Huh, ternyata....Empat tahun kutinggalkan, desa ini seperti kota saja. Ada juga preman. Terikan kelelawar pada malam hari tidak seganas teriakanku, tetapi tidak juga ada yang mendengarku. Teryata aku salah menilai. Hanya karena aku memungut selembar sepanduk dan memasangnya kembali, aku dinilai memihak entah siapa. Entah berhadapan dengan siapa aku ini? Aktivis seperti aku, selalu lolos dalam pengejaran intel, kini desaku sendiri yang berkhianat, menyandraku karena dianggap mampu mengubah iklim politik di desa ini. Ah, kalian salah! Aku tidak bekerja untuk hal-hal sepele seperti ini! Aku bekerja untuk hal-hal besar! Untuk tenaga kerja! Untuk hubungan kebudayaan! Untuk kesenian! Utamanya untuk kemanusiaan! Kalian dengar?

CAHAYA MENCOBA MENEROBOS DINDING KAMAR YANG GELAP. CAHAYA BERTERIAK SEMAKIN KERAS SUPAYA KELELAWAR JUGA BERTERIAK DAN ORANG-ORANG DI DESA ITU MENDENGAR BAHWA DIRINYA BERADA ENTAH DI MANA.

BLACK OUT Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar