Selasa, 08 Desember 2015

PEMBELAJARAN TEATER 2



MATERI  workshop PKB VOKASI LUAR JAWA DI BALI 2015  
29 NOVEMBER sd 12 DESEMBER 2015\PPPTK YOGYAKARTA
TEMPAT: QUEST HOTEL
                  JL. MAHENDRADATA NO. 93 DENPASAR BALI 80117
                   TELP. (0361) 4717000 FAX. (0361) 4717111
 



OLEH: EKO SANTOSO, S.Sn.
 

2.
PENGETAHUAN DASAR SENI TEATER DAN METODE PEMBELAJARANNYA


A.  PENDAHULUAN

Seni teater merupakan salah satu cabang seni pertunjukan yang di dalamnya mengandung beragam unsur seni yaitu seni peran, gerak, rupa, dan bunyi. Dapat dikatakan seni teater adalah seni yang kompleks dan bersifat kolaboratif. Karena ini pulalah seni teater menarik untuk dipelajari sebab dinamika perkembangannya dapat ditilik dari beragam unsur yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh teater dunia melahirkan karya teater dengan gaya tertentu dan dari sudut pandang tertentu. Sebut saja Stanislavsky yang mengembangkan teater dengan pendekatan metode pemeranan sehingga lebih menekankan seni akting daripada yang lain. Growtowsky mengembangkan teater dari dimensi tontonan sehingga melahirkan bentuk-bentuk panggung yang atraktif. Bertold Brecht menggagas teater epik yang didasari pada kepentingan proses pembelajaran politik bagi penonton melalui pertunjukan (lihat Michael Huxley, Noel Witts, 1996).

Masih banyak tentunya tokoh teater yang mampu menghadirkan konsep dan tata pertunjukan yang baru. Di Indonesia kita mengenal Putu Wijaya yang mengusung teater berbau absurd dan teror. Sementara Arifin C. Noer lebih mengedepankan surealisme dalam pertunjukannya. Tidak ketinggalan pula Rendra dengan gaya presentasionalnya yang mendayu dan menggugah. Ragam kreasi yang kaya ini benar-benar menarik untuk dicermati. Setiap gaya atau konsep teater lahir dari latar belakang pemikiran tertentu. Ada yang berdasar ide dan ada pula yang merupakan refleksi kehidupan nyata.

Namun demikian, tidak semua bentuk teater seperti tersebut di atas dengan mudah diterima oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan persepsi dan cara pandang masyarakat dengan seniman pencipta teater. Antonin Artaud yang menawarkan bentuk teater yang tidak lazim mendapat cercaan masyarakat karena dianggap menyuguhkan kekejaman yang tidak masuk akal di atas pentas. Namun bagi sebagian seniman ia dianggap jenius dan memiliki gagasan yang mampu mendobrak nalar keumuman. Tentu saja hal ini melahirkan situasi paradoks bagi dunia teater. Satu sisi tuntutan untuk mengembangkan karya seni adalah keniscyaan sementara di sisi lain ada visi masyarakat yang mewakili nalar umum yang normatif belum tentu bisa menerimanya.

Guna menjembatani kesenjangan tersebut, pengetahuan teater sangat diperlukan. Dewasa ini di kalangan masyarakat masih terjadi kerancuan antara teater dan drama sehingga sering penyebutan keduanya salah alamat. Teater yang dipandang dari sudut drama tentu akan mengalami penyempitan arti dan ruang ekspresi. Tidak terlalu salah sebetulnya cara pandang semacam ini, akan tetapi ruang gerak teater yang luas terbatas oleh aturan atau prinsip umum yang ada pada drama. Oleh karena itu, pengertian teater, drama serta perbedaan keduanya perlu disampaikan sehingga kekeliruan seperti tersebut di atas bisa dieliminasi. Demikian pula dengan hal-hal lain yang melatar belakangi lahirnya berbagai macam bentuk ekspresi teater perlu pula disampaikan agar tidak terjadi kesalahan persepsi yang pada akhirnya justru menghambat kreasi teater yang membawa nilai kehidupan di dalamnya.


B.  Pengertian Teater dan Drama

1.    Definisi Teater
Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, seeing place) yang artinya tempat atau gedung  pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain sebagainya.

Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis. Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan, 1993). Dengan demikian teater adalah pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh penonton.


2.    Perbedaan Teater dan Drama
Teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”.

Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindak- tanduk pemain di atas pentas disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani “drao” yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertunjukan teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara atau  tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah” yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993). Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006).

3.    Unsur Pembentuk Teater

a.    Unsur Pokok Teater
Dalam khasanah teater dewasa ini dapat disimpulkan unsur utama teater adalah naskah lakon (yang diciptakan oleh pengarang), sutradara, pemain, dan penonton. Tanpa keempat unsur tersebut pertunjukan teater tidak bisa diwujudkan.

1). Naskah Lakon
Salah satu ciri teater modern adalah digunakannya naskah lakon yang  merupakan bentuk tertulis dari cerita drama yang baru akan menjadi karya teater setelah divisualisasikan ke dalam pementasan. Naskah Lakon pada dasarnya adalah karya sastra dengan media bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media bahasa pentas. Dalam visualisasi tersebut karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater. Pada saat transformasi inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu sutradara, pemain, dan tata artistik.

Naskah lakon sebagaimana karya sastra lain, pada dasarnya mempunyai struktur yang jelas, yaitu tema, plot, setting, dan tokoh. Akan tetapi,  naskah lakon  yang khusus dipersiapkan untuk dipentaskan  mempunyai struktur lain yang spesifik. Struktur ini pertama kali di rumuskan oleh Aristoteles yang membagi menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks, anti klimaks atau resolusi, dan konklusi (catastrope). Kelima bagian tersebut pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat fungsionalistik.

2). Sutradara
Penanggung jawab proses transformasi naskah lakon ke bentuk pemanggungan adalah sutradara yang merupakan pimpinan utama kerja kolektif sebuah teater. Baik buruknya pementasan teater sangat ditentukan oleh kerja sutradara, meskipun unsur–unsur lainnya juga berperan tetapi masih berada di bawah kewenangan sutradara.

Sebagai pimpinan, sutradara selain bertanggung jawab terhadap kelangsungan proses terciptanya pementasan juga harus bertanggung jawab terhadap masyarakat atau penonton. Meskipun dalam tugasnya seorang sutradara dibantu oleh stafnya dalam menyelesaikan tugas–tugasnya  tetapi sutradara tetap merupakan penanggung jawab utama. Untuk itu sutradara dituntut mempunyai pengetahuan yang luas agar mampu mengarahkan pemain untuk mencapai kreativitas maksimal dan dapat mengatasi kendala teknis yang timbul dalam proses penciptaan.

Sutradara dalam mengatur para pemain di atas panggung mempunyai dua prinsip dasar yaitu, mengatur keseluruhan secara ketat dan mendetil sehingga pemain benar-benar menjalankan konsepnya, dan yang kedua adalah membebaskan pemain mengembangkan ekspresi aksinya di atas pentas berdasar garis besar konsep yang telah dibuat. Sebagai seorang pemimpin, sutradara harus mempunyai pedoman yang pasti sehingga bisa mengatasi kesulitan yang timbul. Menurut Harymawan (1993), ada beberapa tipe sutradara  dalam menjalankan penyutradaraannya, yaitu:
·      Sutradara konseptor. Ia menentukan pokok penafsiran dan menyarankan konsep penafsirannya kepada pemain. Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu secara kreatif. Tetapi juga terikat kepada pokok penafsiran tersebut.
·      Sutradara diktator. Ia mengharapkan pemain dicetak seperti dirinya sendiri, tidak ada konsep penafsiran dua arah ia mendambakan seni sebagai dirinya, sementara pemain dibentuk menjadi robot – robot yang tetap buta tuli.
·      Sutradara koordinator. Ia menempatkan diri sebagai pengarah atau polisi lalulintas yang mengkoordinasikan pemain dengan konsep pokok penafsirannya.
·      Sutradara paternalis. Ia bertindak sebagai guru atau suhu yang mengamalkan ilmu bersamaan dengan mengasuh batin para anggotanya. Teater disamakan dengan padepokan, sehingga pemain adalah cantrik yang harus setia kepada sutradara.

3). Pemain
Untuk mentransformasikan naskah di atas panggung dibutuhkan pemain yang mampu menghidupkan tokoh dalam naskah lakon menjadi sosok yang nyata. Pemain adalah alat untuk memeragakan tokoh. Akan tetapi bukan  sekedar alat yang harus tunduk kepada naskah. Pemain mempunyai wewenang membuat refleksi dari naskah melalui dirinya. Agar bisa merefleksikan tokoh menjadi sesuatu yang hidup, pemain dituntut menguasai  aspek-aspek pemeranan yang  dilatihkan secara khusus, yaitu jasmani (tubuh/fisik), rohani (jiwa/emosi), dan intelektual.

Memindahkan naskah lakon ke dalam panggung melalui media pemain tidak sesederhana mengucapkan kata-kata yang ada dalam naskah lakon  atau sekedar memperagakan keinginan penulis  melainkan proses pemindahan  mempunyai karekter tersendiri, yaitu harus menghidupkan bahasa kata (tulis) menjadi bahasa pentas (lisan dan tubuh).

Tipe karakter pemain dapat dibedakan menjadi dua yaitu; tipe pemain berkarakter tunggal, dan pemain serba bisa. Pemain berkarakter tunggal biasanya memerankan tokoh atau karakter tertentu saja. Ia tidak bisa berperan dalam beragam karakter yang berbeda (flat character). Tipe karakter tunggal biasanya terdapat dalam teater konvensional atau teater beraya tradisional di mana penentuan pemain berdasar ciri fisik tokoh peran. Sedangkan tipe serba bisa merupakan pemain yang bisa memerankan karakter peran apapun (round character). Ia bisa berperan sebagai orang jahat, orang baik, lemah lembut, keras, suka sedih, dan lain sebagainya.


4). Penonton
Tujuan terakhir suatu pementasan lakon adalah penonton. Respon penonton atas lakon akan menjadi suatu respons melingkar, antara penonton dengan pementasan. Banyak sutradara yang kurang memperhatikan penonton dan menganggapnya sebagai kelompok konsumsi yang bisa menerima begitu saja apa yang disuguhkan sehingga jika terjadi suatu kegagalan dalam pementasan penonton dianggap sebagai penyebabnya karena mereka tidak mengerti atau kurang terdidik untuk memahami sebuah pementasan.

Kelompok penonton pada sebuah pementasan adalah suatu komposisi organisme kemanusiaan yang peka. Mereka pergi menonton karena ingin memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan  cita-cita. Alasan lainnya untuk tertawa, untuk menangis, dan untuk digetarkan hatinya, karena terharu akibat dari hasrat ingin menonton. Penonton meninggalkan rumah, antri karcis dan membayar biaya masuk dan lain-lain karena teater adalah dunia ilusi dan imajinasi. Membebaskan pola rutin kehidupan selama waktu dibuka hingga ditutupnya tirai untuk memuaskan hasrat jiwa khayalannya.

Eksistensi teater tidak mengenal batas kedudukan manusia. Secara ilmiah, manusia memiliki kekuatan menguasai sikap dan tindakannya. Tindakannya pergi ke teater disebabkan oleh keinginan dan kebutuhan berhubungan dengan sesama. Sehingga menempuh jalan sebagai berikut :
·   Bertemu dengan orang lain yang menonton teater. Teater merupakan suatu lembaga sosial.
·   Memproyeksikan diri dengan peranan-peranan yang melakonkan hidup dan kehidupan di atas pentas secara khayali. Teater adalah salah satu cara proses interaksi sosial.

Dalam memandang suatu karya seni penonton hendaklah mampu memelihara adanya suatu objektivitas artistik. Ini bisa tercapai dengan menentukan jarak estetik (aestetic distance) sehubungan dengan karya seni yang dihayatinya. Pemisahan yang dimaksud, antara penonton dan yang ditonton, pada seni teater diusahakan dengan jalan:
·         Menciptakan penataan yang tepat atas auditorium dan pentas.
·         Adanya batas artistik proscenium sebagai bingkai gambar.
·         Pentas yang terang dan auditorium yang gelap.
Semua itu akan membantu kedudukan penonton sehingga memungkinkan untuk melakukan perenungan.

b.    Unsur Pendukung Teater
Tata artistik merupakan unsur pendukung yang tidak dapat dipisahkan dari teater. Pertunjukan teater menjadi  tidak utuh tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung, tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dan penata artistik mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan.

Tata panggung adalah  pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan  pemeranan dan suasana  panggung.

Tata cahaya atau lampu  adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa.

Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi penekanan pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan. Unsur ini masih bisa ditambah atau dilengkapi dengan tata suara yang merupakan pengaturan keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni.

Tata rias dan tata busana adalah pengaturan rias dan busana  yang dikenakan pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain  bisa terlihat jelas oleh penonton.

C.  Menulis Cerita Untuk Teater

Banyak cara atau proses kreatif yang dilkukan oleh para penulis. Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda. Ada penulis cerita yang membuat format dulu sebelum menulis dan ada yang langsung menulis di hadapan mesin ketik atau komputer secara langsung dengan menuangkan dan merangkai gagasan yang pada saat itu juga melintas. Namun, bagi penulis pemula ide atau gagasan adalah persoalan mendasar yang harus dipecahkan.

Apa yang akan ditulis jika sekiranya tidak ada ide yang melintas di kepala? Itulah pertanyaan yang biasanya muncul. Padahal sesungguhnya, setiap orang pasti memiliki ide atau gagasan,  hanya saja dasar permasalahannya ialah, berani atau tidak ia mengungkapkan ide tersebut. Orang macet menulis umumnya terjadi karena faktor diri sendiri yang menganggap bahwa ide tulisannya itu tidak bermutu, kurang masuk akal, tidak baik, dan lain sebagainya. Dengan berbekal keberanian melontarkan ide – apapun itu – maka kesulitan awal telah teratasi. Berikutnya adalah melanjutkan apa yang telah dimulai tersebut sampai akhir. Banyak sekali sebetulnya cara yang dapat digunakan dalam menstimulasi pikiran untuk melahirkan dan mengembangkan ide menjadi sebuah cerita. Di bawah ini akan diuraikan proses menggali ide sampai pada tahap penulisan cerita. Tentu saja apa yang diuraikan di sini bukan satu-satunya teknik atau cara dalam menulis cerita.


1.      Menggali Ide
Seperti telah disebutkan di atas, banyak penulis pemula yang macet sejak pertama kali karena merasa tidak memiliki ide atau sesuatu untuk dituliskan. Sebetulnya semua itu bisa di atasi dengan menulis apa saja yang terlintas di kepala tanpa harus memikirkan struktur cerita, akhir cerita dan lain sebagainya. Baru kemudian menyusun tulisan-tulisan tersebut secara lebih terstruktur sehingga membentuk satu rangkaian cerita. Teknik menulis bebas ini hanyalah salah satu teknik untuk melahirkan ide atau gagasan tertulis secara simultan. Proses asosiasi alamiah pikiran manusia akan mengarahkan penulis untuk mencari kemiripan kata atau kalimat-kalimat yang dituliskan. Namun demikian tidak semua orang bisa menulis secara bebas dengan proses seperti itu. Dibutuhkan satu rangsangan baik itu berupa musik, gambar, cerita, benda atau pertanyaan untuk memancing sebuah gagasan. Setelahnya adalah melanjutkan gagasan tersebut menjadi satu cerita sederhana yang bisa dikembangkan.


2.      Merangkai Cerita
Gagasan yang sudah tertulis dan mungkin juga sudah membentuk satu cerita atau gambaran kasar tersebut perlu kita bingkai atau rangkai dengan tema, konflik, penokohan, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan agar cerita yang akan kita sampaikan memiliki satu kesatuan misi.



a.   Menentukan Tema
Tema adalah gagasan dasar cerita atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada penonton. Tema, akan menuntun laku cerita dari awal sampai akhir. Misalnya tema yang dipilih adalah “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”,maka dalam cerita hal tersebut harus dimunculkan melalui aksi tokoh-tokohnya sehingga penonton dapat menangkap maksud dari cerita bahwa sehebat apapun kejahatan pasti akan dikalahkan oleh kebaikan.

b.  Menentukan Persoalan
Persoalan atau konflik adalah inti dari sebuah cerita teatrikal. Cerita tanpa konflik pastilah sangat tidak menarik untuk disampaikan. Oleh karena itu pangkal persoalan atau titik awal konflik perlu dibuat dan disesuaikan dengan tema yang dikehendaki. Misalnya dengan tema “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”, pangkal persoalan yang dibicarakan adalah sikap licik seseorang yang selalu memfitnah orang lain demi kepentingannya sendiri. Persoalan ini kemudian dikembangkan dalam cerita yang hendak dituliskan.

c.   Menentukan Protagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawa laku keseluruhan cerita. Dengan menentukan tokoh protagonis secara mendetil, maka tokoh lainnya mudah ditemukan. Misalnya, dalam persoalan tentang kelicikan, maka tokoh protagonis dapat diwujudkan sebagi orang yang rajin, semangat dalam bekerja, senang membantu orang lain, berkecukupan, dermawan, serta jujur. Semakin detil sifat atau karakter protagonis, maka semakin jelas pula karakter tokoh antagonis. Dengan menulis lawan dari sifat protagonis maka karakter antagonis dengan sendirinya terbentuk. Jika tokoh protagonis dan antagonis sudah ditemukan, maka tokoh lain baik yang berada di pihak protagonis atau antagonis akan mudah diciptakan.

d.  Menentukan Penyelesaian
Mengakhiri sebuah persoalan yang dimunculkan tidaklah mudah. Dalam beberapa lakon ada cerita yang diakhiri dengan baik tetapi ada yang diakhiri secara tergesa-gesa, bahkan ada yang bingung mengakhirinya. Akhir cerita yang mengesankan selalu akan dinanti oleh penonton. Oleh karena itu tentukan akhir cerita dengan baik, logis, dan tidak tergesa-gesa.

e.   Membuat Sinopsis
Gambaran cerita secara global dari awal sampai akhir hendaknya dituliskan. Sinopsis digunakan sebagai pemandu proses penulisan naskah sehingga alur dan persoalan tidak melebar. Dengan adanya sinopsis maka penulisan lakon menjadi terarah dan tidak mengada-ada.

f.    Membuat Kerangka Cerita
Kerangka cerita akan membingkai jalannya cerita dari awal sampai akhir. Kerangka ini membagi jalannya cerita mulai dari pemaparan, konflik, klimaks sampai penyelesaian. Dengan membuat kerangka cerita maka penulis akan memiliki batasan yang jelas sehingga cerita tidak bertele-tele. William Froug (1993) misalnya, membuat kerangka cerita (skenario) dengan empat bagian, yaitu pembukaan, bagian awal, tengah, dan akhir. Pada bagian pembukaan memaparkan sketsa singkat tokoh-tokoh cerita. Bagian awal adalah bagian pengenalan secara lebih rinci masing-masing tokoh dan titik konflik awal muncul. Bagian tengah adalah konflik yang meruncing hingga sampai klimaks. Pada bagian akhir, titik balik cerita dimulai dan konflik diselesaikan. Riantiarno (2003), sutradara sekaligus penulis naskah Teater Koma, menentukan kerangka lakon dalam tiga bagian, yaitu pembukayang berisi pengantar cerita atau sebab awal, isiyang berisi pemaparan, konflik hingga klimaks, dan penutupyang merupakan simpulan cerita atau akibat.Secara sangat sederhana kerangka cerita terdiri dari tiga bagian yaitu pemaparan, konflik, dan penyelesaian.

g.  Menulis
Setelah semua hal disiapkan maka proses berikutnya adalah menulis. Mencari dan mengembangkan gagasan memang tidak mudah, tetapi lebih tidak mudah lagi memindahkan gagasan dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, gunakan dan manfaatkan waktu sebaik mungkin.

3.      Narasi dan Dialog
Cerita yang akan disampaikan dalam naskah drama berbeda dengan cerita dalam novel atau cerpen. Naskah memerlukan dialog atau wicara tokoh yang lebih banyak ketimbang narasi. Jika narasi hadir terlalu banyak maka naskah drama akan Nampak seperti pidato. Narasi biasanya digunakan untuk menerangkan latar atau situasi cerita. Hal ini sebetulnya bisa diubah ke dalam dialog atau wicara tokoh. Selain lebih menarik hal ini pun juga lebih menantang kepiawaian penulis dalam berkisah. Dengan perpindahan dialog tokoh satu ke tokoh lain maka kemampuan retorika penulisakan semakin terasah.

D.  Menyutradarai Teater

Kerja sutradara dimulai sejak merencanakan sebuah pementasan, yaitu menentukan lakon. Setelah itu tugas berikutnya adalah menganalisis lakon, menentukan pemain, menentukan bentuk dan gaya pementasan, memahami dan mengatur blocking serta melakukan serangkaian latihan dengan para pemain dan seluruh pekerja artistik hingga karya teater benar-benar siap untuk dipentaskan.

1.      Menentukan Lakon (Naskah)
Proses atau tahap pertama yang harus dilakukan oleh sutradara adalah menentukan lakon yang akan dimainkan. Sutradara bisa memilih lakon yang sudah tersedia atau naskah jadi), karya orang lain atau membuat naskah sendiri.

Naskah Jadi
Mementaskan teater dengan naskah yang sudah tersedia memiliki kerumitan tersendiri terutama pada saat hendak memilih naskah yang akan dipentaskan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan oleh sutradara dalam memilih naskah, seperti tertulis di bawah ini.
·  Sutradara menyukai naskah yang dipilih.
·  Sutradara merasa mampu mementaskan naskah yang telah dipilih tersebut.
·  Sutradara mampu tetap mementaskan naskah yang dipilih.

Membuat Naskah Sendiri
Membuat naskah lakon sendiri tidak menguntungkan karena akan memperpanjang proses pengerjaan. Akan tetapi berkenaan dengan sumber daya yang dimiliki, membuat naskah sendiri dapat menjadi pilihan yang tepat. Untuk itu, sutradara harus mampu membuat naskah yang sesuai dengan kualitas sumber daya yang ada.


2.    Analisis Lakon
Menganalisis lakon adalah salah satu tugas utama sutradara. Lakon yang telah ditentukan harus segera dipelajari sehingga gambaran lengkap cerita didapatkan. Dengan analisis yang baik, sutradara akan lebih mudah menerjemahkan kehendak pengarang dalam pertunjukan. Unsur-unsur pokok yang harus dianalisis oleh sutradara adalah sebagai berikut.
·  Pesan Lakon.
·  Konflik dan Penyelesaian.
·  Karakter Tokoh.
·  Latar Cerita.

3.    Interpretasi
Setelah menganalisis lakon dan mendapatkan informasi lengkap mengenai lakon, maka sutradara perlu melakukan tafsir atau interpretasi. Berdasarkan hasil analisis, sutradara memberi sentuhan dan atau penyesuaian artistik terhadap lakon yang akan dipentaskan. Proses interpretasi biasanya menyangkut unsur latar, pesan, dan penokohan.
·  Latar. Adaptasi terhadap tempat kejadian peristiwa sering dilakukan oleh sutradara. Secara teknis hal ini berkaitan dengan sumber daya yang dimiliki. 
·  Pesan. Hal yang paling menarik mengenai penyampaian pesan kepada penonton adalah caranya. Cara menyampaikan pesan antara sutradara satu dengan yang lain bisa berbeda meskipun lakon yang dipentaskan sama.
·  Penokohan. Tafsir ulang terhadap tokoh lakon paling sering dilakukan. Hal ini biasanya berkaitan dengan isu atau topik yang sedang hangat terjadi di masyarakat. Tafsir ulang tokoh tidak hanya sekedar mengubah nama dan menyesuaikan bentuk penampilan fisik, tetapi juga mental, emosi, dan keseluruhan watak tokoh. 

4.    Konsep Pementasan
Hasil akhir dari analisis naskah adalah konsep pementasan. Dalam konsep ini sutradara menjelaskan secara lengkap mengenai cara menyampaikan pesan lakon serta memberikan gambaran global tata artistik.
·  Pendekatan gaya pementasan. Seniman teater dunia telah banyak berusaha melahirkan gaya pementasan. Dewasa ini hampir tidak bisa ditemukan gaya pementasan murni yang dihasilkan seorang sutradara atau pemikir teater. Setiap kelahiran gaya baru memiliki keterkaitan atau perlawanan terhadap gaya tertentu (baca bagian sejarah teater). 
·  Pendekatan pemeranan. Setelah menetapkan pendekatan gaya, maka metode pemeranan yang dilakukan perlu dituliskan. Hal ini sangat berguna bagi aktor. Metode akting berkaitan dengan pencapaian aktor (standar) sesuai dengan pendekatan gaya pementasannya.
·  Gambaran tata artistik. Secara umum, sutradara bisa menuliskan gambaran (pandangan) tata artistiknya. Meski tidak secara mendetil, tetapi gambaran tata artistik berguna bagi para desainer untuk mewujudkannya dalam desain.

5.    Memilih Pemain
Menentukan pemain yang tepat tidaklah mudah. Dalam sebuah grup atau sanggar, sutradara sudah mengetahui karakter pemain-pemainnya. Akan tetapi, dalam sebuah grup teater (kampus) yang pemainnya selalu berganti atau kelompok teater kecil yang membutuhkan banyak pemain lain sutradara harus jeli memilih sesuai kualifikasi yang diinginkan.

Fisik
Penampilan fisik seorang pemain dapat dijadikan dasar menentukan peran. Biasanya, dalam lakon yang gambaran tokohnya sudah melekat di masyarakat.
·  Ciri Wajah. Berkaitan langsung dengan penampilan mimik aktor. Meskipun kekurangan wajah bisa ditutupi dengan tata rias, tetapi ciri wajah pemain harus diusahakan semirip mungkin dengan ciri wajah tokoh dalam lakon.
·  Ukuran Tubuh. Dalam kasus tertentu, ukuran tubuh merupakan harga mati bagi sebuah peran.
·  Tinggi Tubuh. Hal ini juga sama dengan ukuran tubuh.
·  Ciri Tertentu. Ciri fisik dapat pula dijadikan acuan untuk menentukan pemain.


Kecakapan/kemampuan
Menentukan pemain berdasar kecapakan biasanya dilakukan melalui audisi. Meskipun dalam khasanah teater modern, sutradara dapat menilai kecakapan pemain melalui portofolio tetapi proses audisi tetap penting untuk menilai kecakapan aktor secara langsung.
·  Tubuh. Kesiapan tubuh seorang pemain merupakan faktor utama. Tidak ada gunanya seorang aktor bermain dengan baik jika fisiknya lemah.
·  Wicara. Kemampuan dasar wicara merupakan syarat utama yang lain. Dalam teater yang menggunakan ekspresi bahasa verbal kejelasan ucapan adalah kunci ketersampaian pesan dialog.
·  Penghayatan. Menghayati sebuah peran berarti mampu menerjemahkan laku aksi karakter peran dalam bahasa verbal dan ekspresi tubuh secara bersamaan. Untuk menilai hal ini, sutradara dapat memberikan penggalan adegan atau dialog karakter untuk diujikan.
·  Kecakapan lain. Kemampuan lain selain bermain peran terkadang dibutuhkan. Misalnya, seorang calon aktor yang memiliki kemampuan menari, menyanyi atau bermain musik memiliki nilai lebih.


6.    Menentukan Bentuk dan Gaya Pementasan
Bentuk dan gaya pementasan membingkai keseluruhan penampilan pementasan. Di bawah ini akan dibahas bentuk dan gaya pementasan menurut penuturan cerita, bentuk penyajian, dan gaya penyajian.

Menurut Penuturan Cerita
            Ada dua jenis pertunjukan teater menurut penuturan ceritanya, yaitu berdasar naskah lakon dan improvisasi. Mementaskan teater berdasarkan naskah lakon menjadi ciri umum teater modern. Hal ini memiliki kelebihan tersendiri, di antaranya adalah sebagai berikut.
·  Durasi waktu dapat ditentukan dengan pasti.
·  Arahan dialog sudah ada
·  Arahan laku permainan dapat ditemukan dalam naskah.
·  Konflik dan penyelesaian tidak bekembang.
·  Fokus permasalahan telah ditentukan.
·  Gambaran bentuk latar kejadian dapat ditemukan dalam naskah.

Di samping kelebihan tersebut di atas, pementasan teater berdasar naskah lakon juga memiliki kekurangan dan problem tersendiri.
·  Jika sumber daya yang dimiliki tidak sesuai dengan kehendak lakon harus dilakukan adaptasi.
·  Kreativitas aktor terbatas.
·  Tidak memungkinkan pengembangan cerita.

Sementara itu mementaskan teater secara improvisasi memiliki keunikan tersendiri. Beberapa kelebihan pentas teater improvisasi adalah;
·  Kreativitas sutradara dan aktor dapat dikembangkan seoptimal mungkin.
·  Arahan laku terbuka.
·  Konflik dan sudut pandang penyelesaian bisa dikembangkan.
·  Memungkinkan percampuran bentuk gaya.
·  Cerita bisa disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki.

Di balik semua kelebihan di atas, teater improvisasi juga memiliki kekurangan yang patut diperhatikan oleh sutradara.
·  Durasi waktu tidak tertentu.
·  Improvisasi dialog tidak berimbang.
·  Kualitas dialog tidak dapat distandarkan.
·  Kemungkinan aktor melakukan kesalahan lebih besar.
·  Sutradara tidak bisa sepenuhnya mengendalikan jalannya pementasan.


Menurut Bentuk Penyajian
            Banyaknya pilihan bentuk penyajian pementasan teater membuat sutradara harus jeli dalam menentukannya. Jika tidak, sutradara akan kerepotan sendiri. Di bawah ini adalah teater menurut bentuk penyajian.

Teater Gerak
Teater gerak lebih banyak membutuhkan ekspresi gerak tubuh dan mimik muka daripada wicara. Pesan yang tidak disampaikan secara verbal membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengelolanya.

·      Teater Boneka
Teater boneka memiliki karakter yang khas tergantung jenis boneka yang dimainkan. Kewajiban sutradara tidak hanya mengatur pemain manusia, tetapi juga mengatur permainan boneka.

·      Teater Dramatik
Mementaskan teater dramatik membutuhkan kerja keras sutradara terutama terkait dengan akting pemeran. Oleh karena tuntutan pertunjukan teater dramatik yang mensyaratkan laku aksi seperti kisah nyata, maka sutradara harus benar-benar jeli dalam menilai setiap aksi para aktor. Demikian juga dengan suasana kejadian, semua harus tampak natural, tidak dibuat-buat.

·      Drama Musikal
Kemampuan multi harus dimiliki oleh seorang sutradara jika hendak mementaskan drama musikal. Bahasa ungkap yang beragam antara bahasa verbal, lagu, gerak, dan musikal harus dirangkai secara harmonis untuk mencapai hasil maksimal.

·      Teatrikalisasi Puisi
Menciptakan karya teater berdasarkan puisi yang bercerita membutuhkan keahlian tersendiri. Sifat puisi berbeda dengan lakon (sastra drama), maka sutradara harus mampu meramu bait-bait puisi ke dalam bentuk teatrikal.

Menurut Gaya Penyajian
            Sejak sejarah kelahirannya, teater telah memunculkan berbagai macam gaya pementasan. Para seniman teater tidak pernah berhenti menggali visualisasi artistik pementasan. Beberapa gaya pementasan yang dilahirkan ada yang bertahan hingga saat ini dan banyak yang tidak lama bertahan. Gaya pementasan yang bertahan biasanya memiliki daya tarik yang kuat dan membuat seniman lain ikut melakukannya. Jika gaya tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang lama oleh seniman berbeda dalam berbagai produksi, maka ciri-ciri dari gaya tersebut berubah menjadi konvensi (pakem). Pertunjukan teater yang menjalankan konvensi tertentu dengan ketat disebut sebagai teater konvensional. Untuk membedakan, pertunjukan teater dengan gaya lain yang masih membuka kemungkinan pengembangan dan belum menetapkan konvensi disebut sebagai teater non konvensional.

·      Konvensional
Mementaskan teater konvensional membutuhkan kecermatan dan kedisiplinan  dalam menerapkan konvensi. Mentaati konvensi terkadang tidak mudah karena kemungkinan bentuk pengembangannya menjadi sangat terbatas. Jika tidak hati-hati gagasan baru untuk pengembangan justru bertolak belakang dari konvensi yang ada. Banyak polemik lahir mengenai ketaatan konvensi, terutama dalam teater tradisional. Hal ini biasanya berkaitan dengan penyebutan nama dan prasyarat yang mengikutinya.

·      Non Konvensional
Teater non konvensional memiliki kemungkinan yang sangat terbuka bagi pengembangan artistik dan sudut pandang. Eksperimentasi sangat dimungkinkan. Pencobaan model penyajian, bentuk pemanggungan, laku lakon sampai bentuk dan gaya akting dapat dikerjakan. Akan tetapi, semua harus disikapi dengan kreativitas artistik yang positif.

7.    Blocking
Sutradara diwajibkan memahami cara mengatur pemain di atas pentas. Bukan hanya akting tetapi juga blocking. Secara mendasar blocking adalah gerakan fisik atau proses penataan (pembentukan) sikap tubuh seluruh aktor di atas panggung. Blocking dapat diartikan sebagai aturan berpindah tempat dari titik (area) satu ke titik (area) yang lainnya bagi aktor di atas panggung.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka perlu diperhatikan agar blocking yang dibuat tidak terlalu rumit, sehingga lalu-lintas aktor di atas panggung berjalan dengan lancar. Jika blocking dibuat  terlalu rumit, maka perpindahan dari satu aksi menuju aksi yang lain menjadi kabur. Yang terpenting dalam hal ini adalah fokus atau penekanan bagian yang akan ditampilkan.

8.    Latihan, Pementasan, Evaluasi
Sutradara membimbing para aktor selama proses latihan. Untuk mendapatkan hasil terbaik sutradara harus mampu mengatur para aktor mulai dari proses membaca naskah lakon hingga sampai materi pentas benar-benar siap untuk ditampilkan. Kunci utama dari serangkaian latihan adalah kerjasama antara sutradara dan aktor serta kerjasama antaraktor. Sutradara perlu menetapkan target yang harus dicapai oleh aktor melalui tahapan latihan yang dilakukan.

Dengan melaksanakan latihan sesuai jadwal maka aktor dituntut kedisiplinan untuk memenuhi target capaian. Jadwal ini juga bisa digunakan sebagai acuan kerja penata artistik sehingga ketika sesi latihan teknik dilangsungkan pekerjaan mereka telah siap. Langkah-langkah latihan yang bisa dilakukan:
·  Membaca teks lakon (naskah)
·  Menghapal
·  Blocking
·  Stop and go (walkthrough)
·  Top-tail (walkthrough)
·  Run-through
·  Latihan teknik
·  Dress rehearsal
 Setelah semuanya siap, gladi bersih bisa dilakukan dan berikutnya adalah pementasan. Selesai pementasan perlu dilakukan evaluasi untuk menilai hasil kerja yang telah dilakukan. Catatan-catatan hasil evaluasi ini pada nantinya dapat digunakan sebagai panduan untuk membuat karya berikutnya.

E.  Metode Pembelajaran Teater
Proses pembelajaran teater secara umum mengajarkan seseorang atau peserta didik untuk menjadi pemain atau bisa bermain teater. Oleh karena itu aspek utama yang dipelajari adalah pemeranan yang di dalamnya meliputi olah pikir, olah tubuh, dan olah suara atau vokal. Ketiga aspek itulah yang menjadi modal pemain untuk memerankan karakter peran di atas pentas. Dalam mencapai kecapakan dari ketiga aspek tersebut, pemeran juga sangat tergantung dari konsep dasar pementasan yang akan digelar. Apakah konsep pementasannya menggunakan naskah atau improvisasi. Oleh karena perbedaan dasar konsep pementasan itu pula maka metode pembelajaran teater dalam kaitaannya dengan pemeranan juga beragam.

1.      Metode Drama
Metode drama dalam proses pembelajaran teater merupakan proses pembelajaran praktik pemeranan dengan berdasar pada naskah atau lakon yang disediakan. Semua elemen ekspresi yang dilatihkan harus didasarkan pada teks lakon. Tahapan dalam metode ini adalah:
·      Analisis cerita yang dilakukan secara bersama antara sutradara dan pemain serta seluruh pendukung artistic pementasan
·      Analisis karakter peran untuk mengetahui ciri-ciri peran baik fisik maupun watak
·      Reading adalah proses membaca teks lakon dari awal sampai akhir
·      Memorizing adalah proses menghapal teks lakon sesuai karakter peran yang dimainkan
·      Blocking adalah proses penghayatan peran dengan memperhatikan tata gerak terkait ruang yang ada
·      Runthrough adalah proses latihan secara keseluruan laku peran tanpa interupsi (dilakukan setelah peserta hapal teks dan memahami blocking)
·      Latihan tekhnik adalah latihan gabungan antara pemeran dengan tim artistik seperti tata rias dan busana, cahaya, panggung, dan suara.
·      Pementasan adalah unjuk kerja sesungguhnya dari kesemua tahap latihan yang terlah dilakukan

Metode drama sangatlah popular karena memang salah satu ciri teater modern adalah penggunaan naskah lakon. Banyak tokoh teater dunia di antaranya Stanislavsky dan Bolelawsky yang mengembangkan metode pelatihan atau pembelajaran pemeranan dengan tujuan akhir melahirkan para pemain teater yang handal yang mampu memainkan karakter peran dengan baik di atas pentas dengan berdasar pada teks lakon.


2.      Metode Improvisasi
Metode improvisasi merupakan proses pembelajaran praktik pemeranan berdasar pada retorika dan kreatifitas verbal melalui sebuah rangka cerita yang disampaikan secara lisan (tak tertulis). Pemain diharapkan mampu memainkan dan mengembangkan rangka cerita tersebut menjadi sebuah pertunjukan teater. Metode ini dapat dilakukan dengan 3 tahap atau model:

Improvisasi Tunggal
Dalam tahap latihan ini pemain diharuskan melakukan semacam monolog atau soliloki yaitu wicara seorang diri terkait satu hal atau persoalan. Pertama pemain diminta untuk bercerita mengenai peristiwa yang pernah ia saksikan dalam hidupnya. Berikutnya bercerita mengenai kejadian yang pernah dialami. Setelah kedua tahap ini berjalan dengan baik tahap selanjutnya pemain diminta untuk bercerita secara bebas baik itu berdasar kisah nyata atau rekaan semata.

Improvisasi Duet/Duo
Satu pemain diminta untuk berdialog dengan satu pemain lain mengenai suatu hal. Tahap pertama adalah Same di mana mereka berbicara dengan tanpa melibatkan identitas serta harga dialognya sama dan tanpa penolakan. Berikutnya adalah Role Play di mana mereka berbicara dan sudah melibatkan identitas diri tetapi harga dialog masih sama dan tanpa penolakan. Selanjunya adalah Context di mana mereka berdialog berdasar konteks pembicaraan sehingga harga dialog tidak harus sama. Tahap akhir adalah Duologue di mana memainkan sebuah cerita secara improvisasi.

Improvisasi Kelompok
Tahap ini meruapakan tahap akhir di mana peserta dibagi kedalam kelompok yang terdiri dari 3 orang atau lebih. Masing-masing kelompok merancang cerita dan memainkannya secara improvisasional sehingga sudah merupakan satu pertunjukan teater sederhana.

3.      Metode Theater Game
Theater game adalah metode pembelajaran teater melalui permainan yang menyenangkan dan diperkenalkan oleh Viola Spolin sewaktu dia bekerja dengan anak-anak pada tahun 1924 ketika masih belajar di Neva Boyd’s School of Creative Drama dan berlanjut ketika menjadi supervisor drama di Chicago. Tahun 1946 ia mendirikan dan menjadi sutradara pada Young Actors Company di Hollywood. Di sini ia mulai menggunakan game untuk melatih anak-anak dalam produksi drama formal. Model problem-solving berdasarkan struktur dan pola permainan yang membolehkan peserta didik untuk menyerap kemampuan teater mereka secara alamiah dan tak tersadari ia gunakan. Peserta didik belajar dengan melakukan secara langsung (learning by doing), mengalami secara spontan dan bukannya melakukan sesuatu yang telah diformulasikan sebelumnya. Dari pengalaman ini kemudian terciptalah ratusan nomor permainan untuk menstimulasi peran (action), spontanitas, hubungan (komunikasi), dan kreatifitas individual dalam format kelompok (Spolin, 1986:2).

Terdapat 3 hal mendasar yang harus dilakukan selama proses theatre game berlangsung yaitu fokus, pembimbingan langsung, dan evaluasi. Yang dimaksud dengan fokus bukanlah pemusatan perhatian pada tujuan dari permainan yang dilaksanakan tetapi lebih pada pemusatan energi dan perasaan secara total ketika sedang bermain. Artinya, nikmatilah permainan tersebut dan pada akhirnya nanti fokus yang sesungguhnya dari permainan akan tertemukan. Setiap permainan memiliki tata aturan tersendiri oleh karena itu diperlukan pembimbingan langsung dalam bentuk kata atau kalimat pengingat yang diberikan secara langsung oleh pelatih. Kata pengingat ini berfungsi agar para pemain tidak keluar dari aturan permainan. Selain itu kata atau kalimat tersebut dapat berfungsi untuk memberikan energi serta menyemangati pemain. Kata atau kalimat ini harus dibuat sederhana dan mudah untuk dicerna, jadi pelatih tidak seperti sedang memberikan ceramah. Terakhir, setelah permainan selesai perlu diberikan evaluasi tapi tak bersifat menilai atau menghakimi. Evaluasi lebih bersifat refleksi untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya permainan tersebut dan juga daya gunanya bagi kelompok dan pemain itu sendiri.

Semua hal terkait dengan praktik teater diajarkan dalam bentuk permainan. Semua elemen teater termasuk gerak, persepsi dan ekspresi, unsur drama, kerjasama tim, dan kreatifitas dapat diajarkan dalam bentuk permainan. Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini.

Dalam praktik pelaksanaannya perlu digaris bawahi terlebih dahulu bahwa setiap permainan yang akan dimainkan memiliki aturannya sendiri. Semua pemain yang terlibat harus mematuhi aturan tersebut dan pelatih menjaga agar semua berjalan sesuai aturan dengan memberikan bimbingan langsung. Sebelum proses pembelajaran theater game dimulai lebih dulu dilakukan pemanasan agar otot kendur sehingga bisa digerakkan dengan rileks. Pemanasan ini bisa dilakukan dengan senam ringan mulai kepala sampai kaki dan bisa juga dilakukan dengan permainan.

Setelah pemanasan selesai selanjutnya bisa dilakukan latihan inti yang dalam theater game dapat digolongkan ke dalam berbagai cakupan kemampuan di antarnya adalah kemampuan gerak, persepsi, elemen dramatik, kerjasama dan kreatifitas. Cakupan gerak meliputi kesadaran akan tubuh serta gerak ritmik dan enerjik. Cakupan persepsi meliputi konsentrasi, memori, dan imitasi atau refleksi. Cakupan elemen dramatik meliputi setting, plot, karakter, role-play dan kolaborasi. Cakupan kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk role-play dan kolaborasi. Sedangkan cakupan kreatifitas meliputi dramatisasi, pantomim, dan improvisasi. Intinya, metode theater game mencoba mengajarkan teater melalui sebuah permainan sehingga menyenangkan dan pemain atau peserta merasa bahwa ketika bermain itulah mereka belajar elemen-elemen teater secara tidak langsung. (*)


Daftar Pustaka
A. Kasim Achmad, 2006. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Bakdi Soemanto, 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Media Pressindo
Mary McTigue, 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What, and the Way Things Really Work in the Theatre, Ohio: Better Way Books.
Michael Huxley, Noel Witts (Ed.), 1996. The Twentieth Century Performance Reader. London: Routledge.
Rendra. 2013. Seni Drama Untuk Remaja. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya
RMA Harymawan, 1993.  Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Spolin, Viola. 1986. Theatre Games for the Classroom: a Teacher’s Handbook. Nortwestern University Press.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar