Jumat, 08 Agustus 2014

Kompor Gas_Cerpen



KOMPOR GAS

Sahdan terlaksanalah keinginan istri saya untuk memiliki kompor gas dengan dua nyala. Impian itu sudah lama selalu mengusik hatinya. Maka, ketika honorarium pekerjaan terjemahan dari hasil penelitian Mevrouw Vochig Okselen tentang konsep harmoni orang Jawa datang, istri saya segera membayar kompor gas dan tabungnya dengan kontan. Anak-anak dan saya sangat gembira melihat ia berbahagia. Bahkan saya sangat terharu. Betapa tidak! Walaupun kompor gas itu dibeli dengan uang hasil jerih payahnya sendiri, istri saya membayangkan seakanakan barang luar biasa dahsyat itu hadiah dari saya. Ia juga minta agar anak-anak membayangkan begitu. Mungkin istri saya melihat apa yang disebut hidup adalah jalinan antara kenyataan dan impian. Saya menerima realitas itu tanpa perasaan getir; seorang suami terkadang hampir sekadar lambang.

Maka, dengan semangat tinggi, pagi itu, saya membantu membersihkan rumah; menyapu halaman dan lantai. Sambil bersiul keroncong petir, saya berjanji dalam hati bahwa saya akan mencari pekerjaan tambahan di samping tugas rutin saya. Siapa tahu saya kelak bisa menabung. Kepingin benar saya membelikan mesin tulis, meja tulis, kursi, dan lampu duduk untuk istri saya. Kepingin benar saya melihat dia bahagia dengan tugasnya sebagai penerjemah. Ah, betapa malasnya saya selama ini. Sungguh mlekocot saya! Di luar kerja kantor, tak pernah terbetik dalam benak mencari tambahan rejeki.

Melepaskan lelah sehabis “bekerja keras” menyapu halaman dan lantai, saya duduk di kursi teras. Hujan semalam tampak masih berbekas. Daunan basah, dan butir-butir air gemerlap kena cahaya matahari pagi. Kupu-kupu beterbangan kian kemari dengan warna-warni. Terlintas dalam pikiran, alangkah ajaib jenis binatang yang satu ini. Tak bersuara, tak bersengat, tak menganggu. Begitu rapuh tubuhnya, tapi begitu mempesona warnanya. Saya mencoba menebak pesan Tuhan di balik kehadirannya.

Jam dinding mengeleneng satu kali. Saya tersentak. Saya tahu. Saya harus segera mandi dan lari ke kantor. Sudah terlalu sering saya diperingatkan Pak Sabar karena saya hampir selalu terlambat setiap hari. Saya berdiri sambil menghirup udara segar.

“Kula nuwun” seorang lelaki setengah baya tiba-tiba muncul di pintu halaman. Lelaki itu menyandarkan sepedanya dengan tiga jeringen minyak tanah di bagasinya. Sebelum saya mendekatinya, lelaki itu langsung bertanya apakah minyak tanah di dapur masih cukup. Tiba-tiba saya gugup. Dengan spontan saya jawab bahwa minyak tanah kami masih cukup.

“Mungkin seminggu lagi, Mas,” jawab saya. Lelaki itu mengangguk, menuntun sepedanya dan mendorongnya. Ada perasaan menyesal menyelinap di hati saya. Seandainya saya tidak harus pergi ke kantor, mungkin saya bisa mengajaknya duduk-duduk barang sejenak sambil menikmati kopi. Tetapi gagasan yang selalu saya rencanakan itu tak pernah terlaksana. Secara tidak saya sadari, ternyata, saya selalu mendapatkan dia sebagai kurang penting. Dan ketika saya menyadari bahwa kemarin istri saya membeli kompor gas, makin terasa, lelaki itu makin tidak penting. Dia hanya bagian dari teknologi memasak yang kini mulai ketinggalan zaman. Mas Marta Lenga, demikian nama lelaki itu, akan dilupakan ketika ibu-ibu mulai tidak mengenal kompor minyak. Kemajuan zaman telah meninggalkannya. Tujuh belas tahun lalu, tatkala istri saya mulai mengenal kompor minyak, teman saya lain, Pak Karta Areng, tersingkir. Saya bayangkan, kelak, jika kompor listrik mulai merata digunakan orang, Den Harja Gas, calon langganan kami, mungkin akan tersingkir pula. Sejarah telah melahirkan orang tampil dan kemudian membantingnya. Saya mencatatnya dengan tekun. Seperti angin, mereka datang dan lenyap.

Akan tetapi, berbeda dengan Pak Karta Areng, Mas Marta Lenga terasa lebih menggelisahkan saya. Mungkin karena dia selalu tersenyum dan tak pernah mengeluh. Tubuhnya selalu basah oleh keringat dan minyak tanah. Giginya selalu kotor, dan selalu ada sisa-sisa makanan di antara sela-sela.

Dua puluh tahun yang lalu, ketika saya baru datang sebagai penghuni baru di kampung itu, Mas Marta adalah partner saya beronda. Waktu itu, Mas Marta adalah seorang penjaga sepeda di sebuah kantor. Sementara itu, istrinya mempunyai sebuah warung kecil yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Ketika orang makin banyak menggunakan kompor minyak, warung itu perlahan-lahan berubah menjadi semacam agen kecil minyak tanah. Agen itu pernah menjadi besar, banyak pegawai yang mengantar minyak tanah kepada langganan-langganan di kampung saya dan sekitarnya. Akan tetapi pula, kebesarannya tidak bisa bertahan lama.

Seingat saya, menurunnya langganan Mas Marta justru ketika rumah-rumah baru megah mulai dibangun, dan rumah-rumah gaya lama dipugar. Mungkin, dengan arsitektur ala Spanyol, dengan kamar mandi model seperti yang di hotel-hotel mewah, kompor minyak terasa kurang up-to-date. Dan bersamaan dengan itu pula, mobil yang menjajakan gas mulai sering lewat.

Tetapi Mas Marta, walaupun makin jarang lewat di depan rumah, tetap berkunjung ke rumah kami setiap dua minggu. Pernah sekali dia bercerita bahwa daerah jelajahnya makin luas, tetapi justru karena daerah langganannya bukan makin meluas. Semula saya kurang paham dengan ceritanya. Baru sekarang saya mengerti, langganannya kini adalah orang-orang yang tinggal di pedukuhan. Dengan makin luasnya daerah jelajah, makin sedikit minyak yang terjual. Sebab untuk bolak-balik membawa tiga jerigen minyak di atas bagasi sepeda, Mas Marta tak cukup kekar. Dia tidak memiliki otot seperti yang dimiliki Mike Tyson. Karena itu, setiap hari ia hanya mampu menjual enam jerigen minyak tanah. Ini artinya, dia bolak-balik pulang dua kali. Itu pun kalau hari tak hujan.

Tepat pukul lima sore, seperti sudah direncanakan, istri saya dan saya tiba di rumah Mas Marta. Kami disambutnya dengan sangat ramah, walaupun ada kesan mereka sedikit kaget. Dengan tergopoh, istri Mas Marta segera menyiapkan teh dan kue-kue, dan ditaruhnya di atas meja. Saya memandang sekeliling ruang tamu. Pada dinding bambu, tergantung gambar-gambar tokoh wayang, seperti yang saya lihat d.ual di sepanjang Malioboro. Saya membayangkan, jika Mas Marta ternyata pengemar wayang kulit, mungkin sekali waktu bisa saya ajak begadangan nonton bersama.

Dengan sangat hati-hati, saya mulai menjelaskan alasan saya berkunjung. Juga mulai saya terangkan bahwa mungkin kami tidak lagi memerlukan minyak tanah.

“Wah, Ibu sudah punya kompor gas, ya?” katanya menyambut gembira. Saya kaget. Istri saya mengangguk. Yang lebih mengejutkan saya, Mas Marta bahkan berkata bahwa ia ikut gembira karena kami sudah mempunyai kompor gas itu.

“Kami selalu prihatin selama ini karena di kampung Bapak tinggal ibu ini yang belum memasak dengan kompor gas,” sambung istri Mas Marta. Lalu Mas Marta mulai menerangkan bahwa sudah beberapa bulan dia memikirkan untuk berhenti berkeliling menjajakan minyak tanah. Alasannya, langanan makin berkurang.

“Tapi kami tidak sampai hati. Sebab kalau kami berhenti jualan minyak, Bapak dan Ibu masak pakai apa, coba?” katanya. Saya tertegun.

“Apa mau buka warung lagi?” tanya istri saya sambil mengipas-ngipaskan saputangan. Istri Mas Marta menggeleng, dan Mas Marta sendiri tersenyum. Tersenyum lebar-lebar. Gila! Pikir saya. Begitu hebatnya orang ini berhadapan dengan nasib berselubung perubahan zaman yang mempermainkannya.

“Mungkin mau buka kos-kosan?” sambung saya bertanya. Mas Marta menggeleng tiga kali. Istri Mas Marta menggeleng empat kali. Pertanyaan ini saya dasarnya atas informasi Marsengax, seorang mahasiswa Fakultas Hukum, yang pernah ditawari sewa kamar oleh Mas Marta. Di samping itu, istri Mas Marta pernah menawarkan sawahnya yang tak begitu luas di Desa Bulu kepada ibu saya beberapa tahun yang lalu.

“Daripada dibeli orang yang enggak–enggak,” katanya pada waktu itu. Kalu benar Mas Marta mau buka kos-kosan, pastilah sawah itu sudah laku dan uangnya dipergunakan untuk memperluas rumah dan menemboknya. Tapi ternyata tidak.

“Lalu, Mas Marta mau jualan apa?” desak saya tak tahan. Mas Marta, sekali lagi, tersenyum lebar. Senyuman yang penuh optimisme.

“Pakne ini, sekarang,’kan sering didatangi orang. Apalagi kalau malam Jumat Kliwon,” kata istrinya.

“Maksudnya menjadi dukun?” tanya istri saya. Istri Mas Marta menggeleng.

“Sekali waktu Mas Marta melihat laba-laba kakinya tinggal tujuh. Ee, lha kok esoknya keluar dengan kepala tujuh!”

“Kepala apa?” tanya istri saya penuh heran.

“Itu, nomor!” tukas Mas Marta. “Dan ketika saya bilang kepada Dik Srundeng bahwa nomor yang akan keluar persis dengan nomor motor Pak Sardula, ee, nembus betul.”

Saya tertegun.

“Lha, mulai saat itu, banyak orang datang kepada kami minta nomor. Kalau mereka datang, biasanya membawa gula, teh, kopi, rokok, terkadang beras, roti kalengan, dan juga uang,” sambung istri Mas Marta. “Lumayan sekali. Tak usah kerja, rezeki datang sendiri.”

Saya tertegun.

“Kalau Bapak mau, bisa saya beri kapan-kapan,” kata Mas Marta.“Kan tinggal bapak yang belum punya mobil. Siapa tahu, nomor yang saya pilih nembus.”

Saya tertegun. Istri saya makin sibuk mengipaskan saputangannya. Udara pasti terasa gerah baginya karena dia harus menyadari betapa suaminya selama ini kurang agresif memburu rezeki. Betapa berat, saya bayangkan mengakui kemalasan suaminya.

Romlah, anak bungsu Mas Marta muncul. Segera istri saya menyerahkan bingkisan kecil. Juga untuk istri Mas Marta.

“Kok repot-repot,” tukas istri Mas Marta. Lalu kami minta pamit, dengan alasan saya masih banyak pekerjaan. Dan sebelum saya sampai di pintu, Mas Marta membisikkan sesuatu ke telinga saya. Saya mengangguk dan mengatakan terima kasih.

Ketika kami tiba di rumah, saya gantian membisikkan sesuatu ke telinga istri saya.

“Apa?” tanya istri saya. “Kepala delapan?”

(Dikutip dari karangan: Bakdi Soemanto D.
dalam buku Menulis Secara Populer, Ismail Marahimin )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar