MATERI workshop PKB VOKASI LUAR JAWA DI BALI 2015
29 NOVEMBER sd 12 DESEMBER 2015\PPPTK YOGYAKARTA
TEMPAT: QUEST HOTEL
JL. MAHENDRADATA NO. 93 DENPASAR BALI 80117
TELP. (0361) 4717000 FAX. (0361) 4717111
OLEH: EKO SANTOSO, S.Sn.
29 NOVEMBER sd 12 DESEMBER 2015\PPPTK YOGYAKARTA
TEMPAT: QUEST HOTEL
JL. MAHENDRADATA NO. 93 DENPASAR BALI 80117
TELP. (0361) 4717000 FAX. (0361) 4717111
OLEH: EKO SANTOSO, S.Sn.
2.
PENGETAHUAN
DASAR SENI TEATER DAN METODE PEMBELAJARANNYA
A. PENDAHULUAN
Seni teater
merupakan salah satu cabang seni pertunjukan yang di dalamnya mengandung
beragam unsur seni yaitu seni peran, gerak, rupa, dan bunyi. Dapat dikatakan
seni teater adalah seni yang kompleks dan bersifat kolaboratif. Karena ini
pulalah seni teater menarik untuk dipelajari sebab dinamika perkembangannya
dapat ditilik dari beragam unsur yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh teater dunia
melahirkan karya teater dengan gaya tertentu dan dari sudut pandang tertentu.
Sebut saja Stanislavsky yang mengembangkan teater dengan pendekatan metode
pemeranan sehingga lebih menekankan seni akting daripada yang lain. Growtowsky
mengembangkan teater dari dimensi tontonan sehingga melahirkan bentuk-bentuk
panggung yang atraktif. Bertold Brecht menggagas teater epik yang didasari pada
kepentingan proses pembelajaran politik bagi penonton melalui pertunjukan
(lihat Michael Huxley, Noel Witts, 1996).
Masih banyak
tentunya tokoh teater yang mampu menghadirkan konsep dan tata pertunjukan yang
baru. Di Indonesia kita mengenal Putu Wijaya yang mengusung teater berbau
absurd dan teror. Sementara Arifin C. Noer lebih mengedepankan surealisme dalam
pertunjukannya. Tidak ketinggalan pula Rendra dengan gaya presentasionalnya
yang mendayu dan menggugah. Ragam kreasi yang kaya ini benar-benar menarik
untuk dicermati. Setiap gaya atau konsep teater lahir dari latar belakang
pemikiran tertentu. Ada yang berdasar ide dan ada pula yang merupakan refleksi
kehidupan nyata.
Namun
demikian, tidak semua bentuk teater seperti tersebut di atas dengan mudah
diterima oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan persepsi dan cara
pandang masyarakat dengan seniman pencipta teater. Antonin Artaud yang
menawarkan bentuk teater yang tidak lazim mendapat cercaan masyarakat karena
dianggap menyuguhkan kekejaman yang tidak masuk akal di atas pentas. Namun bagi
sebagian seniman ia dianggap jenius dan memiliki gagasan yang mampu mendobrak
nalar keumuman. Tentu saja hal ini melahirkan situasi paradoks bagi dunia teater.
Satu sisi tuntutan untuk mengembangkan karya seni adalah keniscyaan sementara
di sisi lain ada visi masyarakat yang mewakili nalar umum yang normatif belum
tentu bisa menerimanya.
Guna
menjembatani kesenjangan tersebut, pengetahuan teater sangat diperlukan. Dewasa
ini di kalangan masyarakat masih terjadi kerancuan antara teater dan drama
sehingga sering penyebutan keduanya salah alamat. Teater yang dipandang dari
sudut drama tentu akan mengalami penyempitan arti dan ruang ekspresi. Tidak
terlalu salah sebetulnya cara pandang semacam ini, akan tetapi ruang gerak
teater yang luas terbatas oleh aturan atau prinsip umum yang ada pada drama.
Oleh karena itu, pengertian teater, drama serta perbedaan keduanya perlu
disampaikan sehingga kekeliruan seperti tersebut di atas bisa dieliminasi.
Demikian pula dengan hal-hal lain yang melatar belakangi lahirnya berbagai
macam bentuk ekspresi teater perlu pula disampaikan agar tidak terjadi
kesalahan persepsi yang pada akhirnya justru menghambat kreasi teater yang
membawa nilai kehidupan di dalamnya.
B. Pengertian Teater dan Drama
1. Definisi Teater
Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, seeing place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam
pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana
teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong,
sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater
dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya,
anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain
sebagainya.
Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial
kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat
maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna
filosofis. Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater
itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut
pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil
manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang
dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”,
(Harymawan, 1993). Dengan demikian teater adalah pertunjukan lakon yang
dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh penonton.
2.
Perbedaan Teater dan
Drama
Teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani
Kuno “draomai” yang berarti bertindak atau berbuat dan “drame”
yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid
untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam
istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang
punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga
dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno
(800-277 SM). Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat
seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik
sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah
visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan
disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah
pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”.
Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan
kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindak- tanduk pemain
di atas pentas disebut acting. Istilah acting diambil dari kata
Yunani “drao” yang berarti, berbuat,
berlaku, atau beraksi. Karena
aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan
pemain wanita disebut actress (Harymawan,
1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan
tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di
atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya
naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertunjukan
teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada
adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa
Belanda: Het Toneel). Istilah
Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta.
Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan “wara”
atau “warah” yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara”
berarti “pengajaran yang dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993).
Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita
yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman
Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi
masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad,
2006).
3.
Unsur Pembentuk Teater
a.
Unsur Pokok Teater
Dalam khasanah teater dewasa ini dapat disimpulkan unsur utama teater
adalah naskah lakon (yang diciptakan oleh pengarang), sutradara, pemain,
dan penonton. Tanpa keempat unsur tersebut pertunjukan teater tidak bisa
diwujudkan.
1). Naskah Lakon
Salah satu ciri teater modern adalah digunakannya naskah lakon yang merupakan bentuk tertulis dari cerita drama
yang baru akan menjadi karya teater setelah divisualisasikan ke dalam
pementasan. Naskah Lakon pada dasarnya adalah karya sastra dengan media bahasa
kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni
dari media bahasa kata ke media bahasa pentas. Dalam visualisasi tersebut karya
sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater. Pada saat transformasi
inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu
sutradara, pemain, dan tata artistik.
Naskah lakon sebagaimana karya sastra lain, pada dasarnya mempunyai
struktur yang jelas, yaitu tema, plot, setting,
dan tokoh. Akan tetapi, naskah
lakon yang khusus dipersiapkan untuk
dipentaskan mempunyai struktur lain yang
spesifik. Struktur ini pertama kali di rumuskan oleh Aristoteles yang membagi
menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks,
anti klimaks atau resolusi, dan konklusi (catastrope). Kelima bagian
tersebut pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi lebih
bersifat fungsionalistik.
2). Sutradara
Penanggung jawab proses transformasi naskah lakon ke bentuk pemanggungan
adalah sutradara yang merupakan pimpinan utama kerja kolektif sebuah teater.
Baik buruknya pementasan teater sangat ditentukan oleh kerja sutradara,
meskipun unsur–unsur lainnya juga berperan tetapi masih berada di bawah
kewenangan sutradara.
Sebagai pimpinan, sutradara selain bertanggung jawab terhadap kelangsungan
proses terciptanya pementasan juga harus bertanggung jawab terhadap masyarakat
atau penonton. Meskipun dalam tugasnya seorang sutradara dibantu oleh stafnya
dalam menyelesaikan tugas–tugasnya
tetapi sutradara tetap merupakan penanggung jawab utama. Untuk itu sutradara
dituntut mempunyai pengetahuan yang luas agar mampu mengarahkan pemain untuk
mencapai kreativitas maksimal dan dapat mengatasi kendala teknis yang timbul
dalam proses penciptaan.
Sutradara dalam mengatur para pemain di atas panggung mempunyai dua
prinsip dasar yaitu, mengatur keseluruhan secara ketat dan mendetil sehingga
pemain benar-benar menjalankan konsepnya, dan yang kedua adalah membebaskan
pemain mengembangkan ekspresi aksinya di atas pentas berdasar garis besar
konsep yang telah dibuat. Sebagai seorang pemimpin, sutradara harus mempunyai
pedoman yang pasti sehingga bisa mengatasi kesulitan yang timbul. Menurut
Harymawan (1993), ada beberapa tipe sutradara
dalam menjalankan penyutradaraannya, yaitu:
·
Sutradara konseptor. Ia menentukan pokok
penafsiran dan menyarankan konsep penafsirannya kepada pemain. Pemain dibiarkan
mengembangkan konsep itu secara kreatif. Tetapi juga terikat kepada pokok
penafsiran tersebut.
·
Sutradara diktator. Ia mengharapkan pemain
dicetak seperti dirinya sendiri, tidak ada konsep penafsiran dua arah ia
mendambakan seni sebagai dirinya, sementara pemain dibentuk menjadi robot –
robot yang tetap buta tuli.
·
Sutradara koordinator. Ia menempatkan diri
sebagai pengarah atau polisi lalulintas yang mengkoordinasikan pemain dengan
konsep pokok penafsirannya.
·
Sutradara paternalis. Ia bertindak sebagai
guru atau suhu yang mengamalkan ilmu bersamaan dengan mengasuh batin para
anggotanya. Teater disamakan dengan padepokan, sehingga pemain adalah cantrik
yang harus setia kepada sutradara.
3). Pemain
Untuk mentransformasikan naskah di atas panggung dibutuhkan pemain yang
mampu menghidupkan tokoh dalam naskah lakon menjadi sosok yang nyata. Pemain
adalah alat untuk memeragakan tokoh. Akan tetapi bukan sekedar alat yang harus tunduk kepada naskah.
Pemain mempunyai wewenang membuat refleksi dari naskah melalui dirinya. Agar
bisa merefleksikan tokoh menjadi sesuatu yang hidup, pemain dituntut
menguasai aspek-aspek pemeranan
yang dilatihkan secara khusus, yaitu
jasmani (tubuh/fisik), rohani (jiwa/emosi), dan intelektual.
Memindahkan naskah lakon ke dalam panggung melalui media pemain tidak
sesederhana mengucapkan kata-kata yang ada dalam naskah lakon atau sekedar memperagakan keinginan
penulis melainkan proses pemindahan mempunyai karekter tersendiri, yaitu harus
menghidupkan bahasa kata (tulis) menjadi bahasa pentas (lisan dan tubuh).
Tipe karakter pemain dapat dibedakan menjadi dua yaitu; tipe pemain
berkarakter tunggal, dan pemain serba bisa. Pemain berkarakter tunggal biasanya
memerankan tokoh atau karakter tertentu saja. Ia tidak bisa berperan dalam
beragam karakter yang berbeda (flat
character). Tipe karakter tunggal biasanya terdapat dalam teater
konvensional atau teater beraya tradisional di mana penentuan pemain berdasar
ciri fisik tokoh peran. Sedangkan tipe serba bisa merupakan pemain yang bisa
memerankan karakter peran apapun (round
character). Ia bisa berperan sebagai orang jahat, orang baik, lemah lembut,
keras, suka sedih, dan lain sebagainya.
4). Penonton
Tujuan terakhir suatu pementasan lakon
adalah penonton. Respon penonton atas lakon akan menjadi suatu respons
melingkar, antara penonton dengan pementasan. Banyak sutradara yang kurang
memperhatikan penonton dan menganggapnya sebagai kelompok konsumsi yang bisa
menerima begitu saja apa yang disuguhkan sehingga jika terjadi suatu kegagalan
dalam pementasan penonton dianggap sebagai penyebabnya karena mereka tidak
mengerti atau kurang terdidik untuk memahami sebuah pementasan.
Kelompok penonton pada sebuah pementasan
adalah suatu komposisi organisme kemanusiaan yang peka. Mereka pergi menonton
karena ingin memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan cita-cita. Alasan lainnya untuk tertawa,
untuk menangis, dan untuk digetarkan hatinya, karena terharu akibat dari hasrat
ingin menonton. Penonton meninggalkan rumah, antri karcis dan membayar biaya
masuk dan lain-lain karena teater adalah dunia ilusi dan imajinasi. Membebaskan
pola rutin kehidupan selama waktu dibuka hingga ditutupnya tirai untuk
memuaskan hasrat jiwa khayalannya.
Eksistensi teater tidak mengenal batas
kedudukan manusia. Secara ilmiah, manusia memiliki kekuatan menguasai sikap dan
tindakannya. Tindakannya pergi ke teater disebabkan oleh keinginan dan
kebutuhan berhubungan dengan sesama. Sehingga menempuh jalan sebagai berikut :
· Bertemu dengan orang
lain yang menonton teater. Teater merupakan suatu lembaga sosial.
· Memproyeksikan diri
dengan peranan-peranan yang melakonkan hidup dan kehidupan di atas pentas
secara khayali. Teater adalah salah satu cara proses interaksi sosial.
Dalam memandang suatu karya seni penonton hendaklah mampu memelihara
adanya suatu objektivitas artistik. Ini bisa tercapai dengan menentukan jarak estetik
(aestetic distance) sehubungan dengan karya seni yang dihayatinya.
Pemisahan yang dimaksud, antara penonton dan yang ditonton, pada seni teater
diusahakan dengan jalan:
· Menciptakan penataan
yang tepat atas auditorium dan pentas.
· Adanya batas artistik proscenium sebagai bingkai gambar.
· Pentas yang terang dan
auditorium yang gelap.
Semua itu akan membantu kedudukan penonton sehingga memungkinkan untuk
melakukan perenungan.
b.
Unsur Pendukung Teater
Tata artistik merupakan unsur pendukung yang tidak dapat dipisahkan dari
teater. Pertunjukan teater menjadi tidak
utuh tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini
meliputi tata panggung, tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata
musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan.
Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dan penata
artistik mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur
tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih
dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan.
Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama
pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat
penonton tetapi juga menghidupkan
pemeranan dan suasana panggung.
Tata cahaya atau lampu adalah pengaturan pencahayaan di daerah
sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan suasana lakon
yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa.
Tata musik adalah pengaturan
musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi penekanan
pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan. Unsur ini
masih bisa ditambah atau dilengkapi dengan tata suara yang merupakan pengaturan
keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara
aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan
harmoni.
Tata rias dan tata busana adalah pengaturan rias dan
busana yang dikenakan pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak
peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain
bisa terlihat jelas oleh penonton.
C.
Menulis Cerita Untuk
Teater
Banyak cara atau
proses kreatif yang dilkukan oleh para penulis. Masing-masing memiliki
pendekatan yang berbeda. Ada penulis cerita yang membuat format dulu sebelum
menulis dan ada yang langsung menulis di hadapan mesin ketik atau komputer
secara langsung dengan menuangkan dan merangkai gagasan yang pada saat itu juga
melintas. Namun, bagi penulis pemula ide atau gagasan adalah persoalan mendasar
yang harus dipecahkan.
Apa yang akan ditulis
jika sekiranya tidak ada ide yang melintas di kepala? Itulah pertanyaan yang
biasanya muncul. Padahal sesungguhnya, setiap orang pasti memiliki ide atau
gagasan, hanya saja dasar
permasalahannya ialah, berani atau tidak ia mengungkapkan ide tersebut. Orang
macet menulis umumnya terjadi karena faktor diri sendiri yang menganggap bahwa
ide tulisannya itu tidak bermutu, kurang masuk akal, tidak baik, dan lain
sebagainya. Dengan berbekal keberanian melontarkan ide – apapun itu – maka
kesulitan awal telah teratasi. Berikutnya adalah melanjutkan apa yang telah
dimulai tersebut sampai akhir. Banyak sekali sebetulnya cara yang dapat
digunakan dalam menstimulasi pikiran untuk melahirkan dan mengembangkan ide
menjadi sebuah cerita. Di bawah ini akan diuraikan proses menggali ide sampai
pada tahap penulisan cerita. Tentu saja apa yang diuraikan di sini bukan
satu-satunya teknik atau cara dalam menulis cerita.
1.
Menggali Ide
Seperti telah
disebutkan di atas, banyak penulis pemula yang macet sejak pertama kali karena
merasa tidak memiliki ide atau sesuatu untuk dituliskan. Sebetulnya semua itu
bisa di atasi dengan menulis apa saja yang terlintas di kepala tanpa harus
memikirkan struktur cerita, akhir cerita dan lain sebagainya. Baru kemudian
menyusun tulisan-tulisan tersebut secara lebih terstruktur sehingga membentuk
satu rangkaian cerita. Teknik menulis bebas ini hanyalah salah satu teknik
untuk melahirkan ide atau gagasan tertulis secara simultan. Proses asosiasi
alamiah pikiran manusia akan mengarahkan penulis untuk mencari kemiripan kata
atau kalimat-kalimat yang dituliskan. Namun demikian tidak semua orang bisa
menulis secara bebas dengan proses seperti itu. Dibutuhkan satu rangsangan baik
itu berupa musik, gambar, cerita, benda atau pertanyaan untuk memancing sebuah
gagasan. Setelahnya adalah melanjutkan gagasan tersebut menjadi satu cerita
sederhana yang bisa dikembangkan.
2.
Merangkai Cerita
Gagasan yang
sudah tertulis dan mungkin juga sudah membentuk satu cerita atau gambaran kasar
tersebut perlu kita bingkai atau rangkai dengan tema, konflik, penokohan, dan lain
sebagainya. Hal ini dilakukan agar cerita yang akan kita sampaikan memiliki
satu kesatuan misi.
a. Menentukan Tema
Tema adalah
gagasan dasar cerita atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada
penonton. Tema, akan menuntun laku cerita dari awal sampai akhir. Misalnya tema
yang dipilih adalah “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”,maka dalam cerita hal
tersebut harus dimunculkan melalui aksi tokoh-tokohnya sehingga penonton dapat
menangkap maksud dari cerita bahwa sehebat apapun kejahatan pasti akan
dikalahkan oleh kebaikan.
b. Menentukan
Persoalan
Persoalan atau
konflik adalah inti dari sebuah cerita teatrikal. Cerita tanpa konflik pastilah
sangat tidak menarik untuk disampaikan. Oleh karena itu pangkal persoalan atau
titik awal konflik perlu dibuat dan disesuaikan dengan tema yang dikehendaki.
Misalnya dengan tema “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”, pangkal persoalan
yang dibicarakan adalah sikap licik seseorang yang selalu memfitnah orang lain
demi kepentingannya sendiri. Persoalan ini kemudian dikembangkan dalam cerita
yang hendak dituliskan.
c. Menentukan Protagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawa laku
keseluruhan cerita. Dengan menentukan tokoh protagonis secara mendetil, maka
tokoh lainnya mudah ditemukan. Misalnya, dalam persoalan tentang kelicikan,
maka tokoh protagonis dapat diwujudkan sebagi orang yang rajin, semangat dalam
bekerja, senang membantu orang lain, berkecukupan, dermawan, serta jujur.
Semakin detil sifat atau karakter protagonis, maka semakin jelas pula karakter
tokoh antagonis. Dengan menulis lawan dari sifat protagonis maka karakter
antagonis dengan sendirinya terbentuk. Jika tokoh protagonis dan antagonis
sudah ditemukan, maka tokoh lain baik yang berada di pihak protagonis atau
antagonis akan mudah diciptakan.
d. Menentukan Penyelesaian
Mengakhiri sebuah persoalan yang dimunculkan tidaklah
mudah. Dalam beberapa lakon ada cerita yang diakhiri dengan baik tetapi ada
yang diakhiri secara tergesa-gesa, bahkan ada yang bingung mengakhirinya. Akhir
cerita yang mengesankan selalu akan dinanti oleh penonton. Oleh karena itu
tentukan akhir cerita dengan baik, logis, dan tidak tergesa-gesa.
e. Membuat Sinopsis
Gambaran cerita secara global dari awal sampai akhir
hendaknya dituliskan. Sinopsis digunakan sebagai pemandu proses penulisan
naskah sehingga alur dan persoalan tidak melebar. Dengan adanya sinopsis maka
penulisan lakon menjadi terarah dan tidak mengada-ada.
f. Membuat Kerangka Cerita
Kerangka cerita akan membingkai jalannya cerita dari awal
sampai akhir. Kerangka ini membagi jalannya cerita mulai dari pemaparan,
konflik, klimaks sampai penyelesaian. Dengan membuat kerangka cerita maka
penulis akan memiliki batasan yang jelas sehingga cerita tidak bertele-tele.
William Froug (1993) misalnya, membuat kerangka cerita (skenario) dengan empat
bagian, yaitu pembukaan, bagian awal, tengah, dan akhir. Pada bagian pembukaan
memaparkan sketsa singkat tokoh-tokoh cerita. Bagian awal adalah bagian
pengenalan secara lebih rinci masing-masing tokoh dan titik konflik awal
muncul. Bagian tengah adalah konflik yang meruncing hingga sampai klimaks. Pada
bagian akhir, titik balik cerita dimulai dan konflik diselesaikan. Riantiarno
(2003), sutradara sekaligus penulis naskah Teater Koma, menentukan kerangka
lakon dalam tiga bagian, yaitu pembukayang berisi pengantar cerita atau sebab
awal, isiyang berisi pemaparan, konflik hingga klimaks, dan penutupyang
merupakan simpulan cerita atau akibat.Secara sangat sederhana kerangka cerita
terdiri dari tiga bagian yaitu pemaparan, konflik, dan penyelesaian.
g. Menulis
Setelah semua
hal disiapkan maka proses berikutnya adalah menulis. Mencari dan mengembangkan
gagasan memang tidak mudah, tetapi lebih tidak mudah lagi memindahkan gagasan
dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, gunakan dan manfaatkan waktu sebaik
mungkin.
3.
Narasi dan Dialog
Cerita yang
akan disampaikan dalam naskah drama berbeda dengan cerita dalam novel atau
cerpen. Naskah memerlukan dialog atau wicara tokoh yang lebih banyak ketimbang
narasi. Jika narasi hadir terlalu banyak maka naskah drama akan Nampak seperti
pidato. Narasi biasanya digunakan untuk menerangkan latar atau situasi cerita.
Hal ini sebetulnya bisa diubah ke dalam dialog atau wicara tokoh. Selain lebih
menarik hal ini pun juga lebih menantang kepiawaian penulis dalam berkisah.
Dengan perpindahan dialog tokoh satu ke tokoh lain maka kemampuan retorika
penulisakan semakin terasah.
D.
Menyutradarai Teater
Kerja sutradara dimulai sejak merencanakan
sebuah pementasan, yaitu menentukan lakon. Setelah itu tugas berikutnya adalah
menganalisis lakon, menentukan pemain, menentukan bentuk dan gaya pementasan,
memahami dan mengatur blocking serta melakukan serangkaian latihan dengan para
pemain dan seluruh pekerja artistik hingga karya teater benar-benar siap untuk
dipentaskan.
1.
Menentukan Lakon (Naskah)
Proses atau
tahap pertama yang harus dilakukan oleh sutradara adalah menentukan lakon yang
akan dimainkan. Sutradara bisa memilih lakon yang sudah tersedia atau naskah
jadi), karya orang lain atau membuat naskah sendiri.
Naskah Jadi
Mementaskan teater dengan naskah yang
sudah tersedia memiliki kerumitan tersendiri terutama pada saat hendak memilih
naskah yang akan dipentaskan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan
oleh sutradara dalam memilih naskah, seperti tertulis di bawah ini.
· Sutradara
menyukai naskah yang dipilih.
· Sutradara
merasa mampu mementaskan naskah yang telah dipilih tersebut.
· Sutradara mampu
tetap mementaskan naskah yang dipilih.
Membuat Naskah Sendiri
Membuat naskah lakon sendiri tidak
menguntungkan karena akan memperpanjang proses pengerjaan. Akan tetapi
berkenaan dengan sumber daya yang dimiliki, membuat naskah sendiri dapat menjadi
pilihan yang tepat. Untuk itu, sutradara harus mampu membuat naskah yang sesuai
dengan kualitas sumber daya yang ada.
2. Analisis
Lakon
Menganalisis lakon adalah salah satu
tugas utama sutradara. Lakon yang telah ditentukan harus segera dipelajari
sehingga gambaran lengkap cerita didapatkan. Dengan analisis yang baik,
sutradara akan lebih mudah menerjemahkan kehendak pengarang dalam pertunjukan.
Unsur-unsur pokok yang harus dianalisis oleh sutradara adalah sebagai berikut.
· Pesan Lakon.
· Konflik dan Penyelesaian.
· Karakter Tokoh.
· Latar Cerita.
3. Interpretasi
Setelah menganalisis lakon dan
mendapatkan informasi lengkap mengenai lakon, maka sutradara perlu melakukan
tafsir atau interpretasi. Berdasarkan hasil analisis, sutradara memberi
sentuhan dan atau penyesuaian artistik terhadap lakon yang akan dipentaskan.
Proses interpretasi biasanya menyangkut unsur latar, pesan, dan penokohan.
· Latar. Adaptasi terhadap tempat kejadian
peristiwa sering dilakukan oleh sutradara. Secara teknis hal ini berkaitan
dengan sumber daya yang dimiliki.
· Pesan. Hal yang paling menarik mengenai
penyampaian pesan kepada penonton adalah caranya.
Cara menyampaikan pesan antara sutradara satu dengan yang lain bisa berbeda
meskipun lakon yang dipentaskan sama.
· Penokohan. Tafsir ulang terhadap tokoh lakon
paling sering dilakukan. Hal ini biasanya berkaitan dengan isu atau topik yang
sedang hangat terjadi di masyarakat. Tafsir ulang tokoh tidak hanya sekedar
mengubah nama dan menyesuaikan bentuk penampilan fisik, tetapi juga mental,
emosi, dan keseluruhan watak tokoh.
4. Konsep Pementasan
Hasil akhir
dari analisis naskah adalah konsep pementasan. Dalam konsep ini sutradara
menjelaskan secara lengkap mengenai cara menyampaikan pesan lakon serta memberikan
gambaran global tata artistik.
· Pendekatan gaya pementasan. Seniman teater dunia telah banyak
berusaha melahirkan gaya pementasan. Dewasa ini hampir tidak bisa ditemukan
gaya pementasan murni yang dihasilkan seorang sutradara atau pemikir teater.
Setiap kelahiran gaya baru memiliki keterkaitan atau perlawanan terhadap gaya
tertentu (baca bagian sejarah teater).
· Pendekatan pemeranan. Setelah menetapkan pendekatan gaya,
maka metode pemeranan yang dilakukan perlu dituliskan. Hal ini sangat berguna
bagi aktor. Metode akting berkaitan dengan pencapaian aktor (standar) sesuai
dengan pendekatan gaya pementasannya.
· Gambaran tata artistik. Secara umum, sutradara bisa menuliskan gambaran
(pandangan) tata artistiknya. Meski tidak secara mendetil, tetapi gambaran tata
artistik berguna bagi para desainer untuk mewujudkannya dalam desain.
5. Memilih Pemain
Menentukan pemain yang tepat tidaklah
mudah. Dalam sebuah grup atau sanggar, sutradara sudah mengetahui karakter
pemain-pemainnya. Akan tetapi, dalam sebuah grup teater (kampus) yang pemainnya
selalu berganti atau kelompok teater kecil yang membutuhkan banyak pemain lain
sutradara harus jeli memilih sesuai kualifikasi yang diinginkan.
Fisik
Penampilan fisik seorang pemain dapat
dijadikan dasar menentukan peran. Biasanya, dalam lakon yang gambaran tokohnya
sudah melekat di masyarakat.
· Ciri Wajah. Berkaitan langsung dengan penampilan
mimik aktor. Meskipun kekurangan wajah bisa ditutupi dengan tata rias, tetapi
ciri wajah pemain harus diusahakan semirip mungkin dengan ciri wajah tokoh
dalam lakon.
· Ukuran Tubuh. Dalam kasus tertentu, ukuran tubuh
merupakan harga mati bagi sebuah peran.
· Tinggi Tubuh. Hal ini juga sama dengan ukuran tubuh.
· Ciri Tertentu. Ciri fisik dapat pula dijadikan acuan
untuk menentukan pemain.
Kecakapan/kemampuan
Menentukan pemain berdasar kecapakan
biasanya dilakukan melalui audisi. Meskipun dalam khasanah teater modern,
sutradara dapat menilai kecakapan pemain melalui portofolio tetapi proses
audisi tetap penting untuk menilai kecakapan aktor secara langsung.
· Tubuh. Kesiapan tubuh seorang pemain merupakan
faktor utama. Tidak ada gunanya seorang aktor bermain dengan baik jika fisiknya
lemah.
· Wicara. Kemampuan dasar wicara merupakan syarat
utama yang lain. Dalam teater yang menggunakan ekspresi bahasa verbal kejelasan
ucapan adalah kunci ketersampaian pesan dialog.
· Penghayatan. Menghayati sebuah peran berarti mampu
menerjemahkan laku aksi karakter peran dalam bahasa verbal dan ekspresi tubuh
secara bersamaan. Untuk menilai hal ini, sutradara dapat memberikan penggalan
adegan atau dialog karakter untuk diujikan.
· Kecakapan lain. Kemampuan lain selain bermain peran
terkadang dibutuhkan. Misalnya, seorang calon aktor yang memiliki kemampuan
menari, menyanyi atau bermain musik memiliki nilai lebih.
6. Menentukan Bentuk dan Gaya Pementasan
Bentuk dan gaya pementasan membingkai keseluruhan
penampilan pementasan. Di bawah ini akan dibahas bentuk dan gaya pementasan
menurut penuturan cerita, bentuk penyajian, dan gaya penyajian.
Menurut Penuturan Cerita
Ada dua jenis pertunjukan teater
menurut penuturan ceritanya, yaitu berdasar naskah lakon dan improvisasi.
Mementaskan teater berdasarkan naskah lakon menjadi ciri umum teater modern.
Hal ini memiliki kelebihan tersendiri, di antaranya adalah sebagai berikut.
· Durasi waktu dapat ditentukan dengan
pasti.
· Arahan dialog sudah ada
· Arahan laku permainan dapat ditemukan
dalam naskah.
· Konflik dan penyelesaian tidak
bekembang.
· Fokus permasalahan telah ditentukan.
· Gambaran bentuk latar kejadian dapat
ditemukan dalam naskah.
Di samping kelebihan tersebut di atas,
pementasan teater berdasar naskah lakon juga memiliki kekurangan dan problem
tersendiri.
· Jika sumber daya yang dimiliki tidak
sesuai dengan kehendak lakon harus dilakukan adaptasi.
· Kreativitas aktor terbatas.
· Tidak memungkinkan pengembangan cerita.
Sementara itu mementaskan teater secara
improvisasi memiliki keunikan tersendiri. Beberapa kelebihan pentas teater
improvisasi adalah;
· Kreativitas sutradara dan aktor dapat
dikembangkan seoptimal mungkin.
· Arahan laku terbuka.
· Konflik dan sudut pandang penyelesaian
bisa dikembangkan.
· Memungkinkan percampuran bentuk gaya.
· Cerita bisa disesuaikan dengan sumber
daya yang dimiliki.
Di balik semua kelebihan di atas,
teater improvisasi juga memiliki kekurangan yang patut diperhatikan oleh
sutradara.
· Durasi waktu tidak tertentu.
· Improvisasi dialog tidak berimbang.
· Kualitas dialog tidak dapat
distandarkan.
· Kemungkinan aktor melakukan kesalahan
lebih besar.
· Sutradara tidak bisa sepenuhnya
mengendalikan jalannya pementasan.
Menurut Bentuk Penyajian
Banyaknya pilihan bentuk penyajian
pementasan teater membuat sutradara harus jeli dalam menentukannya. Jika tidak,
sutradara akan kerepotan sendiri. Di bawah ini adalah teater menurut bentuk
penyajian.
Teater Gerak
Teater gerak lebih banyak membutuhkan
ekspresi gerak tubuh dan mimik muka daripada wicara. Pesan yang tidak
disampaikan secara verbal membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengelolanya.
· Teater Boneka
Teater boneka memiliki karakter yang khas
tergantung jenis boneka yang dimainkan. Kewajiban sutradara tidak hanya
mengatur pemain manusia, tetapi juga mengatur permainan boneka.
· Teater Dramatik
Mementaskan teater dramatik membutuhkan
kerja keras sutradara terutama terkait dengan akting pemeran. Oleh karena
tuntutan pertunjukan teater dramatik yang mensyaratkan laku aksi seperti kisah
nyata, maka sutradara harus benar-benar jeli dalam menilai setiap aksi para
aktor. Demikian juga dengan suasana kejadian, semua harus tampak natural, tidak
dibuat-buat.
· Drama Musikal
Kemampuan multi harus dimiliki oleh
seorang sutradara jika hendak mementaskan drama musikal. Bahasa ungkap yang
beragam antara bahasa verbal, lagu, gerak, dan musikal harus dirangkai secara harmonis
untuk mencapai hasil maksimal.
· Teatrikalisasi Puisi
Menciptakan karya teater berdasarkan
puisi yang bercerita membutuhkan keahlian tersendiri. Sifat puisi berbeda
dengan lakon (sastra drama), maka sutradara harus mampu meramu bait-bait puisi
ke dalam bentuk teatrikal.
Menurut Gaya Penyajian
Sejak sejarah kelahirannya, teater
telah memunculkan berbagai macam gaya pementasan. Para seniman teater tidak
pernah berhenti menggali visualisasi artistik pementasan. Beberapa gaya
pementasan yang dilahirkan ada yang bertahan hingga saat ini dan banyak yang
tidak lama bertahan. Gaya pementasan yang bertahan biasanya memiliki daya tarik
yang kuat dan membuat seniman lain ikut melakukannya. Jika gaya tersebut
dilakukan dalam kurun waktu yang lama oleh seniman berbeda dalam berbagai
produksi, maka ciri-ciri dari gaya tersebut berubah menjadi konvensi (pakem).
Pertunjukan teater yang menjalankan konvensi tertentu dengan ketat disebut
sebagai teater konvensional. Untuk membedakan, pertunjukan teater dengan gaya
lain yang masih membuka kemungkinan pengembangan dan belum menetapkan konvensi
disebut sebagai teater non konvensional.
· Konvensional
Mementaskan teater konvensional
membutuhkan kecermatan dan kedisiplinan
dalam menerapkan konvensi. Mentaati konvensi terkadang tidak mudah
karena kemungkinan bentuk pengembangannya menjadi sangat terbatas. Jika tidak
hati-hati gagasan baru untuk pengembangan justru bertolak belakang dari
konvensi yang ada. Banyak polemik lahir mengenai ketaatan konvensi, terutama
dalam teater tradisional. Hal ini biasanya berkaitan dengan penyebutan nama dan
prasyarat yang mengikutinya.
· Non Konvensional
Teater non konvensional memiliki
kemungkinan yang sangat terbuka bagi pengembangan artistik dan sudut pandang.
Eksperimentasi sangat dimungkinkan. Pencobaan model penyajian, bentuk
pemanggungan, laku lakon sampai bentuk dan gaya akting dapat dikerjakan. Akan
tetapi, semua harus disikapi dengan kreativitas artistik yang positif.
7. Blocking
Sutradara diwajibkan memahami cara mengatur pemain di
atas pentas. Bukan hanya akting tetapi juga blocking.
Secara mendasar blocking adalah
gerakan fisik atau proses penataan (pembentukan) sikap tubuh seluruh aktor di
atas panggung. Blocking dapat
diartikan sebagai aturan berpindah tempat dari titik (area) satu ke titik
(area) yang lainnya bagi aktor di atas panggung.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka perlu
diperhatikan agar blocking yang
dibuat tidak terlalu rumit, sehingga lalu-lintas aktor di atas panggung
berjalan dengan lancar. Jika blocking
dibuat terlalu rumit, maka perpindahan
dari satu aksi menuju aksi yang lain menjadi kabur. Yang terpenting dalam hal
ini adalah fokus atau penekanan bagian yang akan ditampilkan.
8. Latihan, Pementasan, Evaluasi
Sutradara
membimbing para aktor selama proses latihan. Untuk mendapatkan hasil terbaik
sutradara harus mampu mengatur para aktor mulai dari proses membaca naskah
lakon hingga sampai materi pentas benar-benar siap untuk ditampilkan. Kunci
utama dari serangkaian latihan adalah kerjasama antara sutradara dan aktor
serta kerjasama antaraktor. Sutradara perlu menetapkan target yang harus
dicapai oleh aktor melalui tahapan latihan yang dilakukan.
Dengan
melaksanakan latihan sesuai jadwal maka aktor dituntut kedisiplinan untuk
memenuhi target capaian. Jadwal ini juga bisa digunakan sebagai acuan kerja
penata artistik sehingga ketika sesi latihan teknik dilangsungkan pekerjaan
mereka telah siap. Langkah-langkah latihan yang bisa dilakukan:
· Membaca teks
lakon (naskah)
· Menghapal
· Blocking
· Stop and go
(walkthrough)
· Top-tail
(walkthrough)
· Run-through
· Latihan teknik
· Dress rehearsal
Setelah semuanya siap, gladi bersih bisa dilakukan dan
berikutnya adalah pementasan. Selesai pementasan perlu dilakukan evaluasi untuk
menilai hasil kerja yang telah dilakukan. Catatan-catatan hasil evaluasi ini
pada nantinya dapat digunakan sebagai panduan untuk membuat karya berikutnya.
E.
Metode Pembelajaran Teater
Proses pembelajaran teater secara umum
mengajarkan seseorang atau peserta didik untuk menjadi pemain atau bisa bermain
teater. Oleh karena itu aspek utama yang dipelajari adalah pemeranan yang di
dalamnya meliputi olah pikir, olah tubuh, dan olah suara atau vokal. Ketiga
aspek itulah yang menjadi modal pemain untuk memerankan karakter peran di atas
pentas. Dalam mencapai kecapakan dari ketiga aspek tersebut, pemeran juga
sangat tergantung dari konsep dasar pementasan yang akan digelar. Apakah konsep
pementasannya menggunakan naskah atau improvisasi. Oleh karena perbedaan dasar
konsep pementasan itu pula maka metode pembelajaran teater dalam kaitaannya
dengan pemeranan juga beragam.
1. Metode Drama
Metode drama dalam proses pembelajaran teater merupakan proses pembelajaran praktik pemeranan
dengan berdasar pada naskah atau lakon yang disediakan. Semua elemen ekspresi
yang dilatihkan harus didasarkan pada teks lakon. Tahapan dalam metode ini
adalah:
· Analisis cerita yang dilakukan secara
bersama antara sutradara dan pemain
serta seluruh pendukung artistic pementasan
· Analisis karakter peran untuk
mengetahui ciri-ciri peran baik fisik maupun watak
· Reading adalah proses membaca teks
lakon dari awal sampai akhir
· Memorizing adalah proses menghapal teks
lakon sesuai karakter peran yang dimainkan
· Blocking adalah proses penghayatan
peran dengan memperhatikan tata gerak terkait ruang yang ada
· Runthrough adalah proses latihan secara
keseluruan laku peran tanpa interupsi (dilakukan setelah peserta hapal teks dan
memahami blocking)
· Latihan tekhnik adalah latihan gabungan
antara pemeran dengan tim artistik seperti tata rias dan busana, cahaya,
panggung, dan suara.
· Pementasan adalah unjuk kerja
sesungguhnya dari kesemua tahap latihan yang terlah dilakukan
Metode drama sangatlah popular karena memang salah satu ciri teater
modern adalah penggunaan naskah lakon. Banyak tokoh teater dunia di antaranya
Stanislavsky dan Bolelawsky yang mengembangkan metode pelatihan atau pembelajaran
pemeranan dengan tujuan akhir melahirkan para pemain teater yang handal yang
mampu memainkan karakter peran dengan baik di atas pentas dengan berdasar pada
teks lakon.
2. Metode
Improvisasi
Metode improvisasi merupakan proses pembelajaran praktik pemeranan
berdasar pada retorika dan kreatifitas verbal melalui sebuah rangka cerita yang
disampaikan secara lisan (tak tertulis). Pemain diharapkan mampu memainkan dan
mengembangkan rangka cerita tersebut menjadi sebuah pertunjukan teater. Metode
ini dapat dilakukan dengan 3 tahap atau model:
Improvisasi Tunggal
Dalam tahap
latihan ini pemain diharuskan melakukan semacam monolog
atau soliloki yaitu wicara seorang diri terkait satu hal atau persoalan.
Pertama pemain diminta untuk bercerita mengenai
peristiwa yang pernah ia saksikan dalam hidupnya. Berikutnya bercerita mengenai
kejadian yang pernah dialami. Setelah kedua tahap ini berjalan dengan
baik tahap selanjutnya pemain diminta untuk bercerita secara bebas
baik itu berdasar kisah nyata atau rekaan semata.
Improvisasi Duet/Duo
Satu pemain diminta untuk berdialog dengan satu pemain lain mengenai suatu hal. Tahap pertama
adalah Same di mana mereka berbicara
dengan tanpa melibatkan identitas serta harga dialognya sama dan tanpa
penolakan. Berikutnya adalah Role Play
di mana mereka berbicara dan sudah melibatkan identitas diri tetapi harga
dialog masih sama dan tanpa penolakan. Selanjunya adalah Context di mana mereka berdialog berdasar konteks pembicaraan
sehingga harga dialog tidak harus sama. Tahap akhir adalah Duologue di mana memainkan sebuah cerita secara improvisasi.
Improvisasi Kelompok
Tahap ini
meruapakan tahap akhir di mana peserta dibagi kedalam kelompok yang terdiri
dari 3 orang atau lebih. Masing-masing kelompok merancang cerita
dan memainkannya secara improvisasional sehingga sudah merupakan satu
pertunjukan teater sederhana.
3. Metode Theater
Game
Theater game
adalah metode pembelajaran teater melalui permainan yang menyenangkan dan diperkenalkan oleh Viola Spolin sewaktu dia bekerja
dengan anak-anak pada tahun 1924 ketika masih belajar di Neva Boyd’s School of
Creative Drama dan berlanjut ketika menjadi supervisor drama di Chicago. Tahun
1946 ia mendirikan dan menjadi sutradara pada Young Actors Company di
Hollywood. Di sini ia mulai menggunakan game untuk melatih anak-anak dalam
produksi drama formal. Model problem-solving
berdasarkan struktur dan pola permainan yang membolehkan peserta didik untuk
menyerap kemampuan teater mereka secara alamiah dan tak tersadari ia gunakan.
Peserta didik belajar dengan melakukan secara langsung (learning by doing), mengalami secara spontan dan bukannya melakukan
sesuatu yang telah diformulasikan sebelumnya. Dari pengalaman ini kemudian
terciptalah ratusan nomor permainan untuk menstimulasi peran (action), spontanitas, hubungan
(komunikasi), dan kreatifitas individual dalam format kelompok (Spolin,
1986:2).
Terdapat 3 hal mendasar yang harus
dilakukan selama proses theatre game berlangsung yaitu fokus, pembimbingan
langsung, dan evaluasi. Yang dimaksud dengan fokus bukanlah pemusatan perhatian
pada tujuan dari permainan yang dilaksanakan tetapi lebih pada pemusatan energi
dan perasaan secara total ketika sedang bermain. Artinya, nikmatilah permainan
tersebut dan pada akhirnya nanti fokus yang sesungguhnya dari permainan akan
tertemukan. Setiap permainan memiliki tata aturan tersendiri oleh karena itu
diperlukan pembimbingan langsung dalam bentuk kata atau kalimat pengingat yang
diberikan secara langsung oleh pelatih. Kata pengingat ini berfungsi agar para
pemain tidak keluar dari aturan permainan. Selain itu kata atau kalimat
tersebut dapat berfungsi untuk memberikan energi serta menyemangati pemain.
Kata atau kalimat ini harus dibuat sederhana dan mudah untuk dicerna, jadi
pelatih tidak seperti sedang memberikan ceramah. Terakhir, setelah permainan
selesai perlu diberikan evaluasi tapi tak bersifat menilai atau menghakimi.
Evaluasi lebih bersifat refleksi untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya
permainan tersebut dan juga daya gunanya bagi kelompok dan pemain itu sendiri.
Semua hal terkait dengan praktik teater
diajarkan dalam bentuk permainan. Semua elemen teater termasuk gerak, persepsi dan ekspresi, unsur drama, kerjasama tim, dan kreatifitas dapat diajarkan dalam bentuk
permainan. Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini.
Dalam praktik pelaksanaannya perlu digaris bawahi terlebih dahulu
bahwa setiap permainan yang akan dimainkan memiliki aturannya sendiri. Semua
pemain yang terlibat harus mematuhi aturan tersebut dan pelatih menjaga agar
semua berjalan sesuai aturan dengan memberikan bimbingan langsung. Sebelum
proses pembelajaran theater game dimulai lebih dulu dilakukan pemanasan agar
otot kendur sehingga bisa digerakkan dengan rileks. Pemanasan ini bisa
dilakukan dengan senam ringan mulai kepala sampai kaki dan bisa juga dilakukan
dengan permainan.
Setelah pemanasan selesai selanjutnya
bisa dilakukan latihan inti yang dalam theater game dapat digolongkan ke dalam
berbagai cakupan kemampuan di antarnya adalah kemampuan gerak, persepsi, elemen
dramatik, kerjasama dan kreatifitas. Cakupan gerak meliputi kesadaran akan tubuh serta gerak ritmik dan
enerjik. Cakupan persepsi meliputi konsentrasi, memori, dan imitasi atau
refleksi. Cakupan elemen dramatik meliputi setting,
plot, karakter, role-play dan
kolaborasi. Cakupan kerjasama dapat dilakukan
dalam bentuk role-play dan
kolaborasi. Sedangkan
cakupan kreatifitas meliputi dramatisasi, pantomim, dan improvisasi. Intinya, metode theater
game mencoba mengajarkan teater melalui sebuah permainan sehingga
menyenangkan dan pemain atau peserta merasa bahwa ketika bermain itulah mereka
belajar elemen-elemen teater secara tidak langsung. (*)
Daftar Pustaka
A. Kasim Achmad, 2006. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta.
Bakdi Soemanto, 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Media
Pressindo
Mary McTigue, 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What, and the Way Things Really
Work in the Theatre, Ohio: Better Way Books.
Michael Huxley, Noel Witts (Ed.), 1996. The Twentieth Century Performance Reader.
London: Routledge.
Rendra. 2013. Seni Drama Untuk Remaja. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya
RMA Harymawan, 1993. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Spolin, Viola. 1986. Theatre Games for the Classroom: a Teacher’s
Handbook. Nortwestern University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar